Barangkali tidak ada yang mengira jika gerai ritel modern yang menjadi simbol kemajuan ekonomi kota besar bisa tutup lantaran sepi pengunjung. Namun, itulah yang terjadi pada beberapa mal belakangan ini. Penutupan gerai Matahari Departement Store di kawasan Blok M dan Manggarai tentu mengejutkan banyak orang. Kita semua tahu, Matahari adalah ikon ritel modern di Indonesia.
Gerainya menjangkau seluruh penjuru Indonesia, bahkan sampai ke kota-kota kecil. Ironisnya, Matahari tidak sendiri. Gerai Lotus dan Debenhams, dua ritel dengan segmen pasar kelas menengah atas di Jakarta pun harus undur diri dari ganasnya persaingan industri ritel modern setelah beberapa tahun merugi.
Penutupan sejumlah gerai ritel modern itu dapat dibaca dalam tiga kemungkinan. Pertama, adanya perlambatan ekonomi yang tentu berakibat langsung pada lesunya daya beli masyarakat. Kedua, persaingan ketat industri ritel yang memaksa beberapa di antaranya harus tutup lantaran kalah bersaing.
Ketiga, adalah adanya pergeseran (shifting) pola konsumsi masyarakat Indonesia. Jika diihat dalam konteks yang luas, ketiga kemungkinan itu sama-sama punya andil dalam fenomena tutupnya ritel-ritel besar belakangan ini. Namun harus diakui bahwa kemungkinan ketiga agaknya harus diberi perhatian lebih.
Mengkambinghitamkan daya beli masyarakat atas tutupnya sejumlah gerai ritel tentu tidak sepenuhnya benar. Meski stagnan di angka 5 persen, ekonomi Indonesia masih terbilang stabil. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya inflasi berarti selama tiga tahun terakhir.
Bagaimana daya beli menurun di tengah tren inflasi rendah, itu adalah sebuah anomali dalam dunia ekonomi. Persaingan ritel yang ketat juga tidak merepresentasikan realitas sesungguhnya di balik tutupnya sejumlah mal. Dalam kasus Matahari Departement Store misalnya, meski mereka menutup dua gerai besarnya di Jakarta, namun ekspansi mereka di luar pulau Jawa terbilang masif. Pendapatan tahunan mereka pun menunjukkan tren positif.
Kelas Menengah
Istilah kelas menengah (middle class) boleh jadi adalah istilah yang pelik untuk didefinisikan, karena menyangkut metode yang dipakai untuk mengkategorikannya. Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok masyarakat yang membelanjakan minimal USD 2 per hari. Definisi tersebut tentu sangat sederhana untuk sebuah kondisi masyarakat yang serba kompleks.
Peter Temin dalam bukunya The Vanishing Middle Class: Prejudice and Power in a Dual Economy menyebut setidaknya ada empat model pendekatan dalam stratifikasi sosial dan masing-masing punya kriteria yang berbeda.
Dari keempat model itu, pendekatan yang ditawarkan John Goldthrope lah yang lebih sering dipakai oleh ilmuwan sosial kontemporer untuk melakukan klasifikasi sosial. John Goldthrope mengklasifikasikan masyarakat menggunakan ukuran yang terbilang sederhana, yakni pekerjaan dan pendidikan untuk kemudian menggolongkan masyarakat ke dalam kelas bawah, menengah dan atas.
Model itu pula yang diadopsi oleh sejumlah lembaga penelitian di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Penelitian Litbang Kompas tahun 2012 misalnya, mengadopsi model pendekatan ala Goldthrope dan memadukannya dengan model sensus kependudukan Amerika Serikat yang memasukkan variabel pendapatan dan pengeluaran sebagai kriteria klasifikasi sosial.
Dalam kriteria Litbang Kompas, kelas menengah Indonesia adalah penduduk yang berpengeluaran 2-5 juta tiap bulan, berpendidikan minimal diploma, akrab dengan teknologi informasi dan memiliki wawasan luas di bidang ilmu pengetahuan dan wacana sosial serta memiliki kesadaran politik. Dari kriteria tersebut didapati bahwa kelas menegah Indonesia pada tahun 2012 berjumlah 41 juta jiwa.
Tren positif pertumbuhan ekonomi yang berdampak langsung pada naiknya pendapatan per kapita selama tahun-tahun belakangan ini tentu kian menambah jumlah kelas menengah di Indonesia. Lembaga survei Neilsen menyebut terjadi kenaikan kelas menengah sebesar 64 persen di tahun 2016. Bahkan, diperkirakan jumlah kelas menengah Indonesia akan semakin besar dan mencapai 141 juta jiwa di tahun 2020.
Pola Konsumsi Kelas Menengah Indonesia
Di satu sisi, kelas menengah merupakan tulang punggung utama ekonomi domestik. Aktivitas konsumsi mereka lah yang menggerakkan roda ekonomi nasional. Tidak mengherankan apabila kelas menengah juga kerap diidentikkan sebagai masyarakat konsumer (consumer class). Di sisi lain, kelas menengah juga merupakan kelas yang boleh dibilang unik dalam struktur masyarakat kita. Mereka adalah kelompok masyarakat yang relatif terdidik, melek pada teknologi dan terbuka pada perubahan. Karakteristik itu pula yang kemudian menjadikan mereka punya keunikan dalam perilaku konsumsinya.
Berbagai riset menujukkan adanya pola perubahan konsumsi kelas menengah pasca Orde Baru. Riset The Boston Consulting Group misalnya menyebut ada pergeseran pola konsumsi kelas menengah dari yang sebelumnya berbasis pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs fulfilled approach) ke arah pemenuhan kebutuhan yang berhubungan dengan simbol, prestise dan gaya hidup (symbolic constumption approach).
Riset yang sama juga menunjukkan bahwa kelas menengah sangat selektif dalam mengkonsumsi sesuatu. Sebagian dari mereka tidak berbelanja karena rayuan iklan, melainkan mencari informasi barang lalu membandingkan kualitas, harga dan layanan penjualan sebelum akhirnya memutuskan membeli barang atau jasa yang dibutuhkan.
Dalam banyak hal, pola konsumsi kelas menengah bisa diilustrasikan sebagai sebuah konsumsi yang penuh pengalaman. Mereka tidak hanya membeli barang atau jasa sesuai kebutuhan, namun juga mencari pengalaman (sensasi) di balik aktivitas konsumsi tersebut. Bahkan pada titik-titik tertentu, terjadi pergeseran dari good based consumption ke arah experience good consumption. Itu artinya, konsumen kelas menengah tidak sekedar membeli nilai guna barang-jasa, namun juga membeli pengalaman di balik konsumsi itu sendiri.
Selain pendapatan per kapita yang kian naik, pergeseran pola konsumsi itu juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Menjamurnya telepon canggih (smatphone) yang seolah menjadi barang wajib bagi kalangan kelas menengah memiliki andil besar dalam membentuk pola konsumsi mereka.
Ariel Heryanto dalam Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture (2014) menyebut bahwa konsumsi kelas menengah Indonesia adalah semacam jalan tengah antara pemenuhan kebutuhan dengan peneguhan identitas. Konsumsi kelas menengah, lanjut Heryanto selalu berkelindan antara pemenuhan kebutuhan dasar dengan kebutuhan akan citra diri yang modern, trendi, dinamis, atau bahkan relijius.
Fenomena Niaga Daring
Ketika pertama kali muncul era tahun 2000-an ritel modern menawarkan bentuk pengalaman baru dalam berbelanja bagi kelas menengah Indonesia. Namun, tampaknya hari ini pengalaman yang ditawarkan itu tidak lagi relevan dengan tren gaya hidup. Hal itu menemukan momentumnya ketika fenomena niaga daring (e-commerce) mulai marak sekira lima tahun terakhir. Konsep niaga daring memberikan pengalaman (baca: sensasi) yang relatif baru bagi kelas menengah millennial yang berkarakter dinamis, terbuka dan rasional.
Meski data menyebut bahwa niaga daring hanya menempati 1,4 persen dari total jumlah seluruh niaga di Indonesia, namun pengaruhnya tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Toko-toko daring berkembang sangat pesat. Zalora, untuk menyebut salah satu pemain niaga daring terbesar tanah air, mengakui mengalami pertumbuhan 230 persen dalam dua tahun terakhir. Belum lagi pengusaha-pengusaha daring kecil yang menjalankan usahanya dari rumah dan swakelola yang jumlahnya terus bertambah dan sulit dilacak omzetnya.
Masa depan dunia niaga tampaknya memang berada di jalur daring. Ini terlihat dari jumlah pengguna internet yang meningkat setiap tahun. Saat ini tercatat ada 82 juta orang Indonesia menggunakan internet atau sekitar 30 persen dari total populasi. Jumlah yang tentu tidak main-main karena di antara pengguna internet tersebut, 7 persennya pernah berbelanja daring. Dengan angka sebanyak itu, Kemenkominfo mencatat transaksi niaga daring mencapai tidak kurang dari Rp. 130 triiun. Meski kalah jauh dengan negara lain misalnya China yang 30 persen warganya sudah akrab dengan niaga daring, masa depan niaga daring di Indonesia boleh dipastikan cemerlang.
Hal ini terlihat dari statistik yang menunjukkan bahwa pangsa pasar toko daring ternyata tidak hanya di kota besar. Dulu, pangsa pasar utama toko daring adalah konsumen di Jakarta atau kota besar lainnya. Namun, kini kota-kota di luar Jakarta dan Pulau Jawa memberi kontribusi yang tidak sedikit bagi pertumbuhan pasar niaga daring. Lembaga survei pasar, ICD Resaerch, menyebutkan pasar niaga daring Indonesia akan tumbuh 42 persen dari tahun 2015-2020, melebihi Malaysia, Thailand dan Filipina.
Perubahan besar-besaran memang tengah terjadi. Kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong lahirnya praktik-praktik baru yang belum pernah ada sebelumnya. Pergeseran pola konsumsi kelas menengah millennial adalah salah satunya. Ini tentu mendatangkan peluang sekaligus ancaman bagi dunia ekonomi. Menentang arus perubahan yang sudah menjadi kehendak zaman tentu tindakan sia-sia, untuk juga mengatakan bunuh diri. Seperti slogan yang pernah diujarkan Herbert Spencer, “survival of the fittest”, siapa yang dapat menyesuaikan diri, dia yang bertahan.