Hampir di semua golongan dan kalangan, merokok telah menjadi gaya hidup masyarakat kita dewasa ini. Merokok telah memberi implikasi besar terhadap lingkungan yang tidak sehat dan juga dapat memberikan dampak yang lebih besar lagi terhadap status kesehatan masyarakat kita secara keseluruhan.

Secara global, data WHO (2009) menunjukkan bahwa konsumsi rokok dapat menyebabkan lebih dari lima juta kematian per tahun atau sekitar satu orang mati setiap detik karena tembakau. Diperkirakan, kematian akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2020 mendatang jika masalah rokok tidak ditangani secara maksimal.

Menurut Sukri Palutturi (2010), sisi negatif dari rokok dan tembakau yang dapat memperpendek usia dan menyebabkan kematian lebih dini, bukan berarti perusahaan rokok dengan begitu mudah ditutup atau distop sehingga tidak ada lagi orang yang merokok.

Masalah yang dihadapi oleh para pegiat kesehatan masyarakat adalah bahwa perusahaan rokok boleh jadi sulit dihapuskan, selain karena faktor yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan, juga dana alokasi cukai tembakau telah memberikan keuntungan besar terhadap pemerintah pusat dan daerah. Bahkan dapat dikatakan bahwa sebagian masyarakat Indonesia hidup karena tembakau.

Rokok memang berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja. Industri ini menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2003) menunjukkan bahwa jumlah penyerapan tenaga kerja industri rokok adalah sebesar 221.058 orang dengan rata-rata 765 orang per perusahaan. Tenaga kerja industri rokok di Indonesia sebagian besar merupakan tenaga kerja industri rokok kretek, bahkan kalau dilihat dari tingkat penyerapan tenaga kerja dari industri ini cukup besar, yaitu mencapai 96,45 persen dari total tenaga kerja industri rokok.

Secara luas, manfaat yang diperoleh dari perusahaan rokok bukan hanya terhadap tenaga kerja yang bersangkutan, tetapi juga pada keluarga dan anak secara keseluruhan. Dapat diprediksi, semakin besar hasil produksi tenaga kerja pada setiap perusahaan, semakin besar pula income per kapita dari tenaga kerja tersebut.

Selanjutnya, semakin besar produksi dari setiap perusahaan, semakin besar pula alokasi dana yang bersumber dari hasil tembakau terhadap pemerintah pusat dan daerah. Oleh karenanya, industri rokok merupakan sumber pendapatan pajak bagi pemerintah dan penyerapan tenaga kerja. Diperkirakan, 90 persen dari total cukai berasal dari industri rokok.

Kawasan Bebas Asap Rokok

Betapapun besarnya income hasil rokok bagi pemerintah dan adanya penyerapan tenaga kerja yang tidak sedikit, tidak lantas membuat para pegiat kesehatan masyarakat diam-diam saja. Dalam arti, mewujudkan kawasan bebas asap rokok adalah sebuah keniscayaan bagi masyarakat, ini adalah tanggung jawab sosial. 

Adanya istilah “kawasan bebas asap rokok” juga tidak perlu membuat panik dan resisten. Sebab konsep ini sebenarnya memberikan ruang yang seimbang, adil, dan memberikan perlindungan antara yang merokok dan yang tidak merokok.

Seorang perokok memang butuh dihargai dari sesama perokok maupun yang tidak merokok. Akan tetapi, bagi perokok, ia punya tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk menciptakan lingkungan sekitar yang lebih sehat, sehingga orang yang tidak merokok masih dapat menghirup dan menikmati udara segar. 

Mewujudkan kawasan bebas asap rokok juga harus dilakukan dengan pendekatan integrative dan comprehensive dari semua aspek, bukan dengan pendekatan perubahan perilaku yang cenderung parsial.

Kiranya, ada beberapa kerangka penting yang sangat bermanfaat sebagai sebuah pendekatan perubahan masyarakat, khususnya terkait dengan konsep kawasan bebas asap rokok. Pertama, membangun kebijakan kesehatan yang sehat. 

Kebijakan kesehatan yang sehat ini adalah memosisikan agenda kesehatan kepada para pembuat kebijakan di semua level, dari pemerintah pusat sampai daerah, organisasi skala besar sampai yang kecil, juga keterlibatan organisasi pemerintah dan swasta, termasuk organisasi para pegiat sosial kemasyarakatan.

Kebijakan ini mungkin terkesan tidak adil terhadap para perokok. Banyak orang resisten, minder, cuek, atau bahkan tidak setuju dengan kebijakan ini. Akan tetapi, di sisi lain, ada kewajiban yang lebih besar untuk menciptakan lingkungan dan perilaku yang lebih sehat dari masyarakat secara keseluruhan. 

Kebijakan promosi kesehatan perlu pula mengidentifikasi sejumlah hambatan dalam membuat kebijakan kesehatan di luar sektor kesehatan dan bagaimana mengatasinya. Sehingga ada banyak pilihan yang lebih sehat dan lebih mudah bagi para pembuat kebijakan.

Kedua, mencanangkan lingkungan yang supportive. Masyarakat kita ini sebenarnya amat kompleks dan mempunyai kebutuhan yang macam-macam. Kebutuhan akan kesehatan dari “rokok”, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan lainnya. Dalam mengatasi masalah rokok dan bahayanya, masyarakat dan lingkungannya harus dipandang dalam sebuah pendekatan sosio-ekologi.

Dunia harus dipelihara dengan menciptakan lingkungan yang lebih sehat, yaitu kawasan yang bebas asap rokok. Perubahan pola hidup, pekerjaan, mengisi waktu senggang harus mempunyai dampak yang positif terhadap kesehatan. Tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan adalah menciptakan sebuah komunitas yang dapat memelihara kesehatannya.

Ketiga, memperkuat komunitas. Inti dari konsep ini adalah memberdayakan masyarakat di mana masyarakat itu mempunyai kemampuan di dalam mengolah prioritas masalah kesehatannya. Mereka dapat membuat perencanaan strategis dan mengimplementasikannya untuk mencapai kondisi kesehatan yang lebih baik.

Menghentikan seorang perokok berat untuk tidak merokok bukan pekerjaan mudah, akan tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Jika memang tidak harus melakukannya, minimal berupaya menjaga kesehatan lingkungan dari bahaya asap rokok. 

Menutup perusahaan rokok juga bukan sesuatu yang mungkin dilakukan, mengingat manfaatnya yang besar bagi pemerintah dan menyerap tenaga kerja. Tetapi para pegiat kesehatan, dengan memperkuat komunitas, dapat mengupayakan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan dan lingkungan yang sehat.