Kasus kekerasan seksual yang kerap kita dengar kental kaitannya dengan wanita sebagai korban. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban dari kekerasan seksual.
Faktanya, berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2020 terdapat 3.011 korban kekerasan seksual yang berjenis kelamin laki-laki. Namun, mengapa kekerasan seksual yang terjadi pada laki-laki dianggap sebagai hal yang tabu?
Banyak berita mengenai kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki yang dapat kita lihat di berbagai media. Contohnya yaitu terdapat sebuah kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang berusia 28 tahun terhadap anak laki-laki yang berusia 16 tahun pada 2021 lalu di Probolinggo, Jawa Timur.
Motif dari kasus pemerkosaan ini ternyata korban dan pelaku merupakan partner kerja. Pelaku menyandera korban selama tiga hari hingga orang tua korban curiga akan ketidakpulangan anaknya selama tiga hari tersebut. Kasus ini akhirnya terbongkar setelah korban melaporkan pelaku kepada pihak kepolisian.
Terdapat pula kasus pelecehan seksual terhadap dua belas anak laki-laki di bawah umur oleh seorang pria penyuka sesama jenis yang berumur 25 tahun di Tarakan, Kalimantan Utara pada 2021 silam.
Pelaku melancarkan aksinya melalui media sosial dengan membuat akun palsu yang menggunakan foto wanita. Selain terjerat pasal pencabulan, pelaku juga terjerat pasal tentang perlindungan anak. Kasus ini terbongkar setelah dua orang korban beserta keluarganya melaporkan diri ke pihak kepolisian.
Masih banyak kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki lainnya yang bahkan tidak terungkap karena para korban yang enggan melaporkan diri kepada pihak berwenang.
Hal ini membuktikan bahwa di balik banyaknya data yang membuktikan bahwa kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual adalah perempuan, laki-laki juga bisa menjadi korbannya. Tapi kebanyakan daripada mereka yang menjadi korban kekerasan tersebut tidak mau bahkan malu untuk melaporkannya.
Ada beberapa kategori laki-laki yang rentan menjadi korban dari kekerasan seksual. Dari dua contoh kasus di atas, kita dapat melihat satu kesamaan di antara keduanya, yaitu korban yang merupakan anak di bawah umur. Hal ini seharusnya menjadi perhatian lebih bagi para orang tua untuk memberikan pengawasan lebih kepada anak-anaknya.
Sebab, hanya karena anak kita berjenis kelamin laki-laki bukan berarti mereka tidak rentan dari segala bentuk kekerasan yang ada. Selain anak di bawah umur, orang dewasa pun bukan tidak mungkin dapat menjadi korban. Kewaspadaan dan kehati-hatian adalah kunci dalam menjaga diri.
Penyebab dan Reaksi Kekerasan Seksual terhadap Laki-Laki
Kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang paling berpengaruh yaitu perbedaan usia antara korban dan pelaku. Kebanyakan korban dari kekerasan seksual ini biasanya jauh lebih muda dibandingkan dengan para pelaku, yang mana hal ini berkaitan dengan faktor berikutnya yaitu relasi kuasa.
Ketimpangan relasi kuasa yaitu ketika pelaku merasa memiliki dominasi atas korban biasanya menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan seksual atas seseorang. Ditambah apabila ekspresi korban menunjukkan bahwa mereka lemah dan merasa terdominasi oleh sang pelaku, maka hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya kekerasan seksual.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap tabu kekerasan seksual terhadap laki-laki. Apabila mendengar berita mengenai kekerasan seksual terhadap laki-laki, tidak sedikit yang beranggapan dengan menyalahkan korban karena kelemahannya dan sikap tidak maskulinnya sehingga ia dapat menjadi korban. Pemikiran seperti ini harus diubah karena bukan berarti laki-laki yang menjadi korban adalah lemah.
Toxic Masculinity
Toxic Masculinity dan budaya patriarki yang masih sangat melekat pada masyarakat Indonesia dapat disalahkan atas keseganan para korban untuk melapor. Sebenarnya apa itu toxic masculinity? Dan apa kaitannya dengan korban kekerasan seksual terhadap laki-laki yang jarang melapor?
Berdasarkan kamus Oxford Dictionary, toxic masculinity adalah sikap dan cara berperilaku stereotip yang terkait dengan atau diharapkan dari laki-laki, serta dianggap memiliki dampak negatif pada laki-laki dan masyarakat secara keseluruhan.
Contoh kecilnya saja yaitu laki-laki dianggap tidak boleh menangis, menganggap normal perilaku kekerasan, laki-laki harus mendominasi, dan masih banyak lagi. Budaya toxic masculinity ini terbentuk akibat dari masyarakat patriarki yang menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki sebagai suatu hal yang tabu.
Sehingga, bagi mereka yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, mereka justru memperoleh pandangan negatif dan dianggap sebagai lemah, payah, dan bukan laki-laki sepenuhnya. Pada akhirnya, para korban merasa segan dan memutuskan untuk tidak melaporkan kasus yang mereka alami.
Upaya Pencegahan
Segala bentuk kekerasan seksual harus dibasmi, baik yang memiliki korban perempuan maupun laki-laki. Baik kedua belah pihak, perempuan maupun laki-laki, memiliki kewajiban yang sama untuk berpartisipasi dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual.
Dorongan bagi para korban tak terkecuali laki-laki untuk melapor dapat dilakukan dengan memperbanyak saluran-saluran tempat perlindungan dari kekerasan seksual.
Selain itu, keterbukaan pikiran bahwa laki-laki juga dapat menjadi korban kekerasan seksual perlu ditekankan, supaya laki-laki tidak akan ragu ataupun segan dalam mencari perlindungan dari segala bentuk dan tindak kekerasan seksual.
Segala bentuk upaya pencegahan kekerasan seksual harus kita lakukan untuk melindungi korban. Tidak hanya bagi laki-laki, melainkan bagi semua korban kekerasan seksual.