Di pinggir tambak-tambak ikan, di bawah pohon yang hanya ada satu di sana itu, aku duduk menikmati sore. Angin kencang khas daerah pertambakan mengacak-acak rambutku yang sudah mulai lebat ini. Sambil bermain handphone yang akhir-akhir ini tak seberapa sering aku mainkan. Tiba-tiba ada satu notifikasi dari kawanku, kawan dekat sekali. Isinya:
“Hei, buka link ini, kekasihmu menulis kisah cintamu dengannya. Miris sekali.”
Ia mengirimiku sebuah link yang bila kutekan itu akan muncul beberapa paragraf tulisan yang dimulai dengan kalimat, “Namaku Renjani...”
Tidak salah lagi. Itu memang kekasihku. Aduh, Jani, tumben sekali kau menulis lalu kau bagikan seperti itu. Tapi kuakui tulisanmu memang benar-benar indah. Tak biasanya kau menulis seperti itu. Tapi, di dalam keindahannya itu terdapat ketragisan yang kurasakan. Aku tak benar-benar bermaksud melahirkan tragisme pada dirimu, Jani. Sungguh, Masmu ini tak ada satu titik niatanpun membuatmu menjadi serigala tangis yang tiap malam melonglongkan kesedihan.
Aku membaca tulisan Jani dengan saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tiap kata yang indah aku ulangi dua kali pembacaannya. Tiap maksud yang tak dapat kupahami, kubaca lagi sampai aku mengerti arti darinya. Begitu terus sampai pada akhir paragraf dan kalimatnya yang membuatku merespon dengan tatapan mata melotot, “... di ujung kemantapanku untuk berpisah. Ya, Mas. Berpisah.”
Ah, Jani.. Mengapa kau menulis seperti itu? Apa kau tak mencintaiku lagi? Iya.. iya, aku akui semua perubahan yang kau ceritakan di tulisan itu. Tapi kiranya berikan aku kesempatan untuk menjelaskan. Di sini. Sama sepertimu. Kutulis semua alasan mengapa aku berubah. Semoga kau bisa menerima dan memahami dari semua sikap yang kuambil ini.
Aku tak biasa menulis. Apa lagi soal percintaan seperti ini. Ah, bukan, ini bukan soal percintaan, tapi ini soal kebodohan dan kesabaran. Betapa bodohnya aku dan alangkah sabarnya Jani, kekasihku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menceritakan semuanya runtut dari awal sampai akhir seperti yang Jani tulis. Tentu ini semua dari sudut pandangku. Semoga saja bisa melengkapi cerita yang telah ditulis Jani.
Awal pertemuanku seperti yang telah dikisahkan Jani. Aku mengenalnya saat kami ada project jurusan yang membuat kami menjadi satu kelompok. Kedekatan itu semakin terjalin seiring sering bertemunya kami membahas project. Seperti ungkapan Jawa, Witing tresno jalaran soko kulino, aku sungguh mengalaminya. Cinta terjalin dari kebiasaan.
Aku mulai biasa bertemu dengan Jani. Dalam satu minggu kami pasti bertemu. Ditambah lagi dengan hubungan melalui gawai kami masing-masing saat Jani di rumah dan aku di kamar kos. Aku mulai memiliki rasa kepada Jani. Rasa yang jika aku melihatnya langsung hatiku akan berdebar, rasa yang jika kami lama tak bertemu akan gelisah tak karuan, rasa yang bisa kujelaskan dengan kata-kata.
Mungkin tidak hanya aku saja yang pada saat itu sudah memiliki rasa. Jani, aku kira juga sudah memiliki rasa denganku. Tiap pembahasan yang aku ajukan padanya ia selalu merespon dengan baik dan antusias. Ia memberi timbal balik dari semua pembahasanku.
Aku dan Jani semakin dekat. Kami berdua sering keluar bersama. Suatu hari di saat kita keluar bersama, Jani bertanya kepadaku yang sebenarnya aku agak kaget sih saat mendengarnya. Ia bertanya, “Mas, hubunganku dengan kamu ini seperti apa, sih?”
Aku yang sudah berpengalaman soal ini menjawabnya dengan mudah. Aku menjelaskan kepadanya kalau aku tidak akan mengajaknya berpacaran seperti pasangan-pasangan pada umumnya. Aku menyatakan bahwa aku ingin berkomitmen dengannya sungguh-sungguh. Untungnya, Jani mau menerima. Persis seperti yang telah Jani tulis. Kalian pasti sudah membacanya.
Hubungan komitmen kami berjalan baik-baik saja. Jani semakin mencintaiku. Jani bertambah perhatiannya kepadaku. Tapi, ada keanehan dalam diriku. Aku merasakannya. Kalau rasaku yang pada awal-awal dengan Jani bisa kujelaskan dengan kata-kata, kali ini aku tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Kadang, aku merasa sayaaangg sekali dengan Jani. Kadang juga aku merasa benciiii sekali dengan Jani. Aku tidak tahu mengapa.
Keanehan itu datang lagi dalam bentuk lain. Aku merasa senang sekali dengan Jani yang semakin mencintaiku, tapi terkadang aku juga merasa marah sekali dengan perhatian Jani yang berlebihan. Jani tidak semudah aku dalam soal bergaul. Apa lagi dengan teman-temanku perempuan. Ia payah. Ia tak bisa berbaik sikap kepada teman-temanku perempuan. Persis seperti yang Jani tulis, ia payah dalam bergaul dengan teman-teman perempuanku.
Aku memiliki banyak teman perempuan di jurusan. Hubunganku dengan mereka baik-baik semua. Bahkan aku memiliki banyak sahabat dekat perempuan. Sebenarnya Jani itu cemburuan, entah mengapa ia tak mengakuinya di tulisannya itu. Bahkan, pengakuannya soal kepayahan dalam bergaul dengan teman-teman perempuanku di tulisannya itu adalah sebenarnya ia tidak setuju kalau aku terlalu dekat dengan teman-teman perempuanku. Itu yang terkadang aku juga merasa kesal dengan Jani.
Sebenarnya, sekarang aku dan Jani sudah hampir dua tahun berhubungan. Tapi, sejak bulan keenam aku merubah diri. Selama dua tahun ini aku masih memiliki rasa kepada Jani. Aku masih mencintai Jani sebagai kekasihku. Hanya saja aku tidak ingin terlalu dekat dengan Jani. Aku merasa tidak nyaman jika terlalu dekat dengan Jani. Dekat secara fisik maupun dekat secara emosional. Pokoknya aku masih mencintai Jani dan aku tidak bercabang pada perempuan lain. Ya, kuakui memang aneh. Ini semua karna aku pokoknya, titik.
Jani tidak bisa menerima sikapku yang begitu. Yang tetap mencintai tapi tidak ingin terlalu dekat. Aku juga tidak mau membalas pesan Jani terus menerus dalam satu hari secara intens. Itu juga membuat Jani semakin kesal kepadaku akhir-akhir ini.
Memang ini semua murni kesalahan dari perasaanku. Perasaan yang tidak ingin dekat kepada Jani tapi masih mencintai Jani. Perasaan aneh yang sebenarnya banyak terbangun dari dalam diriku sendiri. Aku lebih bersalah lagi karna tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku tidak berdaulat pada perasaanku sendiri.
Aku terlalu nyaman dengan keadaanku ini. Merasa nyaman dengan jarak yang kuciptakan. Sampai-sampai aku tak berani masuk dalam perputaran percintaaan kami. Persis seperti Jani tulis: Ada di kehidupannya tapi tak berani masuk.
Sudah kubilang saat awal tadi. Aku tak biasa menulis. Kalau kalian baca dari awal ini pasti tidak seruntut yang Jani tulis. Yang paling penting, tanggung jawab untuk menjelaskan perubahanku sudah kupenuhi. Ya beginilah dari sudut pandangku. Kalau di akhir tulisannya Jani mantap untuk berpisah, maka di akhir tulisanku ini aku juga akan mantap untuk dipisahkan oleh Jani.
Ya, Dik, Jani, Kekasihku, aku akan menerima untuk kau pisahkan.