Penderitaan adalah bagian dari kejahatan. Sedang kejahatan bisa bermakna ganda; kejahatan struktural (state) atau kejahatan non-struktural (non-state-actor). Pada prinsipnya, kejahatan, baik yang dilakukan oleh negara, maupun perorangan, selalu menghasilkan kekerasan. Secara definisil, kekerasan dapat kita klasifikasi sebagai kekerasan simbolik, psikologis dan fisik. Jenis kekerasan tersebut memiliki implikasi yang beragam. Spiral kekerasan, dalam logika kejahatan yang destruktif, selalu meninggalkan bekas pada korbannya. 

Kekerasan simbolik acapkali bersifat hegemonik. Ia menyelundup melalui fasilitas wacana yang sangat sulit dikenali. Modus kekerasan simbolik melalui wacana diandaikan untuk menghasilkan kepatuhan. Di dalam masyarakat yang tertutup dan tidak kritis terhadap janji, pengaruh dan wacana yang seakan menguntungkan, namun sebetulnya menyihir kesadaran kolektif yang menghasilkan fanatisme, penerimaan, bahkan fundamentalisme. Pada dasarnya, kekerasan smbolik terjadi karena faktor ketidaktahuan.

Kekerasan simbolik yang paling tidak disadari adalah kemiskinan. Masyarakat, khusunya, kelas kampung miskin kota atau pedesaan, menggambarkan kondisi tersebut dengan satu slogan generik;“miskin itu takdir.” Ketidakkritisan tersebut menjadi penyebab ontologis mereka nerimo dan legowo. Tidak dibongkar political-economic-origin dari apa itu kemiskinan. Hal tersebut biasanya terjadi akibat menyelundupnya visi manikean yang membuat masyarakat abai terhadap jenis kebenaran yang lain bahwa, misalnya, terdapat faktor struktural yang menyebabkan kemiskinan.

Visi manikean umumnya berangkat dari persepsi menolak pluralitas serta kecendrungan mengglorifikasi cara berfikir yang dogmatis. Hal tersebut berbahaya karena tidak memperhitungkan realitas yang kompleks dari kemiskinan itu sendiri. Selain itu, kepatuhan terhadap moral dan mistifikasi kultural yang, misalnya, merupakan inkorporasi dari kebenaran yang tunggal, berdampak pada tereliminirnya kesadaran kritis.

Selain itu, kekerasan simbolik lainnya yang tidak disadari adalah sistem sekolah. Bagi Bourdieu, latar belakang kelas sosial seseorang menentukan berhasil atau gagalnya ia dalam berkompetisi di sekolah. Mereka yang masuk ke dalam universitas-universitas ternama dan prestisius biasanya berasal dari kalangan kelas ekonomi menengah ke atas.

Kesenjangan di universitas antar mahasiswa, pertama-tama, disebabkan oleh modal ekonomi dan modal budaya keluarga. Modal ekonomi yang timpang di antara mahasiswa menyebabkan perbedaan akses terhadap seluruh fasilitas penunjang aktivitas akademiknya. Sedang modal budaya yang, sebenarnya, dipengaruhi oleh kualitas lingkungan tempat anak itu tinggal, pendidikan orang tua, dan kesadaran intelektual (membaca dan diskusi) keluarga, memiliki signifikansi tersendiri terhadap pembentukan karakter intelektual sang mahasiswa.

Bagi Haryatmoko, dalam bukunya Dominasi Penuh Muslihat (2020), universitas diasumsikan berperan aktif dalam memproduksi dan mereproduksi kesenjangan sosial. Oleh karena itu, bila kekerasan simbolik dalam sistem pendidikan dampaknya adalah kesenjangan sosial, maka perbedaan modal ekonomi dan modal budaya menjadi karakter utama kekerasannya.  

Asal usul kekerasan tidak dapat dipisahkan dari aspek dominasi. Bagi Nietzsche, dominasi tidak selalu beroprasi dalam bentuk penjajahan, penindasaan, atau penundukkan. Dominasi dapat berarti tersihirnya kesadaran rasional dari korbannya. Sehingga patuh terhadap wacana, gagagasan dan perintah yang disublimkan. Dalam On Truth and Lies in A Nonmoral Sense (1873), Nietzsche membagi empat prinsip model kebenaran yang, misalnya, saya asumsikan sebagai pisau-analisis untuk membedah muslihat dominasi yang tak kasat mata.

Pertama, prinsip eksterioritas. Bagi Nietzsche, pengetahuan dan kebenaran mengandung naluri tirani. Berbeda dengan Foucault, Nietzsche meyakini bahwa pengetahuan dan kebenaran itu harus disembunyikan dan dikemas dalam ungkapan, atau bahwa, yang lebih emansipatif. Kedua, prinsip fiksi. Asumsi terhadap prinsip ini terletak pada defenisi bahwa kebenaran itu tidak pernah tunggal. Oleh karena itu, pluralisme harus dipahami sebagai pelawanan terhadap segala hal yang tunggal.

Ketiga, prinsip penyebaran. Hal tersebut memberi penjelasan bahwa kebenaran tidak tergantung pada subjek, melainkan banyaknya sintesa sejarah. Keempat, prinsip kejadian. Kebenaran tidak mendefinisikan suluruh makna asali, melainkan ragam dari penemuan yang khas. Maka, konteks menjadi sesuatu yang penting karena yang konkrit ada dalam ruang dan waktu tertentu. Pada intinya, Nietzsche ingin mengajukan bentuk kebenaran yang lain dalam rangka mengintrupsi kebenaran yang dikristalkan. Mengapa? Karena kebenaran yang dilembagakan sering menjadi lokasi persembunyian kepentingan politik prgamatis.

Berbeda Nietzsche, Foucoult justeru melihat kekerasan simbolik melalui kajian kebahasaan. Pengetahuan dapat menjadi kekuasaan bila bahasa terpengaruh oleh kapital variabel. Misalnya, economy capital atau culture capital yang dimiliki oleh seseorang akan melatarbelakangi realasi kuasa dalam aktivitas komunikasi orang tersebut. Dalam garis pemikiran itu, bahasa tidak diartikulasi oleh Foucault sekadar sebagai instrumen komunikasi, melainkan juga intsrumen kekuasaan. Dalam dominasi simbolis, terlihat bagaimana kepatuhan dan kekerasan tersebut diproduksi melalui wacana.

Komunikasi mengimplikasikan pengetahuan dan kekuasaan. Hal tersebut berlangsung sebagai relasi kuasa simbolis di mana kapital yang dimiliki antar pembicara menentukan dominasi. Interaksi antar individu tersebut merupakan hubungan dominasi yang ditandai oleh sesuatu yang simbolis, yaitu, pengetahuan dan kekuasaan. contoh konkrit, misalnya, percakapan di antara professor dan mahasiswa. Professor tersebut, selain memiliki modal pengetahuan, ia juga memiliki pengakuan akademis dengan statusnya sebagai guru besar. Maka, jenis kebenaran seperti itu akan membuat mahasiswa terdominasi. Dominasi tersebut kemudian melahirkan kekerasan simbolik; mendefinisikan cara bicara, berfikir, dan bertindak.