Singkatnya, saya akan mulai dengan pertanyaan: siapa diantara kita yang tidak memiliki ibu? Saya haqqul yaqqin semua akan menjawab, tidak ada. Karena kita semua akan sulit memungkiri kehadiran kita jika tanpa seorang ibu (perempuan). Meskipun tidak semua perempuan berkesempatan untuk menjadi seorang ibu. Baik dalam arti harfiah maupun artifisial. Dalam artian, kita lenturkan batasan “menjadi ibu” sebisa mungkin.

Intinya antara ibu dan anak memiliki hubungan yang sulit untuk diingkari. Keduanya saling terkait sejak si anak masih di rahim hingga lahir. Bahkan ketika telah keluar dari perut si Ibu, keterikatan antara mereka masih tetap ada. Salah satu “benang” pengikatnya kita kenal dengan nama Air Susu Ibu (ASI). Makanya, praktik pemberian ASI di masa awal kelahiran menjadi sedemikian penting untuk ibu dan anaknya.

Bisa jadi, fondasi inilah yang kemudian mendorong organisasi dunia aksi menyusui ( World Alliance for Breastfeeding Action-WABA) mencetuskan pekan ASI sedunia pada 14 Februari 1991 untuk durasi minggu pertama (1-7) Agustus setiap tahunnya. Gagasan ini menjadi resmi melalui duet maut antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Dunia bidang Ibu dan Anak (UNICEF), dan beberapa negara.  

Pertanyaan lanjutannya adalah: apakah aktifitas menyusui sesederhana menyodorkan putting ibu ke bayi dan proses bejalan lancer tanpa hambatan apapun? Tidak sodara-sodari. Sebagai bukti, coba tanya beberapa ibu yang yang baru melahirkan dan ASI-nya tidak keluar. Kita belum bicara beberapa kepercayaan (budaya) yang ada di Indonesia. Misalnya: ada masyarakat di daerah tertentu mempercayai kolostrum (ASI pertama yang keluar) adalah “susu basi”, sehingga tidak perlu diberikan ke bayi.

Bisa dibayangkan besarnya tantangan praktik menyusui di Indonesia, bukan? Meski menurut data dari pusat statistic (BPS) kita, cakupan ASI eksklusif untuk rentang tahun 2019-2021 mengalami peningkatan siginifikan di semua provinsi. Bahkan secara komulatif sudah menyentuh angka diatas 50% bayi dibawah enam bulan sudah mendapatkan ASI eksklusif.

Terlepas dari distingsi diatas, izinkan saya menyampaikan beberapa hal terkait kelebihan ASI yang dirangkum dari berbagai sumber.

Hamil=Produksi 

Untuk membahas kelebihan pertama, mari kita berangkat dari frasa terkenal si psikoanalisis Sigmund Freud; “Anatomi adalah Takdir”. Seperti yang kita ketahui Bersama, terlahir sebagai perempuan, salah satu penandanya adalah kepemilikan rahim. Sejurus dengan itu mereka juga payudara yang kelak menjadi penghasil air susu untuk “penghuni” kandungannya. Makanya antara rahim dan payudara tadi dipercaya memiliki hubungan. Hal ini terbukti juga secara medis.

Dalam artian begini, ketika secara biologis terjadi pembuahan, organ tubuh perempuan serentak melakukan “persiapan”. Mulai dari produksi hormon yang berlebihan hingga system tubuh mengalami proses penyesuaian. Hal ini bisa kita lihat dengan fenomena mengidam dan noumena keinginan aneh istri saat tiga bulan pertama proses kehamilan. Konon beberapa kepercayaan masyarakat mengatakan, saat mengidam sosok asli si ibu lebih terlihat nyata.

Terus, bagaimana hubungannya dengan ASI?

Nah, proses penyesuaian secara biologis tadi salah satu bentuknya, payudara mulai melakukan persiapan awal memproduksi air susu. Dengan asumsi tidak ada kendala medis tertentu pada tubuh ibu seperti diabetes, gangguan tiroid, anemia, atau retensi plasenta ketika kehamilan. Tanpa itu semua, tubuh (calon) ibu tadi mulai bersiap memproduksi hormon bernama Prolactin lewat kelenjar Hypofisis yang berada di payudara.

Tapi jangan girang dulu. Produksi hormone sepenuhnya dibawah kendali dua hormone utama bernama Dopamin dan Estrogen. Hal inilah yang jadi penjelas kenapa stress paska melahirkan akan berdampak pada volume air susu dari si Ibu. Untuk lebih jelasnya, silahkan cari informasi lebih lanjut hormon Dopamin dan Estrogen.

Ambillah contoh kasus si ibu tidak terindikasi alami gangguan medis serta Prolaktin tergolong normal, beberapa setelah melahirkan payudara ibu akan menghasilkan prototype air susu. Teksturnya kekuning-kuningan dan cenderung lebih encer. Prototype  ini dikenal juga dengan nama kolostrum. Fakta lapangan, stress paska melahirkan adalah kondisi yang paling sulit dihindari oleh seorang ibu.

Sebagaimana kata Suryaman, dkk (2020), terdapat 59,5% ibu mengalami kecemasan saat pemberian ASI Eksklusif. Disinilah peran keluarga terdekat sangat dibutuhkan. Baik dalam arti kiasan maupun sebenarnya. Entah sebagai penyemangat sekaligus pengawas/penangkal serangan susu formula. Karena manusia sejatinya mendapatkan susu dari manusia dan bukan dari sapi.

Dengan kata lain, kehamilan menjadi penanda pertama payudara melakukan persiapan memproduksi isi-nya. Tidak ada tawar menawar disini, kecuali berhubungan gangguan medis tadi.

Gratis

Jika tak ada aral melintang, prototype ASI tadi akan diikuti dengan versi sebenarnya setelah 3-4 hari kemudian. Disinilah secara resmi si bayi sudah bisa menikmati ASI dengan leluasa dan konsisten dari si ibu selama seribu hari pertama. Ketersediaan yang melimpah akan terwujud selama si ibu dipastikan mengkonsumsi asupan yang menunjang.

Karena kata melimpah jadi kata kunci, ketersediaan ASI menjadi begitu murah dan mudah di dapatkan. Selama si ibu makan, otomatis pabrik di dada mereka akan sibuk selama 24/7 memproduksi “makanan” si bayi. Yang nantinya akan siap santap dalam kondisi dan keadaan apapun. Makanya istilah ASI itu gratis menurut saya tidak berlebihan.

Coba bandingkan jika bayi hanya mendapatkan susu formula. Sedikit ilustrasi, berdasarkan curhat seorang kawan setiap tiga sampai lima hari sekali dia harus menyiapkan uang sebesar Rp. 400.000. Jika dikalikan untuk jangka waktu sebulan, estimasi pengeluarannya sekitar dua sampai empat juta. Sedangkan dia memperoleh gaji paling banyak sebulan dua juta rupiah.

Tersedia Kapanpun

Jika sebelumnya kita berbicara dari aspek kuantitas, kenyataan bahwa payudara tempat memproduksi ASI ternyata menawarkan kemewahan lain. Tersedia kapanpun. Laiknya supermarket mini yang menjamur saat ini, ketersediaan ASI tidak mengenal waktu. Kapan bayi butuh, si ibu tinggal menyodorkan ke mulut kecil, langsung siap santap. Begitu mudah bukan?

Lagi-lagi jika kita bandingkan dengan susu formula yang sangat menyita waktu serta konsentrasi dalam proses penyiapannya. Belum lagi saat malam hari jika bayi sudah mulai rewel karena lapar. Pengasuh (ibu, bapak, atau kerabat) tadi “dipaksa” untuk bangun dari tidur untuk menyiapkan. Perlu diingat, fakta saat baru bangun dari tidur sangat tidak dianjurkan untuk segera bangun. Mengalami Postural Hipotensi adalah ancaman nyata. Atau bahasa sederhanya, mendadak pusing saat bangun tidur.

Jangan kaget jika, para pasangan yang memiliki bayi yang mengkonsumsi susu formula mengalami penyakit psikologi bernama Sleep Inertia. Bentuk paling nyata yang paling kelihatan, mengantuk luar biasa di pagi hari, lemah dan lesu, sulit konsentrasi, pusing, gampang marah dengan sekitar, dan kehilangan focus. Ujung dari itu semua akan berdampak pada produktifitas kerja.

Kemasan Menarik

Eits, jangan ngeres dulu. Yang saya maksud, ASI dan kemasannya begitu menarik untuk bayi karena alami. Jadi bukan bagi bapak aspek menarik disini artinya. Yang paling bisa kita lihat, dibandingkan susu formula yang penyajian menggunakan media perantara dot yang material penyusunnya bisa saja justru mengancam mulut si bayi yang masih sensitif.

Puting ibu begitu menarik karena bagaimanapun bentuknya, akan dengan mudah kontur mulut bayi menyesuaikan. Dan paling penting lagi, bayi akan terhindar dari ancaman iritasi atau keracunan berbahan kimia seperti karet pembentuk dot.

***

Demikianlah beberapa kelebihan dari ASI dan menyusui. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati ucapan terima kasih saya kirimkan untuk setiap tetes keringat dan ASI untuk semua IBU yang luar biasa di belahan dunia manapun. Selamat Hari Menyusui Sedunia. Sehat Ibu, Anak Cerdas.

Amin Ya Rabb.