Jika ada yang memprovokasi dan ada yang terbunuh, itu pastilah Submission. Theo Van Gogh adalah sosok di balik film tersebut. Van Gogh dianggap memprovokasi, filmnya menghina Islam. Submission diputar di TV dan memicu protes.

Salah satu adegannya cukup jelas; seorang perempuan dengan pakaian tipis, terlihat tubuh telanjang dan payudara menonjol. Di atas tubuh telanjang itu, tertulis ayat-ayat Qur’an, sesuatu yang dianggap tidak pantas. Ayat itu tentang  ajaran Islam bahwa laki-laki boleh memukul istrinya.Islam tampak lebih sebagai parade kekerasan dibandingkan ajaran damai, mungkin itu yang ditangkap, atau paling tidak coba disampaikan Van Gogh.

Beberapa waktu kemudian, November 2004, seseorang merasa Van Gogh harus mendapat balasan. Mohammad B menganggap Van Gogh menghina Islam, dia menembak Van Gogh, menggorok leher dan menancapkan pisau dengan statemen yang ditancapkan tepat ke jantung. Mohammad dianggap mewakili wajah Islam. Apa yang kita lihat adalah pementasan teror tak berkesudahan, sesuatu yang sering lebih mengerikan dari kekerasan dan pembunuhan.

Kekerasan dan pembunuhan butuh provokasi dan sesuatu yang kabur, tafsir yang bisa diperebutkan. Dan ketika terjadi penembakan yang menewaskan editor dan beberapa orang kartunis Majalah satire, Charlie Hebdo, sebagian menganggap itu pantas. Charlie Hebdo telah memprovokasi dengan memuat gambar Nabi Muhammad dan kartun lain yang dianggap menghina Islam.

Daftar ini masih bisa bertambah, pembunuhan yang mengatasnamakan agama. mereka yang bertindak brutal dengan mengutip Qur’an dan Hadis. Faraq Fouda, penulis Mesir, tewas dibunuh pada usia 47 tahun karena karyanya dianggap mencoreng fakta sejarah Islam. Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir Islam mesir, divonis kafir serta dicabut gelar akademik karena tafsirnya dianggap menyimpang dari pemahaman Islam yang dianut mayoritas.

Bisakah kita berbicara tentang agama, tanpa melibatkan kekerasan atau kebencian yang menular? Haruskah yang banyak dan kuat membisukan yang lain, melenyapkannya. Kekuatan selalu berarti pembunuhan, caci maki dan pembantaian.

Tak ada sesuatu yang dapat menjelaskan, bahwa kebencian yang dibahasakan dengan tindakan brutal adalah keputusan yang membingungkan, seolah ada yang kalah dari pertempuran antara kebebasan, moral dan tafsir agama yang dianut segelintir orang.

Mati mungkin menyedihkan, tapi bagi mereka yang memelihara rasa benci tanpa batas, tak ada rasa dosa dan cacat moral. Banyak yang dibunuh, dibakar atau terlantar. Tapi ini bukan tragedi, menyelamatkan agama dari orang-orang yang tak menganggap itu suci, jauh lebih berharga dari nyawa. Kita tak pernah tahu, tak ada penjelasan, kenapa orang harus dibunuh, atau paling tak bermoral; mereka layak mati.

Kekerasan dan kematian terjadi ketika ada orang yang tak dikehendaki dan kekuaasan menjadi cemas. ada yang merasa terancam, sebuah perasaan  yang makin akut karena tak jelas siapa gerangan yang cemas. itu mungkin sebabnya orang membenci orang lain, membunuh yang lain. sejarah kemanusiaan kita penuh dengan kebengisan  dan rasa bersalah.

Kemanusiaan jadi tak berarti, hanya dijadikan alat bagi mereka yang setuju bahwa pembunuh harus dihukum mati. kita mungkin lupa bahwa kemanusiaan bukanlah Cuma alat, tapi tujuan, demikian kata Kant pada abad 18. Manusia, sesuatu yang abstrak. Tanpa tubuh, tanpa perubahan. Dan sejak itu, kita tahu kekerasan dan kematian bermula dengan segala bentuknya, bahwa kebencian ditularkan.

Ketika bom tiba-tiba meledak di Gereja Oikumene Samarinda, dan menghancurkan segalanya, Intan hanyalah sebuah contoh bahwa kebencian yang menular lebih mengerikan dari pembunuhan.