Oscar Wilde pernah mengungkapkan, “Sebagian besar orang adalah orang lain.” Kata inilah yang menjadi kalimat pembuka Amartya Sen dalam bukunya “Kekerasan dan Indentitas” yang saat ini menjadi salah satu buku rujukan dalam perkembangan keberagaman identitas. 

Pernyataan dari Wilde di atas menjadi pijakan bagi Sen dalam mengidentifikasi identitas manusia dengan rumusan bahwa pikiran mereka adalah pendapat orang lain, hidup mereka bagai peniruan, dan hasrat mereka bagai kutipan belaka.

Keberagaman identitas menjadi topik utama pandangan Sen yang memiliki dua persoalan penting sebelum melanjutkan ke taraf selanjutnya. Pertama, memahami bahwa pada dasarnya identitas bersifat majemuk, dan taraf kepentingan suatu identitas tidak harus menyingkirkan identitas lainnya. Kedua, setiap orang harus secara tegas menentukan identitas sesuai konteks kepentingan di antara berbagai kesetiaan dan kepentingan yang sama-sama ingin diperebutkan.

Kejamnya Sebuah Ilusi

Manusia memiliki kecenderungan dalam mengenal atau menciptakan suatu identitas tunggal yang melekat pada diri seseorang tanpa pernah memikirkan bahwa setiap manusia hidup dengan berbagai identitas pada dirinya mulai yang kecil hingga konteks yang paling besar. 

Setiap orang tidak bisa melepas pemahaman bahwa selain seorang penulis, Amartya Sen merupakan seorang Asia, seorang warga India, seorang Bengali dengan leluhur dari Bangladesh, seorang yang tinggal di Amerika atau Inggris, seorang Ekonom, seorang yang mendalami Filsafat, seorang pakar Sansakerta, dan banyak lagi beragam afiliasi yang dimiliki oleh Sen dalam dirinya. 

Namun, beragamnya afiliasi yang dimilikinya tidak lantas orang lain harus menginterpretasikan dirinya sebagai seorang penulis atau ekonom saja, tapi agar orang lain juga memperhatikan bahwa masih terdapat banyak lagi identitas yang dimilikinya yang tidak perlu disingkirkan.

Ilusi sebagai identitas tunggal menurutnya sangat kejam jika kita relevansikan dengan beberapa fenomena beberapa tahun lalu pada masa kekaisaran di India. Pada akhir abad ke 17, Kaisar Aurangzeb yang saat itu menaiki tahta Mogul di India dikenal sebagai kaisar yang kurang toleran dan mendiskriminasi rakyatnya yang berbeda agama. 

Aurangzeb sebagai seorang muslim melakukan pengucilan terhadap rakyatnya yang beragama non muslim dengan menerapkan pajak khusus yang tentu menimbulkan kontradiksi dari berbagai kalangan. Berbeda dengan kakek buyutnya, Akbar, yang sangat menjunjung toleransi identitas, khususnya yang menyangkut agama. Menurutnya, salah satu kewajiban negara adalah memastikan bahwa tak seorangpun yang dapat diganggu terkait agamanya, dan setiap orang berhak memilih keyakinan yang sesuai dengan dirinya.

Kritik terhadap Samuel Huntington

Menarik dinikmati bagaimana seorang peraih hadiah nobel ekonomi secara tegas menolak prinsip dasar Huntington yang mendikotomi dunia menjadi beberapa peradaban. Di dalam bukunya “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, Huntington membagi peradaban-peradaban dunia menjadi beberapa peradaban yang sangat sempit, seperti peradaban arab, peradaban budha, peradaban hindu, dan sebagainya. 

Klasifikasi serampangan di atas secara implisit menganggap bahwa seseorang dapat diidentifikasi hanya melalui satu dimensi tunggal. India bisa jadi ia sebut sebagai peradaban hindu tanpa ia pikirkan bahwa penduduk muslim di India hampir mencapai 150 juta penduduk sekaligus menjadikannya sebagai salah satu dari tiga negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia kala itu. Pakistan dipersepsikan sebagai peradaban muslim tanpa mencari lebih dalam bahwa masih terdapat penduduknya yang beragama non muslim. Penyeragaman yang sangat mengejamkan.

Analisis Huntington baginya cukup memancing respons kaum reaksionis masyarakat umum, khususnya bagi kaum radikal yang sangat sensitif dengan isu-isu dangkal yang membuatnya gampang terpancing emosi. Wacana peradaban tunggal sangat cepat direspons oleh golongan separatis yang mengaku dirinya anti-Barat (anti-peradaban Barat) dengan melancarkan serangan. 

Pengeboman gedung WTC di Amerika pada 11 September 2001 bisa jadi bukan disebabkan kegagalan diplomasi, karena, tragedi tersebut sangat dikaitkan erat dengan peran kelompok militan Islam, Al-Qaeda yang saat itu menjadi kelompok Islam garis keras yang notabenya sangat menolak westernisasi. Ini lah dampak dari pengamatan yang dilakukan oleh Huntington dalam karya fenomenal tersebut.

Menghargai Identitas Majemuk

Beberapa gejolak penentangan afiliasi majemuk yang terjadi sangat erat hubungannya dengan nalar. Sistem kerja nalar menurut Sen sangat mempengaruhi seseorang untuk mengenal keberagaman identitas yang dimiliki orang lain. Menurutnya, hal utama yang menjadi sumber kekisruhan adalah pengabaian nalar yang menciptakan sifat apatis pada keberadaan afiliasi lain pada diri manusia. 

Pengabaian akan pentingnya nalar juga mengakibatkan seseorang gampang menempatkan suatu pola bukan pada tempatnya, seperti menempatkan matematika sebagai produk asli barat dengan menyingkirkan gagasan awal bahwa algoritma dicetuskan pertama kali oleh matematikawan Arab Al-Khawarizmi pada abad ke 9. Klasifikasi serampangan seperti ini akan semakin menjadi habitus yang menalar ke seluruh rongga kehidupan sosio-kultural saat ini.

Kecenderungan dalam mengasosiasi manusia menjadi identitas tunggal bukan menjadi tema baru dalam karya Sen, mengingat problem humanisme tersebut sudah jauh mengakar di Indonesia sejak beberapa tahun silam, baik sebelum maupun pasca reformasi. 

Maraknya fenomena kekerasan yang dilatarbelakangi kepentingan SARA mengakibatkan terjadinya manuver antar aktor identitas yang tidak hanya berakhir pada perang psywar saja, namun pada penyerangan fisik secara kolektif satu sama lain. perselisihan dalam tragedi Poso, Sampit, konflik etnis Tionghoa dan Jawa di Surakarta, dan konflik di Sumbawa merupakan sebagian konflik antar ras yang pernah terjadi di Indonesia. 

Dalam taraf internasional, kita tidak bisa melupakan perselisihan antar masyarakat kulit hitam dan kulit putih di Amerika dan Afrika, konflik Rohingya di Myanmar, agresi militer antara Israel dan Palestina, dan konflik antara masyarakat Melayu dan Tionghoa di Singapura. Beberapa tragedi diatas merupakan sebagian kecil dari fenomena kejamnya klasifikasi tunggal dalam memandang keutuhan dari manusia.

Sebentar lagi Indonesia akan menghadapi tahun politik yang banyak orang menyebutnya dengan “Pesta Demokrasi”. Semua elemen masyarakat berbondong-bondong dalam memilih pemimpin pilihannya masing-masing. Namun, untuk menuju ke arah kontestasi pemilihan pemimpin, kita akan dihadapkan pada suatu realitas yang tidak bisa dihindari, yakni maraknya sentimen-sentimen yang dilontarkan dalam merebut legitimasi dari rakyat demi kelancaran hajat masing-masing calon pemimpin. 

Hal itu akan memiliki keterkaitan erat dengan campur tangan identitas tunggal yang sengaja dijadikan senjata dalam meraup suara dari rakyat sebanyak-banyaknya. Ini lah yang seharusnya perlu kita simak lebih dalam bahwa manusia tidak bisa hanya dilihat dari satu kesamaan saja, namun nalar kita juga harus dimanfaatkan dalam mengenal manusia sebagai kesatuan yang jamak dan terdiri dari berbagai afiliasi yang melekat pada dirinya. Semoga nalar kita tidak tertipu.

Sumber:Sen, Amartya. (2016). Kekerasan dan Identitas (Diterj. oleh Arif Susanto). Tangerang Selatan: Marjin Kiri