Dunia hingga kini masih dihadapkan pada persoalan menyebarnya virus Covid-19. Per tanggal 28 April 2020, total masyarakat yang positif Covid-19 di Indonesia hari ini menyentuh angka 9.551. Di antaranya 1.245 orang dinyatakan sudah sembuh. Sedangkan angka kematian mencapai 773 orang hingga hari ini. 

Sejalan dengan itu, tidak ada yang bisa memprediksi kapan pandemi ini akan berakhir tuntas. Yang pasti tergantung bagaimana konsistensi kebijakan suatu negara dalam memeranginya. 

Dalam konteks analisis mitigasi, keberadaan pemerintahan perlu mempersiapkan skenario kebijakan di tengah situasi pandemi Covid-19. Skenario bukan teknik meramal apa yang akan terjadi, melainkan memberikan beberapa alternatif kebijakan yang mungkin terjadi untuk membantu pengambil keputusan (decision making) pada tingkatan policy maker agar menyiapkan strategi yang tepat. 

Sesuai UU Administrasi Pemerintahan (UU No 30/2014), pemerintahan memiliki fungsi, antara lain: regulation (pengaturan/kebijakan publik) yang berorientasi pada keteraturan dan ketertiban masyarakat. Namun dari pelbagai produk kebijakan yang dihasilkan belum sepenuhnya memberi jawaban atas persoalan publik. 

Hal ini ditandai atas kebiasaan negara dan pemerintah dalam proses framing kebijakan yang kemasannya bagus dan canggih namun nihil substansi. Regulasi harus terfokus pada sasaran kebijakan, dan bantuan teknis, serta membangun instrumen untuk membantu negara dalam menanggapi krisis. 

Skenario kebijakan dalam teori Pareto disebutkan bahwa 20% kebijakan publik adalah faktor dan 80% adalah penyebab terjadinya, termasuk upaya dalam membuat keputusan politik melalui kebijakan publik.

Teori ini, jika dipahami secara mendasar, akan memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa kebijakan publik merupakan faktor kritikal yang akan menentukan kemajuan atau kemunduran suatu negara. 

Seperti yang disebutkan Prof. Dr. Riant Nugroho, Pakar Kebijakan Publik dan Direktur Institute for Policy Reform, “Keunggulan suatu negara makin ditentukan oleh fakta, apakah ia memiliki kebijakan-kebijakan publik yang unggul atau sebaliknya.” Maka ketika pemerintah tidak cepat merespons kondisi ini dengan kebijakan, Indonesia akan mengalami involusi kebijakan.

Pun dalam kasus tertentu, banyak terjadi orientasi kebijakan yang berbeda antara pemerintah dan publik, terutama dalam proses formulasi kebijakan sehingga memunculkan ketidak-harmonisan pada tataran implementasi. 

Kebijakan publik merupakan hal yang inheren dengan sistem politik yang dampaknya akan bermuara ke publik. Demikian halnya sistem politik yang dianut bangsa Indonesia harus mampu menghasilkan kebijakan yang benar-benar dapat mengakomodasi kepentingan publik (tidak hampa).

Selama dalam tiga bulan pandemi menyerang hampir seluruh wilayah Indonesia, pemerintah sudah mengeluarkan sederet kebijakan terkait penanganan wabah Covid-19. Mulai dari geser-geser anggaran, relaksasi ekonomi (termasuk kebijakan moneter), dan pengaturan kehidupan masyarakat. Pun beberapa kebijakan di antaranya bersifat dilematis dan tanpa terobosan (breakthrough).

Ada beberapa contoh kebijakan yang menurut saya dilematis dalam implementasinya, di antaranya adalah melting pot antara UU Kekarantinaan Kesehatan dan Perppu Darurat Sipil. Penerapan darurat sipil berdasarkan Perppu tidak tepat karena situasi kedaruratannya bukan motif kesehatan, melainkan motif politik. 

Saat ini kebijakan PSBB juga bereaksi terhadap sistem ekonomi. Pada level mikro policy, beberapa Kepala Daerah (KDH) cenderung grogi dalam penerapannya, bahkan tidak siap. 

Begitu juga Kebijakan transportasi berbasis online yang kontra-produktif, di mana Permenhub Nomor 18/2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka pencegahan Penyebaran Covid-19 saling berbenturan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9/2020. 

Pada pasal 11 ayat (1) huruf c dinyatakan, “Angkutan roda dua (2) berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang.”

Di sisi lain, Permenhub ini bertentangan dengan Permenkes 9/2020 yang membolehkan membawa penumpang, khususnya Pasal 13 ayat (10) huruf a, yang mengatur penumpang kendaraan baik umum maupun pribadi harus mengatur jarak.

Permenhub 18/2020 jelas melanggar UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan PP 21/2020. Pun fenomena persoalan mudik dan pulang kampung yang saat ini mendapat kontroversi pemaknaan.

Sama halnya dengan Kebijakan yang diatur dalam Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 yang diterbitkan pada 1 April 2020 lalu tentang asimilasi dan integrasi untuk mencegah penyebaran Covid-19 kepada 38.822 narapidana, termasuk anak binaan

Tentunya kebijakan ini kurang mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Sebab terdapat segelintir pihak yang kembali melakukan kejahatan (residivis) usai dibebaskan melalui program tersebut. Ini akan menimbulkan persoalan sosial di masyarakat. 

Pendekatan Human Security Policy

Dalam kondisi infectious disease saat ini, Kebijakan Alternatif perlu disiapkan dengan pendekatan Human Security Policy tanpa mengabaikan aspek pengetahuan, nilai dan norma. Langkah ini atas respon kecepatan dalam memutuskan (fast decision) saat mendapat tekanan publik. Secara substansial, pendekatan Human Security sudah berkembang sejak didirikannya Palang Merah Internasional (International Red Cross) pada tahun 1896. 

Paul M. Evans dalam Human Security and East Asia: In The Beginning, Journal of East Asian Studies, memperkuat gagasan ini yang menyatakan bahwa inti dari human security adalah jawaban yang spesifik mengenai keamanan untuk siapa, dari apa, dan dengan cara apa. 

Di lain pihak, Human security juga menimbulkan tantangan bagi konsepsi tradisional keamanan nasional yang merubah referensi pokok dan memperkenalkan isu-isu yang melampaui strategi keamanan tradisional. 

Dengan kata lain, Konsep ini dapat dijadikan dasar dalam membuat format kebijakan publik dalam penanganan dan pengendalian isu kesehatan yang terjadi ditengah pandemi Covid-19 saat ini. Sebab keputusan pemerintah adalah keseluruhan sistem kontrol dalam kasus apa pun.

Berdasarkan hal itu, pemerintah harus mempersiapkan prioritas pada level manejemen krisis. Mengelola risiko bencana ditujukan untuk melindungi masyarakat, kesehatan, mata pencaharian dan aset produktif, serta aset budaya dan lingkungan, sambil mempromosikan dan melindungi semua hak asasi manusia. Maka dalam menginisiasi kebijakan publik menggunakan framework mitigasi harus relevan terhadap kebutuhan publik.

Gambaran pokok yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dalam aspek human security  tentang persiapan dan mitigasi meliputi; Pertama, dalam tahap penyebaran virus, prioritas berfokus pada kebijakan Health Securityutamanya pelayanan kesehatan serta tenaga kesehatan, agar percepatan penanganan dapat terfokus, sehingga sektor pembangunan (perbankan, sektor rill, kesehatan dan lainnya) kembali bekerja dengan optimal. 

Disisi lain, karantina kawasan dapat dibarengi dengan pengawasan pergerakan virus secara analog dan digital sehingga dapat menekan penyebaran virus dengan efektif . Karena jantung masalah penanganan Covid-19 adalah kesehatan. 

Selama ini terlihat bahwa pemerintah lebih fokus kepada perbaikan ekonomi, namun abai terhadap virusnya. Pun vaksinasi merupakan langkah yang seharusnya di pikirkan dengan melibatkan pakar dibidang kesehatan.

Kedua, Economic security, membuat kebijakan bantalan akibat kemerosotan ekonomi baik mikro dan makro, sehingga masyarakat bebas dari kemiskinan dan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dalam kemudahan akses terhadap kebutuhan pangan. Selanjutnya, kanalisasi ekonomi dengan membuat kebijakan dukungan terhadap UMKM sebagai penopang ekonomi nasional.  

Tanpa penyelesaian pandemi yang tuntas, beban ekonomi masyarakat akan meningkat. Bagaimana tidak, badai Covid-19 pastinya mengoreksi hampir seluruh proyeksi ekonomi, banyak sektor industri dan perusahaan memangkas jumlah pekerja sehingga mendorong besarnya arus pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK)

Selain itu, potensi dampak sosial dan politik harus diperhitungkan. Instabilitas ekonomi, dan keresahan publik dapat memunculkan tindakan kriminalitas seiring dengan terjadinya pandemi.

Ketiga, Collaboration approach, sinergi dan aksi bersama stakeholder lintas sektoral termasuk perumusan kebijakan pemerintah dengan pelibatan aktif masyarakat sipil. Pandemi bukan hanya urusan pemerintah, melainkan masalah seluruh bangsa. Kebijakan kolaboratif harus mengedepankan komunikasi kebijakan yang tepat, cepat dan efektif. 

Tentunya kerangka regulasi khusus untuk kegawat-daruratan yang memungkinkan semua elemen dalam pemerintahan (pusat - daerah) dan masyarakat sipil, termasuk sektor swasta, media, para pakar, dan peneliti, untuk segera bergerak di tingkat pusat hingga daerah. Agar strategi percepatan penanganan dapat berkelanjutan.

Dari ulasan saya diatas, negara kita khususnya dalam menghadapi virus Covid 19 ini perlu mempertimbangkan beberapa hal terkait health security utamanya kesiapan pemerintah dan seluruh stakeholder dalam kesamaan pemahaman agar tidak terjadi dilematis dan grogi dalam implementasi kebijakan. Sehingga tidak terjadi blunder atas kebijakan yang telah dirumuskan, apalagi agregat biaya yang dikorbankan terbilang besar. 

Dengan demikian fungsi “protection” oleh pemerintah saat situasi melawan Covid-19 saat ini menjadi sangat penting. Perlindungan harus diupayakan dalam bentuk-bentuk fungsi pembuatan payung Regulasi yang melindungi kelompok rentan risiko bencana.

Karena itu sangat dibutuhkan leader yang measurable initiative dan smart decisive dengan memiliki rasionalitas atau batasan akal, logika, etika, dan tanggung jawab. Kepemimpinan yang ambigu akan menjebak kita dalam ketidakpastian.