Pemantauan kegempaan di gunungapi hingga kini masih menjadi salah satu metode yang cukup efektif khususnya ketika gunungapi tersebut akan meletus. Gempa di daerah gunungapi biasanya terjadi akibat gesekan antara cairan magma bertekanan tinggi yang meretakkan dinding kantong magma atau pipa kepundan.

Vyacheslaw M. Zobin dalam bukunya Introduction to Seismic Volcanology menyebut Pliny the Younger yang pertama kali menulis tentang gempa-gempa yang terjadi pada erupsi gunung Vesuvius tahun 79 Masehi.

Prof. Minakami mengklasifikasikan gempa di gunungapi berdasarkan lokasi sumber dan hubungannya dengan letusan. Pertama, gempa vulkanik dangkal dan kedua, gempa vulkanik dalam yang menandakan retakan di dinding-dinding kantong magma sebagai akibat magma yang mulai bergejolak. 

Ada juga tremor menerus yang didominasi gelombang permukaan dan gempa letusan yang ditandai dengan munculnya material vulkanik berupa lava, abu, dll di atas atau lereng kawah. Empat tipe ini menjadi tipe paling standar yang digunakan oleh para ahli dalam menentukan jenis gempa di area gunungapi.

Berkembangnya ilmu kegempaan gunungapi juga telah diimbangi dengan peralatan yang lebih canggih. Semua orang bisa belajar dengan mudah soal menentukan jenis gempa dan menghitung parameter gempa baik secara manual maupun dengan perangkat lunak untuk menganalisis kejadian vulkanik.

Namun seberapa banyak yang bisa membaca gempa? Tentu saja menghitung gempa sangat berbeda jauh dengan membaca gempa.

Seseorang yang dapat membaca gempa, dengan melihat perilaku seismik pada rekaman seismogram bisa mengetahui kejadian fisis yang mungkin sedang terjadi di dalam gunungapi, termasuk apakah gunungapi sedang bergejolak dan mencoba untuk memuntahkan magmanya.

Dalam hal teknologi, mungkin Jepang memang sudah sangat canggih terkait peralatan untuk memonitor gunungapi. Namun hanya bermodalkan peralatan yang canggih tidaklah cukup bagi manusia untuk terhindar dari dampak yang diakibatkan gunungapi ketika meletus.

Inilah yang menyebabkan Jepang tetap ‘kecolongan’ ketika gunung Shirane meletus pada Januari 2018 lalu dan menewaskan 1 orang serta melukai 11 orang.

Sedangkan kasus gunung Kelud Februari 2014, meski hanya dimonitor menggunakan alat seadanya, kehadiran pengamat yang mampu membaca gempa dengan akurat dapat meminimalisir korban jiwa yang disebabkan oleh letusan terbesar gunung Kelud sepanjang sejarahnya saat itu.

Dengan kata lain, dalam kasus monitoring letusan gunungapi, kehadiran peralatan dan perangkat analisis yang canggih, juga tetap harus diimbangi dengan adanya pengamat yang telah berpengalaman dalam membaca gempa.

Lalu bagaimana jika ada teknologi yang menggabungkan kedua-duanya—Sebuah machine learning yang melakukan perhitungan dan analisis gempa sekaligus mampu membaca dan memahami kejadian fisis yang ada pada gunungapi untuk selanjutnya memberikan early warning ketika gunungapi akan meletus?

Teknologi harus diciptakan atau diadopsi, begitu kata Jared Diamond, seorang geographer, historian dan penulis buku sains terkenal. Dengan menggunakan kecerdasan buatan yang akhir-akhir ini semakin menjadi tren di antara para pakar teknologi, kemungkinan secara teknis hal ini bisa dicapai.

Daigo Shoji (Tokyo Institute of Technology, Jepang) menggunakan tipe kecerdasan buatan yang bernama Convolutional Neural Network untuk mengkategorikan bentuk partikel debu yang merujuk pada tipe letusan sehingga dapat digunakan sebagai informasi dalam mitigasi bencana gunungapi.

Kecerdasan buatan untuk monitoring gunungapi juga telah diusulkan oleh Andrew Hooper, dkk lewat semi annual meeting pada American Geophysical Union (AGU) 2018 lalu. Namun kecerdasan buatan ini lebih kepada perubahan pergerakan tanah menggunakan satelit dengan teknik radar inferometry. 

Teknik ini membandingkan sinyal radar yang dikirim dengan yang dipantulkan dari bumi untuk melacak perubahan di permukaan bumi. Prinsipnya mirip dengan pemantauan deformasi gunungapi, namun pada kasus ini menggabungkan antara kecerdasan buatan dengan satelit.

Dari semua kecerdasan buatan yang diaplikasikan untuk monitoring, masih belum ada yang membahas terkait kegempaannya.

Ide terkait kecerdasan buatan yang diaplikasikan dalam pemantauan kegempaan gunungapi ini cukup sederhana; Ketika terdapat gempa vulkanik yang terekam pada sejumlah seismometer yang dipasang di sekeliling gunungapi, data tersebut akan dikirimkan lewat gelombang radio ke server yang ada di pos pengamatan.

Algoritma yang telah dikembangkan akan secara langsung menghitung parameter-parameter gempa termasuk lokasi sumber, kemudian secara otomatis menentukan tipe gempa vulkanik yang terekam. 

Hasil berupa lokasi sumber dan tipe gempa ini ditampilkan di layar monitor dalam bentuk animasi bergerak yang memperlihatkan model struktur bawah permukaan gunungapi dan perkiraan dimana lokasi magma kini berada.

Dengan mengetahui tipe gempa yang terekam, jumlah kejadiannya, serta lokasi kedalamannya, sistem ini dapat melihat apakah aktivitas gunungapi sedang dalam status level normal, waspada, siaga, atau awas.

Ketika mulai terdeteksi kenaikan level, sistem akan secara otomatis memberikan early warning, dan pengamat yang berada di pos pemantauan bisa segera menginformasikan soal kemungkinan gunung akan meletus ke pusat vulkanologi.

Dari data yang dikirimkan oleh pengamat, pusat vulkanologi yang berwenang dapat segera memberikan mandat ke badan penanggulangan bencana untuk melakukan persiapan, dan memberitahu LSM untuk memberitahu masyarakat agar segera mengevakuasikan diri dan keluarga mereka.

Namun sistem ini masih memiliki kekurangan. Karena kondisi lapisan batuan di bawah permukaan dan kejadian gempa vulkanik di tiap gunungapi memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda, otomatis algoritma yang digunakan untuk men’training’ sistem juga akan berbeda.

Kecuali untuk kasus gunungapi yang memiliki tipe kejadian gempa vulkanik yang mirip seperti gunung Semeru dan gunung Sakurajima, Jepang. Dalam hal ini, kemungkinan bisa menggunakan sebuah sistem kecerdasan buatan dengan algoritma yang hampir sama.

Selain itu, secanggih-canggihnya teknologi yang digunakan, tetap belum bisa memprediksi secara tepat 100% kejadian bencana yang disebabkan oleh alam. Bukankah manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang menentukan semuanya?

Meski suatu hari nanti kecerdasan buatan ini bisa diterapkan, kemungkinan tetap tidak bisa lepas dari kehadiran pengamat yang terus memonitoring minimal untuk memantau gunungapi secara visual.

Harapannya, dengan adanya sistem kecerdasan buatan yang diimplementasikan di gunungapi, peringatan akan terjadinya letusan dapat lebih cepat diinformasikan dan resiko letusannya dapat diminimalisir secara lebih maksimal.

Atau setidaknya, sekecil-kecilnya, pengamat yang sedang bekerja sendirian di pos bisa beristirahat sejenak sambil minum kopi tanpa harus menatap layar monitor 24 jam penuh untuk memantau gunungapi, kan?