Seperti biasa, saya selalu terpesona dengan kalimat-kalimat orisinal yang keluar dari mulut seorang Rocky Gerung. "Saya berpolitik oposisi untuk diri saya sendiri," kata Rocky di hadapan hadirin suatu acara talk show di Makassar (31/1/2019). "Di situlah kedunguan petahana bahwa orang oposisi dianggap mendukung Prabowo-Sandi," tegasnya.
Bagi sebagian orang, kata-kata ini mungkin cenderung naif mengingat polarisasi politik saat ini memang tertuju hanya pada 2 pasangan capres, yaitu Jokowi-Ma’ruf selaku petahana dan Prabowo-Sandi selaku penantang.
Sewajarnya pula, pihak penantang pasti akan menjadi oposisi bagi petahana dengan menggali kekurangan-kekurangan pemerintah dan menyebarkannya kepada masyarakat untuk meyakinkan bahwa petahana memang tak layak dipilih kembali.
Namun, bagi saya, penegasan Rocky Gerung bahwa oposisi bukan berarti pendukung Prabowo-Sandi sungguh menjadi penyegar intelektual masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Pertarungan politik telah menimbulkan kekacauan berpikir masyarakat dalam bernegara.
Seolah-olah hanya terdapat 2 ruang di negara ini: jika kamu tidak mendukung Pemerintah, maka kamu pasti pendukung Prabowo; jika kamu mengkritik Pemerintah, maka kamu pasti pendukung Prabowo.
Padahal kehadiran oposisi dalam memberikan kritik kepada pemerintah adalah suatu kewajaran dalam sebuah negara demokrasi. Bahkan “wajib” sebagai mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
Menjadi lebih menarik ketika pernyataan Rocky ini dimaknai secara politis. Bahwa jika selama ini Rocky berlaku sebagai oposisi beriringan dengan kubu Prabowo-Sandi, maka belum tentu Rocky akan memilih Prabowo-Sandi dalam pemilu nanti.
Jadi sebaiknya pendukung Prabowo-Sandi jangan ke-ge-er-an dulu. Belum tentu semua yang mengkritik pemerintah pasti akan mendukung jagoan Anda tersebut.
Tak lama kemudian, tagar YangGajiKamuSiapa menjadi trending di mana-mana.
Ini gara-gara cuplikan video viral Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara yang meminta para aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kemenkominfo untuk memilih satu di antara dua desain spanduk sosialisasi Pemilu 2019.
Rudiantara merasa pilihan angka 1 dan 2 desain saat itu terbias angka pilihan pilpres. Ingin mengingatkan kepada yang hadir di acara itu bahwa mereka adalah ASN yang harus bebas kepentingan, Menkominfo bertanya ke peserta yang dirasa argumen pilihan spanduknya bias politik: “Yang gaji kamu siapa?”
Terlepas dari polemik yang beredar, bagi saya, pertanyaan ini menjadi penting untuk direnungi oleh semua ASN saat ini. Pertanyaan ini harusnya dianggap sebagai cambuk akal sehat para pegawai negeri.
Karena kemelut politik yang kian memanas, hari ini para ASN juga terpolarisasi secara terang-terangan di media sosial. Banyak dari mereka yang lupa bahwa fungsi mereka sebagai ASN adalah perekat bangsa.
Mereka juga lupa bahwa mereka seharusnya juga harus bebas dari kepentingan politik seperti yang dicontohkan oleh TNI maupun kepolisian (meskipun memang tidak memiliki hak politik). Bukan malah terang-terangan memperlihatkan dan mempertentangkan pilihan politik mereka.
Bagaimana mungkin mereka berperan sebagai pemersatu sementara mereka ikut menabuh genderang perang?
Lebih ironis lagi, banyak dari mereka yang ikut menjelek-jelekkan pemerintah. Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka selaku ASN adalah bagian integral dari pemerintah. Mengkritisi pemerintah berarti mengkritisi diri sendiri. Menjelek-jelekkan pemerintah sama dengan menjelek-jelekkan diri sendiri.
Yang menyedihkan adalah ketika status ASN itu hanya dipandang sebagai mata pencaharian. Banyak dari mereka yang merasa gaji itu adalah hak-nya, bukan sebagai beban amanah agar bekerja lebih baik selaku abdi negara.
Maka, ketika konteks pemahaman arti seorang ASN sedemikian rendahnya, pertanyaan “Yang gaji kamu siapa?” menjadi penting untuk dijawab sendiri oleh para ASN.
Memang benar bahwa sumber gaji itu berasal dari rakyat. Tetapi gaji itu dibayarkan untuk apa juga harus dijawab, yaitu untuk bekerja sebagai abdi negara yang menjalankan kebijakan negara yang telah dibuat.
Jika tak melaksanakan berarti wanprestasi. Jika tak setuju dan tak ingin melaksanakan, maka seharusnya mengundurkan diri.
Hal ini berlaku pula bagi para “pejuang” CPNS. Jika tak siap dipimpin oleh orang selain jagoan politikmu, maka sebaiknya tak usah mendaftarkan diri. Karena menjadi PNS harus siap melaksanakan instruksi dari pemimpin, terutama seorang Presiden, siapa pun dia.
Pertanyaan penting ini lalu menjadi bias di masyarakat. Seolah-olah pertanyaan ini adalah intimidasi seorang pejabat untuk mendukung petahana. Bahkan seorang politisi partai oposisi dengan kalimat yang cenderung bernada provokatif mengimbau untuk menghormati sikap ASN untuk tidak pro-pemerintah.
Imbauan ini tentu adalah hal yang keliru bahkan menyesatkan. Secara filosofis maupun menurut aturan yang ada, ASN sudah barang pasti harus pro-pemerintah, karena fungsinya memang sebagai pelaksana kebijakan yang dibuat oleh negara. Jika tidak pro kepada pemerintah, maka ia lalai menjalankan tugasnya.
(Mengenai fungsi, tugas, dan peran ASN, selengkapnya dapat dilihat di UU ASN)
Namun, meminjam logika Rocky Gerung, jika misalnya saya yang ASN memilih mendukung pemerintah, bukan berarti saya pendukung Jokowi-Ma’ruf.
Jangankan sebagai ASN, sebagai warga negara biasa pun, orang tetap berhak dan wajib untuk mengapresiasi dan mendukung kerja pemerintah yang baik. Tapi bukan berarti dia akan memilih orang yang kebetulan menjadi presiden saat ini di pemilihan presiden berikutnya.
Seandainya Rocky Gerung saat ini tidak memilih untuk menjadi oposisi, maka kemungkinan beliau akan mengatakan hal ini: “Kedunguan oposisi adalah ketika menganggap pihak yang pro kepada pemerintah sebagai pendukung Jokowi-Ma’ruf.”
Maka mari kita cerdas dalam menyikapi segala bentuk polemik di negeri ini. Ruang politik bagi masyarakat Indonesia begitu luas, tak harus dikungkung pada satu atau dua pilihan belaka, apalagi sebatas angka 1 dan 2.