“Because it it less fearful to be “The One” than to be Self, the modern world has wonderfully multiplied all the devices of self-evasion” - William Barret (Irrational Man: 1958)
Nama Leo Tolstoy mungkin sudah tidak asing bagi beberapa orang yang pernah membaca hasil karya-karya sastrawan asal Rusia ini. Buku-bukunya seperti War and Peace (1865), Anna Karenina (1877), A Confession (1882), Childhood (1852), What Men Live By (1885), Ressurection (1899) yang beberapa sudah diangkat ke bingkai kaca Hollywood. Dan saya termasuk yang salah satunya menikmati suguhan karya cerita Tolstoy lewat film tersebut.
Ketika sedang membaca buku Irrational Man: A Study in Existensial Philosophy (1958) karya William Barret yang memang fokus pada tema-tema filsafat eksistensialisme disitulah saya bertemu dengan nama Ivan Ilyich yang disebut berkali-kali oleh Barrett, tepatnya kematian Ivan Ilyich.
Perjalanan kehidupan Ivan Ilyich menjelang kematiannya ini saya kira merupakan cerita sebuah nama tokoh di kehidupan nyata. Tetapi nyatanya saya menemukan nama Ivan Ilyich di internet merujuk kepada buku The Death of Ivan Ilyich (1886) karya Tolstoy. Saya kira wajar menganggap cerita Ivan Ilyich ialah suatu cerita yang ‘ada’ di dunia realitas sebab memang beberapa orang telah hidup atau sedang hidup halnya kehidupan superfisial Ivan Ilyich.
Mungkin manusia tidaklah terlalu amat berbeda jika membandingankannya di era lalu hingga era modern seperti sekarang ini. Hal tersebut bisa ditemukan halnya buku Tolstoy yang diterbitkan tahun 1886 yang jika melihat konteks sejarah saat itu jelas ada yang salah dengan way of life orang-orang, khususnya kelas menengah ke atas. Dan Ilyich menjadi simbol seseorang yang hidup di era tersebut dengan nilai-nilai kehidupan yang superfisial.
Kisah ini dimulai di tempat pangadilan umum ketika kabar Ivan telah meninggal di telinga antar kolega mereka. Peter Ivanovich yang menjadi karib terdekat Ivan sejak bangku kuliah terkejut mendengar kabar ini dan segera berziarah ke rumah Ivan. Keterkejutan ini bukanlah yang menjadi poin utama dalam penyampaian cerita awal ini, melainkan dialog para kolega Ivan yang justru membahas beberapa properti yang Ivan miliki semasa hidupnya dan tentang siapa yang selanjutnya akan menggantikan posisi Ivan.
Cerita pun bergulir ke alur kehidupan Ivan yang mempunyai keluarga dengan latar belakang aparatur pemerintahan, khususnya Ayah Ivan yang berada di posisi strategis dan masa pengabdian yang sudah cukup panjang membuat posisinya “tidak dapat diberhentikan”. Ayah Ivan yang mempunyai tiga anak laki-laki ini juga merintis karir di pemerintahan juga, kecuali adik Ivan yang dikeluarkan dari Sekolah Hukum karena gagal menyelesaikan ujian sekolahnya.
Melihat latar belakang keluarga Ivan dari kelas atas ini membuat hidup Ivan muda juga terpengaruh oleh lingkungan kelas sosial keluarganya. Misalnya, Ivan yang membuat lingkup pertemannya hanya dari kalangan kelas atas, hanya memakai pakaian dari penjahit papan atas dan berpesta di restaurant ternama.
“Neither as a boy nor as a man was he a toady, but from early youth was by nature attracted to people of high station as a fly is drawn to the light, assimilating their ways and views of life and establishing friendly relations with them” (hal 15).
Setelah lulus, Ivan pun mendapat pekerjaan karena pengaruh ayahnya yang menjadi pejabat di sebuah wilayah khusus. Pekerjaannya sebagai juri di persidangan ini membuat Ivan memiliki posisi bahwa orang-orang yang di bawahnya ada di kendali Ivan.
Lulus, mendapat pekerjaan strategis dan terpandang, kemudian tahap apa lagi kalau bukan mencari istri untuk dinikahi? Tahap inilah yang Ivan pilih ketika ia bertemu dengan sosok Praskovya Fedorovna Mikhel, yang menurut pengakuan Ivan, dirinya tidak berniat untuk menikahi Praskovya pada awalnya. Tetapi, melihat wanita tersebut tampaknya “jatuh cinta” kepada Ivan dan konsep pernikahan yang disetujui oleh kalangan sosialnya, dengan keputusan yang superfisial Ivan pun akhirnya menikahi Praskovya.
“She fell in love with him. Ivan had at first no definite intention of marrying, but when the girl fell in love with him he said to himself: “Really, why shouldn’t I marry?”...He was swayed by both these considerations: the marriage gave him personal satisfaction, and at the same time it was considered the right thing by the most highly placed of his associates” (hal 19).
Tak lama setelahnya Praskovya mengandung anak pertamanya dengan Ivan. Momen yang seharusnya bahagia ini justru membuat kehidupan “layak” menurut Ivan menjadi goyah. Perilaku istrinya di awal bulan kehamilannya membuat keadaan rumah tangga keduanya justru jauh dari kesan harmonis. Praskovya banyak membuat tindakan yang tidak menyenangkan, seperti jealous tanpa sebab dan memperlihatkan perilaku “tidak sopan” kepada Ivan membuat dirinya menjauhi istrinya dengan tindakan kurang bertanggungjawab, seperti bermain kartu dengan teman-temannya dan pergi ke klub malam.
Setelah Praskovya lahiran pun, keadaan tersebut masih sama dan Ivan tetap menghadapi masalah ini dengan cenderung menghindarinya. Ivan semakin fokus dan ambisius kepada pekerjaannya sampai pada akhirnya Ivan harus pindah ke wilayah lain sebagai Jaksa Penuntut Umum.
Kenaikan jabatan Ivan yang berarti kenaikan gaji ini nyatanya tidak juga membawa kebahagiaan pada rumah tangga Ivan. Pengeluaran yang semakin besar, dan tempat tinggal yang kurang disukai oleh Praskovya menimbulkan berbagai perselisihan diantaranya yang tidak berbeda dari awal pernikahannya bahkan setelah 17 tahun Ivan dan Praskovya bersama.
Kehidupan yang dirasa Ivan semakin dipenuhi masalah, sampai akhirnya Ivan merasa depresi dan bosan dengan pekerjaannya. Ia memutuskan untuk mundur dari pekerjaannya dan berusaha mencari pekerjaan apapun itu yang memiliki gaji lebih besar dari sebelumnya. Bersama kesulitan datanglah kemudahan, secara bersamaan Ivan mendapatkan tawaran pekerjaan di pengadilan oleh seorang gubernur di wilayah Kursk. Dengan kenaikan gaji yang lebih tinggi plus biaya terkait kepeindahan sebelumnya. Ivan pun pada akhirnya merasa lebih senang dari sebelumnya.
Ivan mulai berbenah kembali kehidupannya, khususnya dengan istrinya yang anehnya juga menjadi membaik setelah peristiwa sebelumnya. Rumah ideal yang menjadi idaman, mulai dibangun beserta furniture di dalamnya. Saking ingin memenuhi ekspetasinya ini, terkadang di tengah pekerjaannya dalam sesi pengadilan, Ivan memikirkan tentang model gorden apa yang ingin dia pilih.
Kehidupan Ivan yang dicoba untuk sedemikian mungkin untuk pas dengan standarisasi atau kesesuaian lingkup sosial masyarakat tersebut, nyatanya tidak disadari Ivan. Misalnya perihal rumah serta dekorasi di dalamnya yang nyatanya sama saja dengan rumah-rumah kalangan kelas sesamanya. Tapi justru ketika Ivan telah sukses menyesuaikan kehidupannya dengan standarisasi masyarakat tersebut, dirinya justru merasa spesial.
“His house was so like the others that it would never have been noticed, but to him it all seemed to be quite exceptional” (hal 28).
Sampai pada akhirnya gerbang kepedihan Ivan terbuka lagi yang membuat bangunan kehidupan superfisialnya mulai goyah dengan masalah kesehatan Ivan. Mulai dari dirinya indra pengecapan yang membuat rasa aneh di mulutnya, Ivan yang menjadi temperamental karena berbagai hal kecil, dan berbagai diagnose dokter seperti penyakit ginjal, katarak dan usus buntu.
Tolstoy dengan apiknya berhasil memantik emosi saya sebagai pembaca sebab dalam situasi “buruk” yang menimpa Ivan, justru yang di khawatirkan istrinya ialah gaji Ivan yang akan terhenti jika pada akhirnya ia meninggal. Serta Ivan yang berusaha menceritakan apa yang dirasakannya kepada Praskovya dan anak perempuannya malah justru diabaikan.
“She sat down reluctantly to listen to this tedious story, but could not stand it long, and her mother too did not hear him to the end” (hal 35 ).
Dengan banyaknya konsultasi dengan dokter serta pengobatan, rasa sakit Ivan pun belum juga berujung. Hanya rasa sakit yang semakin parah setiap harinya yang menimbulkan kegelisahan dan penderitaan yang terus tumbuh bak jamur kepada Ivan. Dan di saat inilah Ivan membutuhkan suatu ketenangan dalam hidupnya.
Ditengah penderitaan dan penolakan dari keluarganya sendiri, Gerasim, yang hanya seorang pelayan nyatanya lebih membuat Ivan lebih menerima penyakit yang sedang di deritanya. Gerasim, menurut Ivan ialah satu-satunya orang yang tidak berusaha untuk berbohong tentang kondisi yang sedang dialaminya.
Menjelang kematiannya, Ivan yang mengingat tentang apa yang sudah ia capai dalam kehidupan nyamannya, pada akhirnya memori tersebut menjadi gambaran hitam yang tidak bisa ia rasakan. Gambaran akan pencapaian sebagai kebahagiaannya yang justru menjadi kesadaran bahwa mungkin prinsip kehidupan yang ia jalani selama ini ialah suatu kesalahan.
“And in imagination he began to recall the best moments of his pleasant life. But strange to say none of those best moments of his pleasant life now seemed at all what they had then seemed” (hal 64).
Kematian faktanya adalah hal yang inheren dari kehidupan manusia. Ivan sendiri, sebagai seseorang yang mapan dalam pekerjaannya dan dikenal dalam lingkungan sosialnya tidak bisa menerima kematian yang sebetulnya menjadi masa depan eksistensinya. Justru ada sebuah silogisme Kiesewetter yang ia pelajari, bahwa “Caius is a man, men are mortal, therefore Caius is mortal”. Hal tersebut jelas mutlak mustahil terjadi pada Ivan sebagai seorang manusia-biasa.
Ivan menutup mata pada kematiannya dan berjalan pada kehidupan yang ia jalani dengan begitu linearnya. Belum lagi prinsip Ivan yang serba “persetujuan dan kesesuaian” dari eksistensi publik yang membuat dirinya justru terpisah dari apa yang sebetulnya Ivan mau dan apa yang eksistensi publik standarisasikan.
Pada akhirnya, nilai-nilai superfisial jelas tidak layak diemban untuk seorang manusia yang pada hakikatnya bertugas untuk mencari akan “siapa dirinya?” lewat nilai-nilai yang datangnya dari prinsip nilai kehidupan subjektif. Setiap manusia menjalani hidupnya masing-masing (perasaan seperti kepedihan, kebahagiaan, perjuangan hal yang tidak bisa "dipindahkan" ke orang lain) dan sepertinya terlalu riweh untuk memuaskan standarisasi setiap mulut manusia lainnya.
Sebagai penutup kehidupan superfisial Ivan Ilyich, bab "Do Not Live to Satisfy the Expectations of Others" yang ditulis oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga dalam bukunya "The Courage to be Disliked" (2013), menginginkan pengakuan dari eksistensi publik akan kehidupan yang kita miliki hanya akan membuang kehidupan yang sejatinya kita dapatkan.
"Wishing so hard to be recognized will lead to a life of following expectations held by other people who want you to be "this kind of person". In other words, you throw away who you really are and live other people's lives" (hal 106).