“Kebebasan pers bisa jadi baik dan buruk. Namun tanpa kebebasan, pers akan selalu menjadi buruk.” - Albert Camus

Penggalan cuitan di atas merupakan mention dari seorang wartawan senior Karni Ilyas dalam akun media sosial twitter pribadinya setelah terlaksananya debat (ILC: Indonesia Lawyers Club) dalam kasus kemanusiaan di Rohingnya Myanmar. Namun, di balik berjalannya diskusi akan kejadian kemanusiaan tersebut, amat disayangkan sebab hampir berbarengan dengan munculnya sebuah kabar hoax dari salah seorang politisi yang juga mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tiffatul Sembiring, yang mengunggah foto “hoax” pembantaian Rohingnya.

Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki prestasi dan gelar intelektual tersebut sampai keliru mengunggah foto korban pembantaian etnis muslim Rohingnya di akun twitter pribadinya? Apakah memang benar bahwasanya intelektualisme tidak pernah identik dengan gelar akademis?

Intelektualisme juga tidak identik dengan banyaknya pengamat dan pakar. Jeremy Jennings (1997) bahkan mengatakan, kemunculan para pakar, pengamat, dalam media justru menunjukkan gejala meredupnya peran kaum intelektual. Bagaimana ini dijelaskan?

Anti-Intelektualisme

Anti Intelektualisme pada dasarnya adalah sebuah istilah yang menurut pandangan pribadi ialah suatu istilah yang buram. Karena terbukti dengan sulitnya mencari literatur yang fokus membahas akan hal tersebut. Sehingga pembicaraan akan hal ini kerap melebar dan acap kali dicampuradukan dengan istilah non-intelektual.

Pemikir sekaligus Sejarawan Amerika Richard Hofsardter (1916-1970) mungkin satu-satunya yang memonumentalkan karya esai pertama kalinya, Anti-Intellectualism in America (1963). Ringkasnya, anti-intelektualisme bukanlah ciptaan seseorang yang secara mutlak bersikap menolak dunia gagasan bahkan sebaliknya. 

Tentu hal ini menjadi berbeda dengan pengertian non-intelektualisme yang bersikap sanksi terhadap kalangan intelektual, yang mana mereka bisa berayun ke arah X dalam keadaan tertentu dan terkadang berayun ke arah Y dalam kultur yang berbeda.

Kelompok anti-intelektual merupakan intelektual pinggiran. Mereka sangat getol dalam memperjuangkan tujuannya agar sikapnya dapat dilihat dan diperhatikan oleh dunia. Maka, bukan sebuah anomali apabila sikap anti-intelektual ini menjamur lewat kelompok agama.

Richard mengidentifikasi terdapat tiga ekspresi utama anti-intelektualisme yang pada masa itu berkembang di Amerika, yakni pertama, anti rasionalitas. Kebanyakan sikap ini diekspresikan oleh pandangan keagamaan yang sempit yang memandang bahwa akal budi manusia merupakan perangkat yang menjauhkan manusia dari realitas absolut keilahian. 

Kedua, sikap anti-elitisme. Dalam konteks Amerika, lebih merupakan penolakan terhadap berbagai bentuk pencapaian kesempurnaan, penolakan terhadap standar tertentu dalam rangka memuaskan aspirasi manusia yang lebih besar. 

Ketiga, instrumetalisme non-reflektif, yakni instrumentalisme yang diakibatkan oleh perluasan logika pasar kapitalis yang memperkuat sikap pragmatis dalam kehidupan serta menumpulkan daya kritis dan memperkuat konsumerisme. (Robertus Robert, Anti-Intelektualisme di Indonesia)

Masyarakat Info

Dari beberapa identifikasi yang dikemukakan oleh Hofstadter, terdapat kemiripan pengalaman yang dapat ditemukan di Indonesia. Salah satu ciri yang mirip adalah anti-rasionalitas sebagai ekspresi pandangan keagamaan yang sempit. 

Walaupun di Indonesia penguatan anti-intelektualisme juga dipicu oleh perkembangan demokrasi politik yang terkadang bersifat paradoksal. Salah sebuah frame yang dapat dijadikan melihat anti-intelektualisme ialah dalam gejala mediokrasi yang dipicu oleh demokrasi media massa.

Kebebasan pers yang telah dikemukakan oleh Albert Camus mungkin berada pada posisi buruk. Pesatnya pertumbuhan industrialisasi media massa, telekomunikasi, dan informasi ini merujuk pada perkembangan media massa dan infomasi pada tahap demokrasi pengetahuan. 

Demokrasi pengetahuan dalam konteks ini dapat disinggung pada gejala kemudahan akses informasi dalam berbagai literatur buku dalam banyak versi yang mengakibatkan surplus pengetahuan. Meskipun demikian, ini justru yang menjadi ironi kebudayaan muncul. Kuantitas bergerak terbalik dengan kualitas. 

Sebelum zaman Orde Baru, pemerintah menggunakan falsafah pers Authoritarian Theory (teori pers otoriter). Pada era ini pers lebih dikembangkan menuju hal yang berkualitas (bukan kuantitas) walaupun pada era ini pers banyak membungkam suara dari rakyat. Namun, yang menjadi point of view bukan pada pembungkaman, tapi condong ke arah teraturnya pengetahuan kepada masyarakat. 

Analogi sederhananya, pers dianalogkan pada seorang pilot yang mengemudikan pesawat (pesawat di sini jelas pers itu sendiri). Kejelasan bahwasanya pengendali “pilot” dengan kendaraannya pesawat “pers” berjalan selaras. 

Berbeda dengan kejadian pasca orde baru yang lebih ke arah Liberation Theory (teori liberal), seolah-olah pers mendapat legitimasi kebebasan yang aksiomatis. Alhasil, di mana pers yang sebelumnya dikendalikan oleh “pilot” kalap lantaran banyak tumbuh dan berkembangnya pesawat-pesawat baru yang kurang akan pengendalinya (pilot). Memugkinkan mengambil supir bus untuk mengendalikan pesawat. 

Kalau sudah demikian, pers menjadi chaos. Bukan informasi pengetahuan yang jelas yang didapatkan masyarakat, malah condong pada informasi pengetahuan yang amburadul yang ditelan. Starting point (titik temu) yang terbentuk bukanlah masyarakat yang tumbuh dan didorong oleh suatu konsepsi kehidupan yang yang bisa dipertanggung-jawabkan, melainkan suatu “masyarakat info”, yakni kehidupan publik yang dikendalikan oleh info-info.

“Masyarakat info” merasa dirinya mengetahui banya hal karena merasa menguasai pelbagai informasi yang sesungguhya mereka sendiri tidak mengetahui dan memahami. Masyarakat info akan senang tampil dalam nebula percakapan publik dalam berbagai media sosial tanpa perlu mengetahui ikhwal dan asal-muasal gagasan. 

Mereka akan memberikan argumentasi dan merasa lebih benar karena “pikiran gampangan” yang mereka praktikkan dianggap lebih menuntun pada “solusi praktis”. Padahal, media massa itu laksana sebuah peluru yang memiliki kekuatan luar biasa.

Masyarakat info pada akhirnya terpengaruh dan mempengaruhi yang lain (Diffusion of Innovation Theory). Dengan begitu, masyarakat info terkecoh dengan informasi yang beredar nan belum diketahui kebenaran atau tidaknya (hoax).

Hoax

Kata hoax muncul pertama kali di kalangan Netter Amerika. Kata hoax didasarkan pada sebuah judul film “The Hoax”. 

The Hoax adalah film drama Amerika 2006 yang disutradarai Lasse Hallstroom. Film ini dibuat berdasarkan buku dengan judul yang sama oleh Clifford Irving yang berfokus pada biografi Irving sendiri serta Howard Hughes yang dianggap membantu menulis. Banyak kejadian yang diuraikan Irving dalam bukunya yang diubah atau dihilangkan dari film. 

Sejak saat itu The Hoax dianggap sebagai film yang banyak mengandung kebohongan. Sejak itulah setiap kali muncul berita palsu atau bohong, Netter Amerika menggunakan istilah hoax.

Namun, menurut menurut filologis Inggris, Robert Nares (1753-1829), kata hoax muncul sejak abad 18 sebagai singkatan atau kata lain dari “hocus” atau permainan sulap. (Komunikasi praktis). Untuk itu, guna lebih singkatnya, hoax merupakan suatu pemberitaan yang mengandung kebohongan yang banyak muncul dalam media sosial.

Menjadi titik permasalahan ini sesungguhnya bukan terletak pada pemberitaan hoax sendiri, tapi terlebih pada masyarakat yang tidak mengerti akan sebuah informasi yang mengandung unsur kebohongan (hoax), kemudian dengan sadar atau tidaknya menyebarkan dan memviralkan dalam media sosial pribadinya. 

Di samping, mental moralitas budak masayarakat Indonesia yang reaktif, bahkan sikap reaktif ini harus berlumuran dengan ressentiment (baca Perancis: dendam) pada yang lain. (Moralitas Budak dan Moralitas Tuan, Filsafat Nietzche)

Anti-Elitisme

Kembali lagi pada identifikasi yang telah dikemukakan oleh Hofstadter. Anti-elitisme di sini tidak dimaksudkan sebagai anti penguasa. Melainkan pada pendapat, gagasan maupun pikiran. Dalam hal ini, masyarakat merasa sudah dan mudah untuk merasa ‘intelek” karena adanya google sebagai alat pencarian informasi yang sangat cepat, maupun debat para selebriti di televisi yang dirasa telah mencukupi. 

Orang mulai meninggalkan kelompok berpikir, ruang diskusi dan sebagainya yang dirasa tidak relevan lagi. Pada akhirnya sering terjadi konsep, teori dan intelektual yang dianggap sulit bahkan kurang up to date

Finalnya, opini, desas-desus dianggap lebih bernilai ketimbang konsep. Selebritas dan pengamat yang berdebat ditelevisi dipandang lebih menguasai persoalan ketimbang kaum intelektual. Sederhananya, populerisme lebih bernilai tinimbang gagasan.

Dominasi populerisme pula yang mendaur ulang pandangan “kebenaran mayoritas”. Bahwa yang disukai oleh banyak orang dianggapnya lebih benar. Pada titik ini juga anti-intelektualisme di Indonesia secara eksplisit mengidap anti-elitisme. 

Di sini pula Indonesia sering mendaur ulang stigma sosial dalam keagenan politik, yakni bahwa mereka terlalu melandaskan tindakan pada ide, teori yang tidak tepat guna masuk dunia politik. Hal lain lagi yang muncul ialah keengganan dalam keketatan berpikir. 

Anti-elitisme juga muncul dan berkembang dalam dunia pendidikan. Birokratisasi lembaga pendidikan mengubah sedemikian rupa kultur akademik di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.

Di sekolah, banyak guru yang terjebak pada supervisi yang digelontorkan oleh atasan, yang menjadikan guru seolah seseorang yang transaksional dalam hal mengajar. Menafikan bahwasanya guru seharusnya menjadi mitra diskusi siswanya. Adanya suatu hal yang distingtif, bahwa dalam ruang kelas siswa berada pada dunia maya, sedangkan di luar kelas merupakan dunia nyata. 

Lantas, bagaimana mungkin para siswa dapat membaca realitas yang ada kalau permasalahan ini tidak sampai pada dunia nyata, yang terus-menerus membentur meja pendidiknya?

Sementara dalam perguruan tinggi, gejala birokratisasi terkait dengan relasi-relasi antar universitas dan birokrasi negara serta pengusaha. Dalam situasi di mana universitas secara politik dan ekonomi menjalin hubungan ketergantungan dengan orang-orang kuat. 

Kultur akademik yang kritis menjadi redup diganti dengan kompromi dan pengendalian. Ini pula yang mengawali pergeseran kaum intelektual menjadi ahli. Ahli inilah yang menggeser dimensi kritis dengan profesionalisme yang bebas nilai.

Starting point, apa lantas kerugian dari menguatnya gejala ini? Anti-inteletualisme pada dasarnya memang anti pikiran dan anti kritik. Hilangnya sikap kritis dan meluasnya kompromi, menguatnya anti-rasionalitas secara perlahan namun pasti akan mempengaruhi dunia pendidikan dan pembentukan kebudayaan yang melahirkan tumpukan generasi medioker dan masyarakat info. 

Masyarakat info yang hanya mengandalkan apa yang telah dipertontonkan di televisi dengan kemasan selebritas yang menjadi tajuknya. Bukan berlebihan sesungguhnya apabila informasi hoax yang menjadi biang keladi permasalahan negeri, hoax merupakan salah satu dari dimensi lain yang bukan semata-mata menjadi sebabnya.

Masyarakat info yang telah dijelaskan di atas juga merupakan biang dari percekcokan dalam negeri. Di kala negara lain tengah sibuk dengan banyaknya penemuan dan inovasi baru pada bidang teknologi dan pembangunan negaranya, Negara Indonesia masih sibuk dengan sikap moralitas budaknya yang kian lama makin subur pertumbuhan dan perkembangannya.

Syahdan, sampai kapan negara Indonesia tetap seperti ini?