Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja pak bos bertanya kepada Yuni.
“Yun, menurut kamu, saya ini termasuk orang baik?” tanya pak bos.
“Menurut saya bapak orang baik” Yuni menjawab dengan sorot mata bersungguh-sungguh.
“Hmm, begitu. Tapi maaf ya Yun, ini terakhir kali saya jadi orang baik!” pungkas pak bos.
Yuni kaget mendengar pernyataan pak bos. Sebagaimana diketahui Yuni selaku manajer di perusahaan milik pak bos, ia tahu benar kalau pria paruh baya itu memang orang yang baik. Baik sebagai bos, sikap tutur katanya sangat berhati-hati dan jarang sampai menyakiti hati para bawahannya.
Tapi berhubung beliau mendapat laporan di grup whatsapp perusahaan yakni ada anggota Yuni di duga melakukan kesalahan fatal dalam pekerjaannya dan dianggap merugikan perusahaan membuat pak bos berubah pikiran. Ia memutuskan berhenti menjadi orang baik
Yuni tentu mengklarifikasi soal laporan di grup WA perusahaan yang menurutnya tidak berdasar itu. Laporan gegabah tanpa melihat fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan dan melibatkan bawahan Yuni. Secara otomatis insiden tersebut mencoreng kinerja Yuni sebagai manajer di mata pak bos.
Kisah nyata yang dialami Yuni ini, nama samaran, juga membuat saya ketawa plus heran. Kok bisa ya ada manusia yang memilih berhenti jadi orang baik setelah selama ini diakui secara sosial dia memang baik? Aneh tokh?
Ada pula cerita yang juga alami oleh si Monot, teman saya. Cerita ini sudah sekitar tiga tahun yang lalu tapi sangat relevan dengan cerita si Yuni baru-baru ini. Waktu itu si Monot di instruksikan oleh kakaknya untuk belajar nyetir mobil dengan tujuan bisa membantu sanak family di kampung.
Misalnya, jika ada sanak family yang sakit atau ada acara kawinan, Monot bisa bantu-bantu jadi sopirnya. Dua minggu ia menyelesaikan kursus dengan masih sangat banyak kekurangan skill dalam mengemudi. Tapi yang bikin Monot senang dengan ikut kursus nyetir ia bisa cepat mendapatkan SIM A tanpa tes!
Lulus kursus mengemudi, datanglah teman si Monot minta diajari nyetir mobil. Monot menolak dan menyarankan lebih baik ikut kursus nyetir di kota. Kalau dipikir-pikir teman Monot ini mampu membayar ongkos kursus nyetir mobil sendiri.
Alasan utama Monot yaitu walau sudah lulus kursus ia mengakui masih jauh dari kata handal mengemudikan kendaraan di jalan raya. Risiko bisa-bisa malah dapat celaka. Salah menerima saran, kawan ini malah tersinggung menganggap Monot sengaja pelit berbagi ilmu.
“Sori bro, aku takut nanti ada apa-apa di jalan raya. Aku masih belajar juga” kata si Monot
“Ah kamu Not, pelit kali. Cukuplah selama ini aku baik sama kamu,” gerutu temannya.
“Maksudmu bro?” Monot tak menyangka dengan ucapan yang keluar dari mulut temannya itu.
Apa yang dialami Yuni dan mengingat ulah teman si Monot membuat saya membuat kesimpulan sendiri. O ternyata jadi orang baik itu ada batasannya. O ternyata jadi orang baik itu bisa juga pada kasus tertentu akan merasa bosan juga. Tapi aneh juga kan kalau pilihan setelah bosan jatuhnya jadi orang buruk?
Saya jadi teringat pula dengan berita-berita gorengan pilkades yang pernah ramai di media online. Di mana ada beberapa calon kepala desa yang kalah tanding ujungnya malah ngamuk-ngamuk sendiri.
Ia marah besar kepada warga di lingkungan tempat tinggalnya yang menurutnya sudah di fasilitasi uang habis-habisan eh suaranya malah kalah telak di kampungnya sendiri dan pilkades dimenangkan oleh lawannya.
Karena tidak terima dengan kekalahan, lalu ada oknum yang menutup jalan penghubung antar RT dengan ditembok permanen, ada pula oknum yang melakukan perusakan dengan melempari jendela kaca kantor kepala desa dengan batu. Yang paling memalukan ada pihak calon kades yang kalah lalu meminta paksa kembali karpet yang pernah disumbangkannya ke masjid.
Bukankah ini juga contoh kecil peralihan batas kesabaran orang baik menjadi buruk? Kasus yang di alami Yuni, Monot dan contoh-contoh kecil kisruh pilkades tak lebih menunjukkan kalau predikat baik atau menjadi orang baik tak lebih sekedar skenario membangun citra diri dengan motif senyap yang suatu saat akan menjadi senjata mengerikan.
Sama mengerikannya dengan kasus yang pernah viral di medsos yaitu kisah orang yang patah hati diputuskan kekasihnya lalu ia memutuskan untuk menagih kembali semua daftar panjang biaya ongkos yang pernah dikeluarkannya selama berpacaran dengan sang mantan.
***
Kebaikan palsu yang dijadikan senjata di kemudian hari bisa membuat korbannya secara emosional dihantui oleh rasa bersalah, merasa jadi enggak-enakan kepada si pelaku yang dulunya pernah baik sekali kepada korbannya dan berpotensi membuat korbannya merasa berhutang budi seumur hidupnya.
Tentu saja tidak semua kebaikan itu dipukul rata palsu. Namun dengan kisah di atas, menurut saya ada baiknya jika kebaikan tak perlu dilakukan secara berlebihan tapi cukup sewajarnya saja. Dan orang yang menerima kebaikan-pun nanti akan terhindar dari rasa sungkan jika terjadi kesalahpahaman.