Terdampak di masa pandemi adalah sebuah keniscayaan, artinya tidak bisa tidak, semua orang adalah korban dalam pandemi. Seperti yang kita ketahui bahwa semua sektor terkena dampak, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Semua sektor terdampak, termasuk sektor pendidikan, khususnya sekolah.
Dalam perjalanannya, pendidikan tetap dilaksanakan meskipun dengan menggunakan pembelajaran jarak jauh atau disingkat PJJ.
Ketika membincang PJJ, akan sangat mustahil jika kita tidak menghubungkannya dengan kritik dan keluhan, mulai dari kebutuhan kuota, kekuatan sinyal yang tidak memadahi, tidak memiliki gawai, mudah bosan, sampai kesulitan memahami materi.
Kritik tersebut datang dari berbagai kalangan, mulai dari anak sekolah, emak-emak, bapak-bapak, sampai pedagang sayur keliling.
PJJ memang isu yang selalu hangat dibahas di mana saja dan oleh siapa saja. Apalagi pada semester ini yang diramalkan akan menggunakan pembelajaran tatap muka, ternyata kembali menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh.
Hal ini menyebabkan banyak pihak khawatir dengan kualitas pendidikan di masa depan jika tetap menggunakan sistem ini. Namun, sepertinya kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan.
Memangnya sejak kapan sekolah benar-benar dirindukan? Bukankah sejak dulu sekolah adalah tempat yang mengganggu? bukankah sekolah adalah tempat yang membosankan? Sampai pelajaran yang paling ditunggu adalah pelajaran kosong.
Seingat saya, sebelum pandemi sekolah selalu dikritik habis-habisan, entah dari metode, kurikulum, sarana prasarana, profesionalitas guru, sampai hukuman terhadap siswa.
Namun ketika pandemi terjadi, dan sekolah harus menerapkan PJJ, tiba-tiba semua orang berlomba-lomba merindukan sekolah tatap muka. Seakan-akan beranggapan kalau pembelajaran tatap muka, maka pendidikan Indonesia akan sangat mencerdaskan kehidupan bangsa, warbiyasah.
Ketika ada pernyataan kalau PJJ membuat peserta didik tidak terlalu memahami materi yang disampaikan, pertanyaan saya sederhana, apakah ketika pembelajaran normal mereka otomatis memahami materi? Bukankah ketika pembelajaran normal juga terjadi ketidakpahaman dan kebosanan? Bukankah hal tersebut selalu terjadi setiap tahun, bahkan sebelum pandemi?
Lantas kenapa seakan-akan ketika ada anak yang tidak paham materi maka otomatis gara-gara pandemi? Ketika ada kesulitan dalam belajar maka pandemi yang disalahkan? Kenapa pandemi selalu dikambing hitamkan?
Perlu diakui bersama bahwa ketidakefektifan PJJ bukan saja karena faktor eksternal, seperti sinyal, kuota, atau sebagainya. Namun juga diakibatkan oleh faktor internal, yaitu diri sendiri. Atau lebih tepatnya adalah kemalasan. Jadi faktor eksternal adalah salah satu, bukan satu-satunya. Dan faktor kedua dinilai cukup dominan pengaruhnya.
Mengutip kalimat Mas Butet Kartaredjasa di salah satu video, ia mengatakan “Jangan beralasan karena covid-19 aku tidak berkarya, itu pernyataan yang tolol, karena jika anda beralasan seperti itu, itu karena Anda pemalas, murni pemalas”.
Perkataan Mas Butet tersebut benar-benar lugas dan terkesan ganas dalam menanggapi keluhan tentang pandemi yang terjadi secara trengginas. Kalimat tersebut sedikit banyak menggedor-gedor dinding keangkuhan umat manusia yang selalu menyalahkan segala hal yang bukan tentang dirinya. Karena itu kalimat tersebut layak diberikan tepuk tangan yang meriah.
Saya sendiri sangat setuju dengan kalimat Mas Butet di atas. Secara logika jika pandemi menghambat kreatifitas dan pemahaman, maka harusnya tidak ada lagi dong orang-orang yang bisa membuat karya di masa pandemi. Semua industri kreatif harusnya gulung tikar dan pindah menjadi peternak lele.
Nyatanya industri kreatif tetap ada dan tetap hidup. Mereka menemukan cara berjalan masing-masing dan menyikapi pandemi dengan cara yang bijak. Kreatifitas memang tidak bisa dimatikan.
***
Kritik seenak perut tentang PJJ tentu saja adalah hal yang lucu. Bagaimana mungkin menyalahkan keadaan sedang dirinya malah berbaring nyaman di dekat jendela?
Memang, kendala PJJ yang paling disuarakan adalah faktor sinyal dan kuota. Bagi yang tinggal di daerah susah sinyal, akan sangat layak dimaklumi ketika mengeluh, karena memang terdampak dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, bagi kalian yang tinggal di daerah perkotaan tidak wajar untuk ikut-ikutan.
Memangnya apa sih yang ingin mau dikeluhkan? Kalian kan tinggal di kota, harusnya bisa dong memakai subsidi dari pemerintah? Kan sinyal lancar. Atau kalau misal kuota habis, bukankah sangat mudah mencari wifi di daerah kota dengan bekal kopi satu cangkir?
Yang ngomel-ngomel di media sosial jelas anak perkotaan, karena bagaimana mungkin yang tinggal di daerah susah sinyal bisa ngomel-ngomel di media sosial dengan sangat aktif dan trengginas? Lah wong sinyal saja susah kok.
Darurat memang. Kedaruratan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa masalah utama dalam pendidikan di Indonesia bukanlah kurikulum, metode, evaluasi, bahkan pandemi. Melainkan kemalasan yang masih dipegang erat-erat.
Jadi yang harus diwaspadai dari pandemi pada bidang pendidikan bukan sistem pembelajarannya, melainkan sikap mental seorang pemalas. Dan pandemi bagaikan sasak tinju idaman bagi pemalas. Pandemi memang penyelamat orang-orang pemalas.
Perlu diingat bahwa tidak ada yang menginginkan keadaan seperti ini, pandemi bukan pilihan, melainkan keterpaksaan, karena itu, ya mau gimana lagi. maka akan lebih bijak jika berhenti menyalahkan keadaan dan mencari solusi untuk beradaptasi dalam pandemi.
Panjang umur kesehatan!