Sebagian pembaca mungkin telah tahu, bagaimana rasanya menahan lapar di akhir bulan atau saat berpuasa. Namun bagaimana ketika Anda harus menahan lapar berhari-hari dan tak punya bayangan kapan itu akan berakhir? Sungguh sangat mengerikan.
Tetapi itu bukanlah suatu peristiwa yang terbilang asing di sepanjang sejarah peradaban umat manusia.
Kelaparan telah menjadi bencana kemanusiaan sejak ribuan tahun silam. Bencana ini melanda berbagai peradaban di berbagai belahan dunia. Penyebabnya pun beragam, selain perang dan ledakan populasi, sejarah telah mencatat bahwa peristiwa alam juga telah menjadi salah satu penyebab bencana ini.
Peristiwa alam seperti kekeringan merupakan faktor yang paling sering dijumpai di buku-buku sejarah, terutama di era ketika peradaban umat manusia belum mempunyai perangkat mesin dan teknologi canggih seperti saat ini.
Semisal, kekeringan yang melanda Mesir dan India di abad pertengahan. Kekeringan membuat berbagai usaha pertanian gagal, sehingga menyebabkan persediaan makanan menyusut, sementara transportasi terlalu lambat dan mahal untuk mengimpor makanan, dan kekuasaan masih terlalu lemah untuk memberi bantuan pada masa itu. Bencana tersebut telah mengorbankan 10 persen jumlah populasi di negeri itu.
Di masa-masa tersebut, bencana kelaparan dianggap sebagai bentuk kemurkaan sang pencipta pada manusia. Kelaparan merupakan hal yang berada di luar jangkauan kerja umat manusia. Sampai pada suatu ketika, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat umat manusia yakin bahwa risiko kelangkaan makanan dapat diminimalisasi melalui berbagai skema industrialisasi, mulai dari peningkatan produktivitas hingga percepatan distribusi makanan.
Selama ledakan populasi selama berabad-abad di negeri Cina, telah menciptakan bencana kelaparan yang berkepanjangan di sana. Puncaknya ada pada tahun 1907, di mana 25 juta nyawa terenggut di negeri itu.
Dunia sempat memberi penyataan melalui konferensi pangan yang diselenggarakan di Roma pada tahun 1974, bahwa negara dengan populasi terbanyak di dunia ini tidak akan pernah sanggup untuk menyediakan makanan yang cukup untuk seluruh penduduknya. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Cina berhasil bangkit dan terlepas dari bencana kelaparan, bahkan kini menjadi kekuatan baru ekonomi dunia.
Bencana kelaparan juga sering dijumpai di masa perang. Konflik berkepanjangan dapat menyebabkan lumpuhnya aktivitas penghidupan, termasuk produksi dan distribusi makanan.
Meskipun peradaban umat manusia telah menciptakan teknologi transportasi canggih, seperti pesawat dan helikopter yang segera mungkin mengantarkan makanan di bawah skema bantuan lembaga kemanusiaan, namun sering kali ketegangan yang hadir di antara kubu yang bertikai menciptakan blokade yang menutup akses menuju wilayah tersebut.
Semisal, perang saudara yang melanda Sudan Selatan dua tahun lalu. Hampir 25 persen penduduk negara itu tidak memiliki akses secara berkala untuk memperoleh makanan, dan sedikitnya 40.000 orang berada di ambang kelaparan.
Di Indonesia, negeri yang dilalui garis khatulistiwa dan terkenal akan tanahnya subur juga tak luput dilanda bencana kelaparan. Berdasarkan hasil penelitian FAO di tahun 2016-2018, diperkirakan sebanyak 22 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan. Khususnya di wilayah bagian timur Indonesia, seperti Papua, NTT dan Maluku.
Biang keladinya ialah kemiskinan. Selama hampir 75 tahun berdaulat, pemerintah dinilai gagal mendistribusikan pembangunan secara merata. Sehingga begitu banyak wilayah di kawasan timur Indonesia yang masih dilanda kemiskinan.
Sementara pada tahun 2019, FAO menyebutkan bahwa jumlah makanan yang terbuang di kota-kota besar Indonesia, beratnya mencapai 1,3 juta ton setiap tahunnya. Jumlah tersebut dapat memberi makan lebih dari 28 juta orang selama setahun.
Di luar persoalan perang dan persoalan kecerobohan penguasa dalam mendistribusikan makanan, sebenarnya sebagian besar peradaban umat manusia telah mampu mengatasi malapetaka bencana kelaparan massal. Bahkan pada tahun 2016, Suatu penelitian kesehatan yang dilakukan di 130 negara oleh The Global Burden of Disease mengungkapkan bahwa, untuk pertama kalinya, jumlah orang-orang yang meninggal karena terlalu banyak makan, lebih banyak ketimbang jumlah orang meninggal akibat kelaparan.
Jika kelaparan merupakan kondisi ketika manusia mengalami kekurangan asupan kalori, obesitas merupakan kondisi sebaliknya, di mana obesitas terjadi karena asupan kalori yang lebih banyak dibanding aktivitas membakar kalori, sehingga kalori yang berlebih menumpuk dalam bentuk lemak, sehingga dapat meningkatkan risiko penyakit diabetes, jantung, stroke, dan kanker.
Bencana obesitas menyusup sebagai ancaman baru di tengah kemajuan industri pangan. Lebih dari 2,1 miliar penduduk dunia atau hampir 30 persen dari populasi global telah mengalami kelebihan berat badan, dan 3,4 juta orang di antaranya meninggal dunia. Obesitas menyumbang angka 5 persen penyebab kematian di seluruh dunia.
Kondisi yang berkelimpahan makanan membuat negara-negara maju lebih rentan terhadap ancaman obesitas. Akan tetapi, negara berkembang pun kini menghadapi krisis serupa. Termasuk Indonesia, yang kini berada di urutan ke-10 dunia, setelah Amerika Serikat, Tiongkok, India, Rusia, Brasil, Meksiko, Mesir, Jerman, dan Pakistan.
Di Indonesia, lebih dari 40 juta orang dewasa mengalami obesitas, yang sebagian besar terkonsentrasi di perkotaan. Penduduk perkotaan lebih rentan terhadap obesitas, terutama di tengah makin derasnya arus urbanisasi, globalisasi, dan pertumbuhan industri makanan cepat saji.
Globalisasi telah mendorong pertumbuhan industri makanan cepat saji internasional di negeri ini. Gelombang fastfood telah mengubah kebiasaan makan masyarakat Indonesia, dari yang dulunya terbiasanya mengonsumsi makanan tradisional, beralih ke makanan dengan kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi.
Derasnya arus urbanisasi dari tahun ke tahun membuat populasi penduduk terkonsentrasi di perkotaan. Hidup di kota membuat orang-orang semakin mudah mengakses makanan cepat saji murah dan nyaman.
Apalagi dengan hadirnya berbagai layanan pesan antar makanan, yang menawarkan potongan harga yang begitu fantastis. Sehingga sangat memungkinkan orang-orang tergoda untuk terjerumus ke dalam pola makan yang kurang sehat.
Kondisi tersebut diperparah dengan gaya hidup sedenter, atau gaya hidup yang banyak duduk dan sedikit olahraga. Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Stanford University di tahun 2017, yang menemukan bahwa Indonesia merupakan negara paling malas berjalan kaki di seluruh dunia.
Persoalan ini menjadi masukan bagi pemerintah yang selama ini hanya fokus pada masalah kelaparan. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang selalu dibanggakan, ternyata juga mendorong penduduknya makin rentan terhadap obesitas.
Sementara itu, penelitian telah menjelaskan bahwa makan besar di malam hari akan membuat tubuh menyimpan banyak kalori yang berbentuk lemak, ketimbang membakarnya. Kebiasaan ini sangat rentan memicu obesitas.
Itu mengapa di masa-masa lapar di akhir bulan, penulis sering kali berjumpa dengan orang-orang yang punya banyak duit tapi punya prinsip untuk menolak makan di malam hari.