Tak mudah memang menumbuhkan tradisi ilmiah, terlebih di Indonesia di mana masyarakatnya nyaris belum mengenal kebiasaan semacam itu. Di samping soal keseriusan juga keengganan, proyek ini kian terbentur dengan hadirnya gerakan-gerakan anti-kritik yang senantiasa akan menggempur beragam macam bentuk pengupayaannya.
Jikapun berhasil, tak jarang ia kembali akan menjadi gerakan anti-kritik yang baru. Karenanya, perlu perhatian khusus dan hati-hati dalam memahaminya, sambil terus mengupayakan penumbuhannya setahap demi setahap.
Adalah Workshop tentang Sains dan Pemikiran Kritis Qureta-Gita di Bandung (22 - 24 September 2017) yang hadirkan cara pengupayaannya itu. Melalui Kuliah Terbuka Karlina Supelli bertajuk “Ancaman terhadap Ilmu Pengetahuan”—sebagai rangkaian kegiatannya, poin penting dan mendesak itu akhirnya didapat.
Di sana, di kegiatan yang terselenggara di Universitas Katolik Parahyangan, sang dosen mendedahkan betapa penting dan mendesaknya pembangunan tradisi ilmiah. Ia sekaligus mewartakan ancaman yang membelenggu, juga batas dari ilmu pengetahuan sebagai hal utama lainnya yang patut juga diketahui.
Mengapa tradisi ilmiah? Bagi Karlina, pokok ini penting diejawantahkan sebagai upaya mencipta dunia kehidupan yang layak. Sebab, kita hidup di dunia riil di mana kompleksitas yang dihadapi juga riil, maka cara pengentasannya pun harus bersumber dari rumusan-rumusan yang riil pula. Dan hanya tradisi ilmiahlah yang memungkinkan cara yang seperti itu, yakni melalui ilmu pengetahuan.
Meski demikian, satu hal yang patut diingat di sini adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak mengajarkan kepastian. Ia hanya berperan melatih akal budi saja. Ia yang mengarahkan manusia untuk bisa berani menyangsikan segala sesuatu, termasuk mempertanyakan hal-hal paling fundamental sekalipun berupa iman.
Sayangnya, tradisi semacam ini sangat rentan pada ancaman, baik datangnya dari luar, maupun yang bersumber dari dalam dirinya sendiri. Hal ini kian memprihatinkan ketika tahu bahwa problem tersebut ternyata juga terjangkit di dunia akademik, sebuah lingkungan di mana seharusnya tradisi imiah itu dimungkinkan berkembang pesat.
“Ini persoalan sangat serius yang kita hadapi sekarang. Persoalan itu pelan-pelan membawa kita ke ruang pemikiran tertutup, yang kemudian menjadi semacam bentuk pemujaan,” tutur Karlina.
Karlina Supelli. Foto: Gita
Yang Mengancam Ilmu Pengetahuan
Dalam paparannya, Karlina Supelli menyebut dua pemicu lahirnya ancaman terhadap ilmu pengetahuan. Yang satu berakar dari tradisi ilmiah itu sendiri, yakni relativisme, dan yang kedua lebih bersumber dari tradisi-tradisi kolot (religiusitas), yakni fundamentalisme agama.
Sebagaimana diketahui, relativisme adalah kritik atas klaim kebenaran absolut. Baginya, tak ada satu kebenaran mutlak pun yang patut dijadikan sebagai ukuran atau acuan. Apa yang disebutnya sebagai objektivitas dalam ilmu pengetahuan, menurut paham ini, adalah apa yang menjadi kesepakatan para ilmuwan (saintis) belaka.
Dengan corak berpikir seperti itu, muncullah apa yang kemudian kita sebut sebagai konstruktivisme sosial—sebuah paham yang berangkat dari kritik, tetapi menjadi anti-kritik sebab menyangkal adanya nilai-nilai universal yang bisa jadi pegangan hidup.
“Sampai pada titik tertentu, ini betul. Tetapi, bahwa apa yang dihasilkan ilmu semata-semata sebagai konstruksi tekstual, itu justru menimbulkan tantangan terhadap rasa kemanusiaan. Bagaimana saya bisa menjelaskan kehancuran Hiroshima dan Nagasaki, misalnya? Kalau atom yang menjadi dasar pembentukan bom atom (nuklir) itu hanya konstruksi tekstual, di mana tanggung jawab ilmuwan? Di mana tanggung jawab para ahli teknologi?”
Meski begitu, dosen filsafat tersebut tak terlalu mengkhawatirkan ancaman model ini. Yang menjadi titik keseriusannya dalam mendedahkan konten kuliahnya adalah soal fundamentalisme agama.
“Sebuah ironi ketika ilmu pengetahuan itu dipakai di ruang publik untuk menjustifikasi tafsir-tafsir keagamaan. Ilmu pengetahuan itu diterima sejauh ia bisa menjustifikasi tafsir-tafsir tertentu. Kalau tidak bisa, disingkirkan. Ini yang berbahaya. Artinya, ilmu pengetahuan dipilih secara selektif.”
Contoh nyatanya adalah apa yang pernah terjadi di Jakarta. Di ibu kota negara ini, sebuah kebencian massal pernah meletup hebat tanpa mempertimbangkan tafsir linguistik atas ucapan seseorang. Tafsir di luar keagamaan tak dipedulikan. Pintu sains ditutup rapat, bahkan oleh sebagian pengambil kebijakan pun ikut andil sebagai penghambat.
Alhasil, yang terjadi adalah “tirani mayoritas”. Beratasnamakan agama, kebenaran duniawi diklaim secara sepihak. Sains, yang mestinya menjadi mekanisme satu-satunya, sama sekali tidak dibolehkan masuk ke ranah yang sebenarnya merupakan wilayah kerjanya ini.
Mempertegas Batas
Dalam tradisi ilmiah, orang perlu tahu bahwa ada batas yang tidak bisa dilanggar oleh siapa pun yang bergelut di bidang ini. Meski tampaknya tidak tersurat, tetapi sains senantiasa harus bekerja dalam dunia berbatas ruang dan waktu.
Sayangnya, batas tersebut sering disalahpahami. Lihat saja bagaimana antara sikap dengan apa yang dibutuhkan oleh ilmu pengetahuan untuk bisa menjadi ilmu, jarang sekali bisa dibedakan secara tegas. Kadang persoalan-persoalan duniawi dijelaskan tidak semata melalui mekanisme dan proses-proses keduniawian, melainkan yang meminjam penjelasan dari luar seperti pada klaim keagamaan (kitab suci).
“Yang terjadi adalah terbenturnya nalar pada pemujaan. Akal budi menjadi tumpul. Sebab, segala persoalan dengan mudah dijawab: Itu kan kehendak tuhan.”
Karenanya, Karlina menegaskan bahwa ilmu pengetahuan itu harus bercorak sekular. Sekularisasi, baginya, adalah kesanggupan untuk berpikir pada ranah dunia dan mencari penjelasannya pada dunia ini sendiri. Dengan kata lain, segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab manusia, mesti diselesaikannya sendiri dengan memakai daya-daya empiris, bukan meminjam penjelasan dari luar seperti pada kitab suci.
“Mengapa terjadi longsor, banjir, ya itu kehendak tuhan. Tidak kita selidiki bahwa ada kebijakan yang keliru tentang lingkungan. Jadi, dialog publik akan berhenti ketika tidak ada batas yang tegas antara apa yang bisa diklaim sebagai apa yang ada di luar dunia dengan apa yang menjadi wilayah ilmu pengetahuan.”
Hal tersebut berarti bahwa ilmu pengetahuan membutuhkan sikap agnostik. Ada atau tidaknya dunia luar, misalnya, bukanlah menjadi urusan ilmu pengetahuan. Terlebih diketahui bahwa ilmu pengetahuan tidak punya mata elang yang mampu melihat dalam cakupan lebih luas ke seluruh penjuru cakrawala.
“Ilmu pengetahuan tidak menyangkal yang intuitif, sebuah hal yang bisa diperoleh dengan berbagai cara seperti pewahyuan untuk pengetahuan metafisis, religius, dan lain-lain. Tidak menyangkal, hanya bukan wilayahnya. Kenapa tidak menyangkal? Karena memang tidak bisa. Tidak punya metode. Memang tidak punya sarana untuk itu.”
Dengan demikian, jika ilmu pengetahuan membiarkan segala hal bebas untuk ditelaah, tak ada demarkasi yang jelas, maka ilmu pengetahuan ilmiah sudah tidak bisa diandalkan lagi. Sebab, kepercayaan tidak bisa memprediksi. Sementara ilmu pengetahuan, yang bergerak di wilayah empiris, tujuannya adalah memberi prediksi, bukan kepastian.
Dalam sains, kita tidak pernah tahu kapan kebenaran itu bisa didapat. Tapi, menutup kemungkinan dengan hanya berujar bahwa apa yang ada di dalam kitab suci adalah benar, dan menutup semua kemungkinan terhadap semua tafsir terhadap kitab suci, sains tidak mungkin bisa mendapat ruang untuk berkembang. Seperti di abad pertengahan, kebenaran religius akan menjadi penilai kebenaran ilmiah.
Ini yang harus kita luruskan. Kebenaran ilmiah harus bertengger sebagai penguji kebenaran religius. Tidak sebaliknya.
Pun ini adalah tantangan kita ke depan. Meski ada banyak kelompok yang terus bersiaga, siap menyerang siapa saja yang mencoba membuka ketertutupan, tetapi menumbuhkan tradisi ilmiah berbasis ilmu pengetahuan adalah keharusan yang wajib kita camkan. Tidak boleh tidak.