Ketika memasuki musim politik seperti sekarang, berbagai hiruk-pikuk menjelang perhelatan akbar tersebut pun terasa begitu panas. Start musim kampanye saja belum dimulai, tapi suhu politik sudah lama terasa memanas. Kalangan elite politik dan pendukung akar rumputnya pun berselisih dengan dukungan yang mereka berikan.

Seperti yang kita rasakan sekarang, keramaian para hatters dan buzzer setiap kubu sudah terasa panas ketika adu argumen di media sosial. Ruang gagasan yang diberikan oleh media sosial telah membuka ruang publik dalam berargumentasi. Seperti yang kita lihat, sekarang masyarakat terbelah dengan kondisi politik kita yang semakin jauh dari norma dan nilai demokrasi santun yang selama ini ada di negara kita.

Istilah “kecebong" dan "kampret” menjadi istilah baru setelah Pemilihan Presiden 2014. Perdebatan yang tak pernah ada habisnya ketika para pendukung setiap kubu bertemu dalam menanggapi suatu isu perpolitikan yang ada.

Bukan adu argumentasi yang berdasarkan fakta dan data, kedua kubu tersebut malah terjebak pada hal-hal yang bersifat nyinyir dan tak jarang masuk kepada lubang saling mencela dan menghasut. Padahal sifat masyarakat kita dalam menghadapi perbedaan pilihan diajarkan dalam demokrasi kita untuk mengedepankan attitude dan norma sosial yang selama ini melekat di bangsa kita.

Wajah muram tentang kondisi netizen kita saat ini yang entah sejak kapan memunculkan berbagai istilah baru seiring dengan kondisi politik tanah air kita. Ada “Kecebong vs Kampret, “Bani Serbet vs Bani Micin” dan lainya. Seolah dipakai untuk alih-alih sebagai istilah untuk menggambarkan kalangan lawan politik, hal seperti itu menjadi gambaran bahwa bangsa kita sebenarnya belum selesai dalam membentuk manusia yang beradab. 

Olok-olokan seperti itu menggambarkan bahwa kedua kubu itu sendiri tidak mengenal dunia pendidikan itu sendiri. Istilah yang mereka kira nyinyir yang berfaedah, tapi ternyata malah membuat orang yang tidak mengetahui istilah tersebut ikut-ikutan dalam melabeli setiap orang yang berbeda pandangan terhadap mereka.

Kebiasaan seperti ini harus kita akhiri kalau kita ingin menjadi bangsa yang beradab seperti ideologi negara kita. Masa permasalahan perbedaan dukungan lalu kita singkirkan adab dalam memaknai suatu perbedaan?

Istilah-istilah “hewan” dan yang menggambarkan untuk merendahkan orang yang berbeda tak ada sama sekali dalam nilai-nilai pembelajaran di dunia pendidikan kita. Apakah harus generasi kita diajarkan istilah-istilah nyinyir yang tak bermanfaat seperti itu di dalam kelas mereka? Politik yang seharusnya memunculkan keadilan dan keberadaban dalam hidup bisa ditafsirkan oleh generasi tersebut sebagai suatu hal yang salah.

Setiap polemik di media sosial muncul bagi kalangan yang tidak ikut dalam dunia perpolitikan mungkin sedikit bingung ketika menanggapi suatu peristiwa, seperti contoh ketika ada netizen yang mendukung segala aktivitas presiden Joko Widodo, akan tetapi ada salah satu pihak yang langsung memberikan justifikasi dengan isitilah “cebonger” dalam kolom komentar.

Begitu pula ketika kubu lain yang notabene pendukung Prabowo dijustifikasi “kampret”. Sejak kapan bangsa kita mengajarkan sikap seperti ini? Berbeda dalam pilihan politik bolehlah, tapi jangan sampai meninggalkan akal sehat dalam menanggapi suatu perbedaan yang dipilih oleh orang lain.

Seyogianya marilah kita menjadi warga Indonesia yang mengedepankan adab dalam menghadapi perbedaan, sehingga yang keluar di setiap perkataan dan perbuatan bisa manusiawi dan tidak memberikan label orang yang berbeda dengan istilah-istilah seperti di atas. Bangsa kita adalah bangsa yang terdidik, seperti yang kita ketahui dalam ideologi Pancasila merupakan bangsa yang berketuhanan. 

Dari berbagai agama yang ada di Indonesia, semuanya mengajarkan kebaikan dan kehalusan dalam segala aspek yang diajarkan. Kalau dalam perspektif agama Islam sendiri melabeli seseorang dengan istilah buruk tidak dibenarkan sama sekali. Karena hal itu bisa jadi akan berbalik kepada orang yang memberi label buruk tersebut. 

Lalu, apakah kedua kubu tersebut yang selalu membuat narasi dengan memberikan label “hewan” dan lainnya kepada kubu lawan politik apakah bisa dikatakan sebagai orang yang beragama? Patut kita renungkan di tengah gejolak kondisi perpolitikan kita hari ini.

Tak usahlah kita terlalu fanatik terhadap suatu hal yang itu bisa menjadi jurang pemisah kita dalam bernegara. Mencintai boleh, tapi jangan sampai berlebihan dalam mencintai sesuatu hingga kita melupakan bahwa kita itu manusia yang tidak diciptakan serasa dan seirama, tetapi pasti ada yang berbeda dengan kita. 

Begitu juga dalam membenci. Walaupun tidak baik, membenci jangan sampai berlebih hingga kita lupa bahwa kita sendiri pasti juga ada yang membenci perilaku dan sikap kita selama ini.

Sekali lagi, istilah “kecebong" dan "kampret” merupakan istilah yang buruk bagi bangsa kita. Sehingga istilah yang tidak mendidik seperti itu bukan gambaran dari masyarakat Indonesia.

Berbeda dalam pilihan boleh, tapi jangan sampai menjadi jurang pemecah keberagaman. Mari kita ciptakan demokrasi kita sejuk dengan wajah santun dan beradab.