Setiap tahun Indonesia dilanda kebakaran hutan dan kabut asap. Bahkan pada tahun 2015 silam Indonesia mengalami kabut asap terparah sepanjang sejarah. Bahkan dana untuk menangani kebakaran hutan ini menjadi dana bencana terbesar yang dialokasikan, tapi tetap saja belum mencukupi. Tahun 2016 sekitar 680 Miliar sedangkan untuk tahun 2017 500 Miliar (Rubrik Lingkungan Tempo.co 11 Maret 2016).

Apalagi kita menghadapi tantangan dari penyakit-penyakit yang ditimbulkan selama dan pasca dari bencana. Lalu tentang bagaimana perubahan iklim mempercepat kontribusi terhadap kebakaran hutan serta pemahaman iklim terkait dengan prediksi ke depan karena iklim di Indonesia dipengaruhi faktor lokal, regional, dan global.

Faktor yang mempengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia dari fenomena global yaitu El Nino (Less Rainfall), La Nina (Excessive Rainfall), Positive Dipole Mode (Less Rainfall), Negative Dipole Mode (Excessive Rainfall), dan Madden Julian Ossilation (Excesive Rainfall), fenomena regional meliputi Monsoon (Wet and Dry Season), Inter Tropical Convergen Zone (Excessive Rainfall) dan Sea Surface Temperature (Excess/Less Rainfall) serta fenomena lokal yang dipengaruhi oleh topografi.

Selain itu dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sangat spesifik dengan potensi karakteristik iklim yang sangat unik, yaitu Monsunal (musiman), Equatorial (yang ada di sepanjang wilayah ekuator) dan Lokal. Dari semua faktor tersebut, terdapat 3 faktor yang saling berpengaruh terkait kebakaran hutan yaitu Dipole Mode, Anomali Sea Surface Temperature dan El Nino.

Proses perubahan iklim yang dirasa sudah sangat familiar bagi para Geograph dan Environmentalis. Pada dasarnya perubahan iklim terjadi karena kenaikan gas rumah kaca yang semakin tinggi, sehingga kemampuan bumi untuk merespon pun sudah di luar batas. Hal ini tentu berdampak pula pada pergeseran musim. Jika pergeseran musim itu terjadi bersamaan dengan kebakaran hutan, maka tentu akan ada pergeseran prediksi kebakaran hutan.

Selain itu perubahan iklim ini pun telah tampak dari dampak iklim ekstrim yang sering terjadi, yang ditandai dengan kondisi iklim yang berlangsung sangat pendek tetapi intensitasnya tinggi.

Berbicara tentang El Nino dan La Nina, sesungguhnya tidak setiap wilayah di Indonesia terpengaruh ENSO (yang ditandai dengan musim kemarau panjang dan kebakaran hutan), karena tergantung dengan tingkat kerentanan masing-masing daerah yang memiliki tipologi yang berbeda.

Oleh karena itu untuk penanganannya dibutuhkan adanya kepercayaan antar institusi. Diperlukan kelengkapan dan akurasi data yang mampu diolah menjadi informasi yang selanjutnya disebarkan hingga ke masyarakat dan komunitas-komunitas serta menghasilkan respon.

Berdasarkan WMO (15 Juni 2015), El Nino masih berada pada level sedang, tetapi telah terjadi trend peningkatan temperatur (SST Anomali). Pada 1 September 2015, El Nino menjadi lebih matang sampai level kuat. Ini bermakna bahwa El Nino akan kembali meningkat sampai pada level matang dan kuat sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 1972-1973, 1982-1983, dan 1997-1998.

Hal tersebut tampak dari anomali temperatur muka air laut yang meningkat sekitar 1,3 derajat Celsius dan 2 derajat Celsius pada Agustus 2015. Berdasarkan dari trend tersebut muncullah prediksi yang dikeluarkan oleh empat lembaga yaitu NCEP/NOAA (USA), Jamstec (Jepang), BoM/POAMA (Australia) dan BMKG (Indonesia).

NCEP/NOAA (USA) memprediksi bahwa April-Juli 2015 El Nino pada level sedang dan Agustus-November 2015 El Nino berada pada level kuat, Jamstec (Jepang) memprediksi Juni-Juli 2015 El Nino berada pada level sedang, Agustus-September 2015 El Nino berada pada level kuat dan Oktober-November 2015 El Nino pada level sedang, BoM/POAMA (Australia) memprediksi Juni-November 2015 El Nino pada level sedang sedangkan BMKG (Indonesia) memprediksi Juni-November 2015 El Nino pada level sedang.

Keadaan El Nino tersebut tentu memberikan kontribusi terhadap kebakaran hutan. Berdasarkan dari ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) kondisi kebakaran hutan di Riau telah masuk dalam kategori berbahaya. Oleh karena itu dalam pengelolaan resiko bencana tersebut perlu diiringi dengan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang baik. Status kondisi iklim di Indonesia tengah terkena El Nino, tapi masih level menengah dan tidak bisa digeneralisir karena tergantung dengan kerentanan ekologi masing-masing wilayah serta adanya keterkaitan yang erat antara ENSO dan potensi kebakaran hutan.