Kebohongan ini bermula ketika aku menyelesaikan masa SMA lalu memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, lebih tepatnya di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Kalimantan Barat. Seperti mahasiswa baru pada umumnya, aku memasuki kampus dengan wajah polos, pengetahuan seadanya, dan sedikit rasa bangga karena bisa memenangkan persaingan ketat SNMPTN saat itu. Kehidupan masa kuliah membuat rasa penasaran ku memuncak dan membuat aku ingin segera menjalaninya.

Hari itu, tibalah saatnya dimana aku dan mahasiswa baru lainnya akan melewati masa  orientasi kampus. PAMB (Percepatan Adaptasi Mahasiswa Baru) kami menyebutnya, sebuah perayaan khas yang dipanitiai oleh senior dari kampus kami. Seperti kegiatan serupa di kampus lain, dalam kegiatan tersebut kami yang terdiri dari berbagai macam program studi dibagi ke dalam kelompok kecil yang didampingi oleh seorang mentor.

Tiga hari lamanya kegiatan PAMB itu kami lewati. Banyak hal yang dapat kami pelajari, tentang nilai – nilai yang harus kami adopsi guna menjadi mahasiswa sejati, tentang berbagai kegiatan organisasi yang dapat kami ikuti, tentang karakter pribadi yang harus kami bangun sejak dini, dan masih banyak lainnya. Akan tetapi ada satu materi yang begitu membekas di benak ku hingga saat ini, hari itu aku dan ribuan mahasiswa baru lain di ajarkan tentang “fungsi dan peranan mahasiswa”, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedikitnya ada 4 hal yang aku pelajari tentang “Fungsi dan Peran Mahasiswa” sepulang PAMB hari itu. Ke empat hal itu di kemas dalam bahasa yang sama sekali asing dan belum pernah aku dengar sebelumnya. Entah mungkin agar mudah di ingat atau hanya sekedar agar menjadi cerminan dari intelektualitas pemateri yang juga adalah seorang mahasiswa. Keempat poin itu adalah :

  1. Agent of change
  2. Social control
  3. Iron Stock
  4. Moral Force

Pertama, yaitu agent of change atau agen perubahan. Dalam materi itu dikatakan bahwasanya mahasiswa adalah seorang pelopor dan penggagas perubahan. Sosok mahasiswa yang pembelajar, kritis, energik, dan cerdas disebut dapat membawa perubahan kehidupan bermasyarakat menjadi lebih baik. Dan contoh yang selalu di unjung tinggi para senior ku adalah gerakan revolusi mahasiswa ketika menggulingkan rezim pemerintahan Presiden Soeharto, peristiwa Reformasi kami menyebutnya. Dan hari itu ditanamkan pada kami bahwa kami sebagai mahasiswa harus mampu membawa perubahan bagi kebaikan hidup masyarakat.

Kedua, yaitu social control atau kontrol sosial. Sebagai seorang intelektual, mahasiswa dituntut untuk menjadi pengontrol dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini tentunya berlaku terhadap isu – isu ketimpangan sosial. Agar kehidupan bermasyarakat seimbang dan tidak terjadi ketimpangan sosial yang terlalu jauh maka mahasiswa diharuskan memainkan peran intelektual ini di masyarakat.

Ketiga, yaitu iron stock. Kata iron di sini mengacu kepada besi, sedangkan kata stock mengacu kepada persediaan. Analoginya seperti ini, mahasiswa di ibaratkan sebagai besi yang sedang ditempa melalui proses pembelajaran dalam kehidupan, baik melalui pembelajaran di kelas juga di organisasi mahasiswa. Diharapkan setelah progres “penempaan” ini diharapkan mahasiswa dapat menjadi pemimpin ideal di masa depan.

Terakhir, yaitu moral force atau kekuatan moral. Sebagai seorang intelektual mahasiswa di anggap mampu memfilter nilai – nilai moral yang buruk serta mampu menjadi tumpuan kekuatan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Mahasiswa dapat dijadikan role model dalam berperilaku, berucap, dan bersikap.

Kesan pertama usai mendapatkan materi tersebut membuat ku bangga tak terhingga, inikah mahasiswa pikir ku? sangat membanggakan dan penuh jalan pengabdian di dalam statusnya. Hingga sejenak ku lupakan bahwa tujuan ku menempuh perkuliahan hanya sekedar untuk meningkatkan kualifikasi diri dalam mencari kerja ke depannya, sangat individualis khas anak kota. Sejak itu ku putuskan bahwa dengan terpelajarnya aku, aku akan menjadi sebesar – besarnya manfaat bagi masyarakat ku, terutama kota ku.

Dua tahun masa kuliah berlalu. Telah ku ikuti semua pesan senior ku dahulu, mulai dari ikut organisasi hingga fokus dalam pengembangan diri. Lambat laun aku mulai tersadar bahwa ekspektasi tak selalu sesuai dengan realisasi. Hal ini terjadi karena praktik yang tak sesuai dengan teori.

Yap, segala penyampaian dari senior ku yang dahulu adalah kebohongan besar. Paling tidak aku punya beberapa landasan yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa itu adalah kebohongan besar. Ngomong – ngomong bagaimana kira - kira kabar senior ku itu ya, mungkin sekarang ia sedang sibuk menuntaskan masa kuliahnya agar tidak D.O, semoga beliau segera wisuda.

Adapun beberapa alasan kuat kenapa teori itu merupakan sebuah kebohongan besar, yaitu :

  • Tidak sesuai kenyataan.
  • Tidak jelas pencetus teorinya.
  • Tidak relevan dengan masa sekarang.

Agar semuanya jelas dan terang benderang, ada baiknya kita ulas satu persatu.

Pertama, agen perubahan. Dikatakan sebelumnya bahwa mahasiswa adalah sosok pembelajar, energik, kritis, dan cerdas serta mampu menggunakan kemampuannya itu untuk membawa perubahan besar dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu teorinya, akan tetapi pada kenyataannya mahasiswa sangat minim pengetahuan dan pengalaman ini tidak mampu berbuat banyak bagi masyarakat bahkan pada dirinya sendiri.

Sebagai kaum muda kita harus memahami bahwa jiwa muda ini sangat haus akan kesenangan, hura – hura dan dekat dengan perilaku hedonis. Sebuah masa muda yang kental dengan ngopi haha-hihi, copy-paste pra-presentasi, bahkan saling unjuk kemampuan bela diri (read : tawuran) antar kelompok mahasiswa itu sendiri.

Kedua, agen kontrol sosial. Jangankan menjadi pengontrol sosial, teman seangkatan kurang gizi saja banyak yang tak peduli. Kehidupan di kota memang keras, memaksa mahasiswa berjuang untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Bersyukur kalau masih ada sisa buat traktir beberapa teman nyanyi di karaoke, tempat hiburan khas warga kota. Tingginya gaya hidup di kota memaksa mahasiswa menjadi egois dan apatis.

Ketiga, kekuatan moral. Hal yang cukup melegakan ketika mengetahui masih banyak mahasiswa yang menjaga nilai – nilai hidup khas orang timur yang jujur, sopan, santun, dsb. akan tetapi tidak sedikit juga yang senang caci sana-maki sini. Yang lebih menakutkan berita terbaru yang mana mahasiswa menikam dosen pembimbing skripsinya sendiri. Semoga tidak menulari mahasiswa di kampus ku. Sebagai role model cara bersikap, cara bertutur kata, dan cara berperilaku, tidak sedikit juga mahasiswa yang punya hobi menggunjing dosennya, namun tidak banyak dan semoga saja populasinya semakin berkurang.

Keempat, generasi penerus. Di antara semua fungsi dan peran mahasiswa, hanya poin ini ku rasa paling sesuai untuk mahasiswa. Pasalnya di kampus mana pun dapat dengan mudah kita temukan populasi mahasiswa yang fokus pada pengembangan dirinya baik secara akademis maupun secara politik. Hal ini tidak mengejutkan karena sudah menjadi kewajiban bagi mahasiswa untuk mengembangkan dirinya guna menjamin masa depannya.

Itulah mengapa kemudian aku menganggap apa yang senior ku sampaikan adalah sebuah kebohongan besar, karena apa yang beliau sampaikan memang tidak sesuai dengan kenyataannya. Terlebih lagi karena teori itu tidak jelas asal usulnya, tidak jelas siapa perumus teorinya.

Mengetahui telah mempercayai sebuah kebohongan besar menahun lamanya, lantas membuat ku sedikit berkecil hati. Tidak terima rasanya telah dibohongi, ku putuskan untuk memikirkannya secara lebih jauh lagi, ku analisa kenapa terjadi ketidaksesuaian antara teori dan fakta, ku baca lagi semua bahan tentang organisasi yang pernah ku pelajari.

Satu kesimpulan akhir ku setelah lalui semua ini. Memang telah terjadi kebohongan besar di sini, akan tetapi kebohongannya bukan oleh senior penyampai materi, melainkan mahasiswa itu yang membohongi dirinya sendiri. Mahasiswa telah terlena akan gaya hidup kekinian dan berusaha menempik tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Menelusuri kebohongan itu telah mengembalikan kepercayaan ku terhadap nilai – nilai dari peran mahasiswa tersebut.

Sejatinya dalam status “maha” dari kata mahasiswa menunjukkan sebuah harapan dari masyarakat. Berbagai teori tentang peran dan fungsi mahasiswa di atas memang tidak di amalkan oleh semua mahasiswa. Akan tetapi teori tersebut diperuntukkan untuk menggambarkan sosok mahasiswa ideal yang diharapkan hadir di dalam masyarakat. Seorang mahasiswa diharapkan mampu mengimplementasikan apa yang dipelajarinya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu ia akan menjadi mahasiswa ideal sesuai dengan yang diamanatkan dalam teori peran dan fungsi mahasiswa juga sesuai dengan yang di amanahkan dalam Tri Dharma Perguruan tinggi.

Mahasiswa harus sadar bahwa sebagai kaum terdidik ia memiliki tanggung jawab sosial untuk ikut dalam usaha menyejahterakan masyarakat. Berbagai teori di atas bukan diperuntukkan untuk menggambarkan sosok mahasiswa saat ini, melainkan untuk menggiring mahasiswa agar ia memahami tanggung jawab sosialnya sebagai orang terdidik.

Jadi bukan teorinya yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi mahasiswa sekarang, melainkan mahasiswa yang harus menjadikan teori tersebut pedoman belajar agar dapat kehadirannya memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi masyarakat.

Akhir kata, Semoga kita menjadi terdidik untuk memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi sesama.