Memahami makna kebenaran rasanya akan selalu terjebak pada perspektif-perspektif. Kecuali kebenaran sejati, yang tidak bisa lagi diganggu gugat, gradasi kebenaran sangat beragam.
Ada framing, ada asumsi, bahkan ada ruang dan waktu yang kerap berpengaruh pada pola-pola yang menjadi dasar kebenaran.
Menyadari hal tersebut membuat kita paham bahwa kebenaran tidak dapat berdiri sendiri. Ia akan selalu bersandar pada konteks. Akan selalu mengacu pada kondisi di mana kebenaran itu diletakkan, kapan kebenaran itu diutarakan, serta tujuan yang ingin dicapai.
Sehingga kita tidak bisa mengatakan suatu hal itu benar tanpa memahami sudut pandang dan tujuan yang ingin dicapai atas fenomena yang dimaksud.
Saya gambarkan contoh paling sederhana. Bila kita sama-sama ingin melakukan perjalanan dari Jakarta ke Surabaya, berdebat mengenai jalur yang ditempuh bisa jadi memiliki muatan nilai kebenaran yang seimbang. Karena tujuannya ke Surabaya, sehingga jalan apapun yang ditempuh bisa jadi benar. Ntah lewat Ngawi, Pacitan, Lamongan atau bahkan lewat Tanjung Perak bila menggunakan armada kapal laut.
Lain halnya bila tujuan yang ingin dicapai sudah berbeda. Ada yang ingin ke Surabaya, namun pihak lain malah mengarah ke Lampung misalkan. Perdebatan mengenai jalur menjadi tidak relevan.
Pun begitu dalam penetapan tujuan juga pasti didasari atas kebenaran. Kebenaran yang bersumber dari belief system, nilai (value) yang dianut dan bahkan konstruksi sosial yang ada.
Oleh karena itu paradigma hitam-putih, baik-buruk, benar-salah untuk menilai suatu kebenaran akan sangat bias.
***
Berangkat dari premis di atas, saya menduga titik krusial seseorang untuk menilai kebenaran terletak pada paradigma. Yaitu konsep diri untuk menyikapi suatu fenomena yang berlandaskan dari struktur berfikir.
Dalam bangunan paradigma itu, ada tiang-tiang penyangga yang disebut mental, mindset, beliefs.
Bangunan ini akan sangat memiliki efek kepada reaksi seseorang dalam melihat kebenaran.
Begini maksud saya.
Karena kebenaran itu bersifat relatif, maka ia memiliki karakter antara relevan dan tidak relevan. Sehingga untuk menilainya, harus tersedia ruang seluas-luasnya untuk menguji kebenaran. Dan ini perlu dilakukan secara periodik. Karena seperti disebutkan di atas, kebenaran selalu terikat pada ruang dan waktu.
Oleh karena sifatnya tersebut, maka terlalu memegang prinsip dan tidak mau kembali melakukan evaluasi, agaknya menjadi sifat yang pandir.
Saya bukannya mau ngajari supaya jadi orang tanpa pendirian atau plin-plan. Namun perlu dipahami bahwa kehidupan yang penuh dinamika ini, pada saat yang sama juga menuntut tiap individunya untuk beradaptasi. Salah satu cara beradaptasi adalah mencoba mempertanyakan kembali konstruksi idea yang dimiliki. Apakah masih relevan? Atau sudah ketinggalan zaman.
Masalahnya, tidak mudah untuk mengevaluasi, membongkar dan menata ulang konstruksi yang sudah ada. Hal ini berkaitan dengan mental (mental block). Yaitu mental untuk bersedia mempertanyakan prinsip yang selama ini diyakini, mau belajar hal baru, merobohkan status quo, menghadapi kontradiksi dan (seperti kredo yang sudah sering kita dengar) keluar dari zona nyaman.
Hal yang kemudian terjadi bukan lagi usaha mencari kebenaran, namun mencari pembenaran. Pembenaran menggunakan berbagai dalih untuk mendukung pikiran yang tidak lagi relevan. Dan akan lebih susah lagi bila hal yang dibenturkan itu berkaitan dengan emosi. Itulah mengapa sangat sulit menasehati orang yang sedang jatuh cinta.
Ada teori yang namanya ”motivated reasoning” Teori ini berbicara tentang bagaimana kondisi mental (mental state) akan sangat berpengaruh pada bagaimana seseorang menginterpretasikan fakta yang ada. Alih-alih menyikapi hal baru secara terbuka, logis dan objektif, yang ada malah berusaha menyerang dan menegasikannya.
“trying to make some ideas win and others lose, the drive to attack or defend ideas”
Menariknya, peradaban di kolong langit yang telah eksis ribuan tahun ini menyediakan segala penjelasan logis yang bisa dipakai sebagai dasar pembenaran. Hal tersebut semakin menebalkan spektrum kebenaran yang sudah abu-abu, semakin tambah buram.
Itulah serunya hidup.
Dari sini saya sedikit mendapat gambaran lebih utuh. Bahwa selain paradigma, ada variabel yang juga tak kalah penting untuk menilai kebenaran. Yaitu perasaan, mental, emosi.
Hal tersebut seperti adagium yang berbunyi, “orang-orang tidak mengkonsumsi apa yang mereka butuhkan, tapi apa yang mereka senangi.”
Ada satu kutipan dari pengarang Le Petit Prince (Sang Pangeran Kecil) bernama Antoine de Saint-Exupery, “If you want to build a ship, don’t summon people to buy woods, prepare tools, distribute jobs, and organize the work. Teach people the yearning for the wide, boundless ocean.”
***
Saya tidak mau menarik kesimpulan apapun. Karena saya tidak ingin menyeragamkan isi pikiran Anda. Andalah subjek yang merdeka untuk mengolah informasi serta mencari kebenaran berdasar nilai yang Anda anut.
Atau malah bisa jadi, tulisan saya ini tidak menganut kebenaran sama sekali.