Net Zero Emission merupakan suatu gerakan yang sangat populer di bidang lingkungan dan terus berlanjut hingga saat ini. Mengingat kondisi bumi yang kian memburuk, strategi ini merupakan suatu langkah yang baik. 

Salah satu negara terbesar yang mencapai nol emisi pada tahun 2050 adalah Inggris, di mana negara tersebut menjadi negara G20 pertama yang mengumumkan komitmen emisi nol bersih. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Duta Besar Inggris untuk Timor Leste untuk Indonesia, ASEAN, Timor Leste yang menyatakan bahwa instrumen hukum untuk melaksanakan hal tersebut telah disampaikan di Parlemen Inggris pada 12 Juni 2019.

Perekonomian di Asia Tenggara yang berada pada fase industrialisasi sangat bergantung pada konsumsi energi. Negara-Negara di kawasan Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk membentuk sumber energi yang berkelanjutan. 

Emisi pada suatu negara diharapkan mencapai puncaknya pada tahun 2030 dimana Indonesia juga ikut berpartisipasi dalam mewujudkan Net Zero Emission melalui kebijakan politik luar negerinya. Melalui target jangka panjangnya maka Indonesia bertujuan untuk membidik ambisi yang lebih tinggi dan memimpin di kawasan Asia Tenggara.

Terletak di iklim tropis dan garis khatulistiwa, Indonesia sangat kaya akan sumber energi terbarukan seperti matahari, angin dan air. Walau demikian, negara Indonesia termasuk salah satu negara dengan penerapan energi terbarukan yang terendah. 

Empat dari sepuluh negara berkembang yang saat ini bergantung pada batu bara dapat meningkatkan penggunaan sumber energi baru terbarukan dengan risiko yang lebih rendah serta teknologi dan biaya modal yang lebih rendah. Meskipun Indonesia, salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, tidak termasuk di antara negara-negara tersebut, Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk menghapus batu bara secara bertahap.

Di Asia Tenggara, gerakan Net Zero Emission juga menjadi titik fokus bagi negara-negara anggota untuk bekerja. Singapura misalnya dengan Dale Hardcastle, Kepala Pusat Inovasi Global untuk Pembangunan Berkelanjutan Bain, mengatakan: "Meskipun perang melawan COVID-19 saat ini menjadi prioritas utama bagi sebagian besar pemerintah, banyak perhatian telah diberikan dan dipikirkan tentang iklim. Perlindungan di Asia Tenggara selama setahun terakhir untuk beralih ke ekonomi hijau." 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai salah satu pertumbuhan yang didorong oleh investasi dalam kegiatan ekonomi, infrastruktur atau aset yang mengurangi emisi karbon dan polusi. Ekonomi hijau juga harus meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya serta mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem.

Pemerintah Indonesia berperan aktif dalam menyusun Grand Energy Strategy dari perspektif ketahanan energi untuk mencapai hasil energi yang efisien. Pada dasarnya Indonesia berperan dan berkomitmen untuk melaksanakan tugas penurunan emisi nasional dan internasional yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung karena merugikan negara. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Republik Indonesia telah mengembangkan beberapa strategi untuk mendukung Net Zero Emission. Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berpartisipasi dalam pengembangan prinsip net-zero emission khususnya untuk Indonesia. Tujuan dari kerjasama dan penerapan strategi ini adalah untuk mengharapkan terciptanya produksi di bidang energi, khususnya pengurangan emisi di bidang ketenagalistrikan.

Menteri Kelautan dan Investasi Republik Indonesia, menegaskan bahwa Indonesia memiliki komitmen penting untuk mengurangi emisi gas hingga 2030 dan mendorong energi terbarukan hingga 2050. Profesor Emil Salim, profesor di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia juga turut serta dalam laporan tersebut menyatakan bahwa teknologi pembangkit listrik Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain. 

Beliau mengatakan Indonesia masih tertinggal dalam menghadapi perubahan iklim, sehingga perlu dikembangkan strategi alternatif untuk menghadapi isu penting ini. Saleh Abdurrahman, pakar lingkungan hidup dan tata wilayah Kementerian ESDM, juga tak lupa mengatakan bahwa Indonesia belum mencapai target NDC, karena PDB Indonesia masih tergolong rendah, namun belum pada taraf itu mampu memfokuskan ekonomi pada industri, khususnya energi. 

Indonesia terus berinvestasi untuk kesejahteraan rakyat dengan memperluas sektor manufaktur, sehingga isu terkait energi terkadang tertinggal. Selain pemerintah Indonesia, Indonesia juga menjalin kerja sama dengan negara lain. 

Kepresidenan Indonesia di negara-negara G20 (Group of Twenty) pada tahun 2022 akan menjadi fokus dunia pada banyak isu, khususnya di bidang energi. Dalam menjalankan komitmen Paris Agreement secara internasional, Indonesia menghasilkan dokumen berjudul Nationally Determined Contribution (NDC).

Nationally Determined Contribution sendiri memuat tentang jalur atau transisi Indonesia agar beralih menjadi negara rendah emisi dan tahan iklim di masa depan. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 melalui sumber dayanya sendiri atau sebesar 41 persen melalui dukungan internasional. 

Pelaksanaan dokumen ini kemudian harus dilaporkan secara berkala kepada pihak internasional melalui mekanisme yang dikenal dengan Enhanced Transparency Framework (ETF). Dalam praktiknya, Indonesia telah banyak melakukan kerjasama bilateral dan multilateral untuk mengurangi emisi karbon. Seperti pada tahun 2010, Indonesia dan Norwegia sepakat untuk menandatangani kesepakatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+).

Untuk mencapai Net Zero Emission kebijakan luar negeri Indonesia melakukan penekanan yang lebih kuat terhadap aspek kooperatif dengan negara-negara lain. Pencapaian terbaru Indonesia dalam pengurangan emisi karbon sendiri ditunjukkan pada Juli 2021 ketika Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan bahwa sektor ketenagalistrikan Indonesia memiliki emisi karbon terendah di ASEAN, terhitung sekitar 14% dari total emisi nasional. 

Jumlah ini sangat kecil dibandingkan negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia yang menghasilkan lebih dari 30 persen emisi. Pesatnya perkembangan transisi energi batubara di Indonesia tentunya akan mendorong negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk mempercepat transisi energinya.