Covid-19 masih menjadi buah bibir yang tak pernah absen di telinga. Ia kerap kali muncul dari mulut tetangga, kawan kerja, hingga di meja makan keluarga. Bahkan media masih rajin menggunjingkannya dan tekun menyodorkan angka-angka kematian yang kian hari kian bertambah.

Ini mencemaskan dan kecemasan itu sepertinya masih akan berlangsung lama. Bila cemas perkara utang tentu solusinya kentara: uang. Tapi kematian bukan utang. Ia tak berbunga dan mustahil dicicil, serta tak bisa dihitung kapan bulan pelunasannya.

Ia (kematian) problem yang pelik. Orang ketakutan kendati tahu, cepat atau lambat, kematian akan hinggap pada dirinya.

Dalam novel-nya yang berjudul Norwegian Wood, Haruki Murakami menulis: "Kematian bukanlah lawan, melainkan bagian dari kehidupan." Ketika membacanya ,saya berulangkali memanggutkan kepala. Bahkan saya menuliskan ulang di Status Whatsapp, agar kawan-kawan membaca dan merasakan apa yang saya rasa.

Kematian, Anda tahu, adalah buah dari kehidupan dan ia tak mungkin berdiri sendiri. Bongkahan batu mustahil mati lantaran memang tak pernah hidup, bukan? Barangkali Murakami juga ingin mengingatkan pembacanya bahwa kematian tak perlu ditakuti. Karena itu ia menegaskan bahwa "kematian bukanlah lawan."

Dan adakah yang menganggap kematian sebagai lawan? Kematian mustahil dihindari bukan, apa lagi dikalahkan. Sesuatu dapat disebut lawan bila Anda memiliki peluang -meskipun kecil- untuk mengalahkannya. Lawan yang mustahil dikalahkan bukanlah lawan. Ia adalah gunung. Anda akan kepayahan bila bertarung melawan gunung.

Kutipan kalimat Murakami tentu bukan hal yang baru. Dan seharusnya dapat menjadi pijakan ampuh untuk mengurangi kecemasan menghadapi kematian.

Tapi alih-alih rasional, orang cenderung menghadapi kematian dengan emosional. Misalnya saja Maret yang lalu, warga DKI cemas setelah Presiden menyampaikan bahwa dua warga Depok terjangkit covid-19

Mereka (warga DKI) segera mendatangi toko-toko alat kesehatan untuk memborong masker yang harganya sontak melonjak. Di negeri kelahiran Jet Li sana, covid-19 membasmi ribuan manusia dan warga DKI adalah manusia, maka wajar bila mereka terancam dibasmi juga.

Bahkan kecemasan menghadapi kematian membuat salah seorang kawan saya membangun klasifikasi cara mati yang baik dan benar. Menurut riset-nya -yang tentu saja diragukan kebenarannya- terbujur di ranjang ketika Izrail datang menjadi cara yang paling diminati. Tidak menderita. Rest In Peace, kalau kata orang Amerika. Ini lebih terhormat ketimbang diseruduk truk tronton, terpeleset di kubangan, terjangkit covid-19 atau serangan jantung saat singgah di tempat pelacuran.

Orang boleh bicara bahwa kematian adalah bagian dari takdir Tuhan. Tapi bila itu hampir menimpanya, ia acapkali bercerita kepada tetangga, saudara dan handai tolan, seolah nyaris tertimpa bencana. Inilah standar ganda yang umumnya terjadi di tengah masyarakat kita.

Dan di negeri kita, membicarakan Tuhan sama halnya dengan berbicara perkara agama. Kita tahu, orang beragama menyambangi masjid, gereja atau tempat suci lain lantaran mereka percaya surga akan menyambut setelah kematian tiba. Artinya, kematian dapat diolah menjadi hal yang indah. Artinya, kematian tak selalu benda asing yang mengerikan.

Ini sebenarnya melegakan. Kematian terdengar agak picisan bila seseorang percaya setelah mati, ada kolam susu, bidadari dan beragam kenikmatan lain yang menunggu. Ini membantu saya memahami tingkah polah Imam Samudera, tersangka Peledakan Bom Bali, yang pernah menyatakan siap dieksekusi mati. Adik kandungnya yang bernama Lulu Jamaluddin pun menegaskan: "kematian bagi Kang Abdul Azis (Imam Samudera) hanyalah sepenggal episode bekal hidup kekal di akhirat."

Sama halnya almarhum kawan saya, ia tak takut mati kendati tak pernah membaca Murakami. Ada prinsip lain yang membuatnya tenang menyikapi kadar gula darah yang tinggi, paru-paru basah dan patah hati lantaran cerai kendati itu terjadi ketika usia 40-an. Ia menganggap bahwa usia yang melebihi 63 adalah bonus kehidupan lantaran Nabi Muhammad SAW wafat di usia 63. Kawan saya meninggal di usia 65.

Bahkan Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi yang kondang itu, menganggap kematian sebagai momen pembebebasan jiwa yang selama hidupnya terbelenggu oleh jasad.  Ia percaya setelah mati, jiwanya akan bersatu dengan kekasih sejatinya, yaitu Tuhan. Karena itu baginya kematian adalah momen yang menggembirakan. Saya tentu tak tahu apakah Rumi tetap gembira dan menari-nari ala sufi ketika melihat kerabatnya meninggal dunia.

"Lantas bagaimana sikap yang baik menghadapi kematian?" tanya seorang kawan kepada saya.

Itu pertanyaan yang muskil. Kematian tak pernah jauh dan kecemasan menghadapi mati bukanlah pilihan yang terletak di ranah alam sadar manusia. Kita tak mungkin memilih untuk tak cemas dan seketika kecemasan lenyap begitu saja. Ini butuh pelatihan yang lama. Sedangkan berdamai dengan kematian butuh upaya perenungan yang tak instan.

Tapi saya teringat kalimat lama yang barangkali dapat membantu kita berprasangka baik terhadap kematian. Begini bunyinya: "Kematian itu tidak perlu ditakuti. Karena ketika kita ada, ia tidak ada. Dan ketika ia ada, kita sudah tidak ada." Entah siapa yang mengucapkannya, saya lupa.