Mampukah keketuaan Indonesia di ASEAN menjawab tantangan kawasan? Pertanyaan ini kemudian muncul dalam perbincangan publik setelah Indonesia kembali memegang keketuaan Associations of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada 1 Januari 2023. Hal ini diperoleh Indonesia, setelah secara simbolis Presiden Jokowi menerima palu dari Perdana Menteri Kamboja Hun pada kegiatan Upacara Penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-40 dan ke-41 di Phnom Penh 13 November 2022.
Keketuaan Indonesia kali ini mengusung tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”, di mana Indonesia ingin menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan sekaligus kawasan yang penting dan relevan dengan perkembangan kawasan dan dunia. Dari tema ini dapat kita pahami bahwa melalui keketuaan ASEAN, Indonesia ingin mendorong sentralitas ASEAN di tengah rivalitas hegemoni yang terjadi di kawasan.
Konsep sentralitas ASEAN sebagaimana yang tercatat dalam pasal 1.15 Piagam ASEAN menyebutkan bahwa tujuan ASEAN adalah menjaga sentralitas dan peran proaktif ASEAN sebagai kekuatan penggerak utama dalam hal hubungan dan kerja sama dengan mitra eksternal dalam kawasan yang terbuka, transparan dan inklusif. Konsep ini, kemudian diperkuat dalam sebuah KTT ASEAN di Hanoi 2010, sentralitas didefinisikan sebagai arsitektur kawasan yang berdasarkan kerangka kerja di kawasan yang saling mendukung dan memperkuat dengan ASEAN sebagai penggerak utamanya.
Menjadikan ASEAN sebagai sebuah “anchor” merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah. Bahkan, beberapa akademisi meragukan kemampuan ASEAN dalam memainkan peran sentralitas di tengah sekelumit tantangan baru yang dihadapi di kawasan. Rasa pesimis akan hal itu bukan tanpa alasan, jika melihat respon ASEAN yang belum mampu mengambil peran sentral dalam menghadapi kompleksitas masalah yang terjadi di kawasan.
Tantangan Kawasan
Jika mengacu beberapa tahun ke belakang, ASEAN menghadapi masalah kawasan yang kian kompleks. Salah satu isu yang membutuhkan perhatian lebih adalah terkait politik dan keamanan di kawasan. Sejumlah isu-isu yang berkembang di kawasan seperti: rivalitas politik antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), pembentukan kerja sama keamanan The Quadrilateral Security Dialogue (QUAD) antara AS, Australia, India dan Jepang, pembentukan aliansi pertahanan Australia, United Kingdom and United States of America (AUKUS) antara Australia, Inggris dan AS, Sengketa Laut Tiongkok Selatan, krisis kekuasaan oleh militer di Myanmar serta pemulihan ekonomi pasca-pandemi (Humas 2022).
Anggota ASEAN dalam memutuskan isu-isu di atas memiliki perbedaan sikap. Semisal dalam hal sengketa Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan negara-negara ASEAN dan Tiongkok. Dimana negara anggota ASEAN tidak menemui kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Hal ini disebabkan karena mereka mengalami dilema antara mempertahankan kepentingan nasional masing-masing negara ataukah memperjuangkan kepentingan regional guna mewujudkan kepentingan bersama menjaga ASEAN dari intervensi asing.
Ketidakmampuan ASEAN dalam mengambil peran sentral di kawasan adalah sebuah realitas internasional yang menunjukkan adanya perbedaan kepentingan nasional dari masing-masing negara anggota ASEAN.
ASEAN berada di persimpangan jalan, antara mempertahankan politik dan keamanan dengan AS atau investasi ekonomi dengan Tiongkok. Kecenderungan ini seharusnya dihilangkan jika ingin membangun sistem yang berpusat pada ASEAN. Jika tidak, bukan tidak mungkin ASEAN justru akan kehilangan relevansinya di bawah pengaruh hegemoni asing.
Perkuat Solidaritas ASEAN
Jika ASEAN ingin mengambil peran sentral di kawasan, maka sudah seharusnya keketuaan Indonesia menjadi momentum untuk kembali memperkuat solidaritas ASEAN. Keketuaan Indonesia di ASEAN memiliki track record yang cukup baik dengan berhasil memperkuat pilar-pilar dalam membangun sentralitas ASEAN.
Hal ini terbukti secara historis, setelah beberapa kali Indonesia memegang ketua dimulai dari tahun 1976, Indonesia menghasilkan inisiatif Bali Concord I tentang Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Tahun 2003, Indonesia menghasilkan inisiatif Bali Concord II, Kemudian pada tahun 2011, Indonesia menghasilkan inisiatif Bali Concord III atau disebut juga dengan Bali Declaration on ASEAN Community in a Global of Nations.
Terlepas ASEAN telah memiliki pilar-pilar yang mendorong sentralitas ASEAN, namun selama ini, pilar-pilar tersebut terkesan normatif tanpa menemui realitasnya dalam ruang lingkup regional. Indonesia sebagai nakhoda ASEAN harus mampu meyakinkan negara anggota ASEAN bahwa mereka mampu untuk mengelola politik dan keamanan di kawasan jika masing-masing negara anggota ASEAN bersikap kolaboratif.
Upaya Indonesia dengan mengusulkan draf ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) pada tahun sebelumnya, perlu pembahasan lebih lanjut. Pasalnya, AOIP berisikan konsep Indo-Pasifik yang terintegrasi dan terhubung dengan memfasilitasi dialog dan kerja sama, mempromosikan pembangunan dan kemakmuran, serta menekankan pentingnya perspektif kawasan dan maritim dalam kerangka regional yang dinamis. AOIP dapat menjadi sebuah ide alternatif untuk menguatkan sentralitas ASEAN.
Hal ini, sejalan dengan pendekatan konstruktivisme dalam Ilmu Hubungan Internasional (Zehfuss 2022). Kerja sama internasional terutama di tingkat regional, dibangun karena adanya kepentingan strategis yang sama dan berhubungan erat dengan kepentingan nasional yang ingin diwujudkan dalam kerja sama tersebut.
Adanya kepentingan strategis mendorong setiap negara untuk melakukan kerja sama baik bilateral maupun regional. Pertimbangan negara dalam melakukan kerja sama dengan negara lain adalah untuk memberikan manfaat strategis bagi negara-negara yang melakukan kerja sama.
Melihat kompleksitas masalah yang sedang dihadapi di kawasan, sudah saatnya ASEAN mengambil peran sentral dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan. ASEAN akan menemukan relevansinya jika mereka mampu menjawab tantangan dan kebutuhan di kawasan.
Karena itu, posisi ASEAN yang berada di persimpangan jalan perlu menentukan arah, Indonesia perlu untuk meyakinkan negara-negara anggota ASEAN bahwa mereka mampu mengambil peran sentral, tanpa adanya intervensi asing di tengah rivalitas hegemoni di kawasan. Hal ini tidaklah mustahil dicapai jika ASEAN dapat menumbuhkan solidaritasnya kembali, dalam kerangka kerja sama AOIP.