Insan terdidik bernama mahasiswa sering kali disebut-sebut sebagai moral force dan agent social change. Keberadaannya telah mampu memberikan dampak besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Bisa kita saksikan secara saksama peran mahasiswa dalam kurun waktu 1965, 1971, dan 1998.
Pada tahun 1965, mahasiswa menunjukkan dirinya sebagaimana julukan di atas. Para mahasiswa sangat getol mengkritik kebijakan-kebijakan Soekarno yang dianggap jauh dari kepentingan rakyat.
Atas dasar kepentingan bersama dan dengan landasan bahwa mahasiswa sebagai jembatan penyambung antara masyarakat dan pemerintah, mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Menurut Moeflich Hasbullah dalam tulisannya yang berjudul Gerakan Politik Mahasiswa sebagai Moral Force, KAMI berjuang melawan kebobrokan pemerintahan, baik di bidang ekonomi, politik, dan pembangunan. KAMI menggugat pemerintahan Soekarno beserta seluruh menteri kabinetnya karena dianggap telah menyimpang dari cita-cita kemerdekaan 1945.
Kebijakan “politik sebagai panglima” zaman Soekarno telah membangkrutkan ekonomi Indonesia dan menyengsarakan rakyat yang kemudian melahirkan gugatan mahasiswa yang dikenal dengan Tritura (bubarkan PKI, bubarkan kabinet, dan turunkan harga) yang ujung-ujungnya gerakan mahasiswa menjadi penyebab penting kejatuhan Soekarno.
Setelah Orde Lama runtuh, gerakan mahasiswa masih getol mengawal kepentingan masyarakat dan demi kemajuan bangsa. Hal ini dibuktikan oleh penyikapan mahasiswa terhadap rezim Orde Baru yang dianggap otoriter dan fasis.
Gerakan-gerakan mahasiswa yang masih murni mengangkat kepentingan bersama dan menyatu dengan masyarakat sipil pada akhirnya mampu menumbangkan rezim fasis Orde Baru pada Mei 1998, lalu dimulailah era di mana kita menyebutnya 'reformasi'.
Gerakan yang dibangun oleh mahasiswa pada era sebelum reformasi, jika ditinjau dari sisi politik, dapat dipastikan bahwa kepentingan politiknya diupayakan untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat madani dan pemerintahan yang bersih.
Upaya ini sebetulnya sudah sesuai dengan pelabelan moral force, agent social control, dan agent of change kepada mahasiswa saat itu. Artinya, kehidupan mahasiswa dalam menyikapi politik kala itu masih jauh dari kepentingan elite mana pun.
Sikap Politik Mahasiswa Saat Ini
Kultur serta kehidupan mahasiswa saat ini tidak lepas dari konteks situasi dan kondisi politik yang terjadi saat ini. Politik akan hidup sepanjang waktu mengalir dalam kehidupan manusia.
Saat ini, khususnya di Indonesia, sebentar lagi akan menghadapi momentum ijtihad politik bernama Pilpres (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) dan Pileg (Pemilihan Legislatif) tepatnya pada 17 April 2019.
Dalam situasi politik yang marak dengan ujaran kebencian dan berita palsu (hoaks) di media sosial, sudah sepantasnya kita selaku pemuda/mahasiswa bersikap tegas dalam menyikapinya. Apalagi momentum politik kali ini, seluruh partai politik peserta Pemilu diakui atau tidak mengincar suara pemilih pemula yang dalam hal ini adalah kaum muda/mahasiswa.
Mengapa demikian? Menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tercatat ada 5.035.887 orang pemilih pemula pada Pemilu 2019 dengan total jumlah Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) 196.545.636. Maka tak heran jika para elite partai politik sangat gencar merebut suara potensial ini.
Dalam kontestasi politik saat ini, tidak sedikit mahasiswa yang terlibat dalam pola permainan politik praktis. Artinya, ada pergeseran cara pandang mahasiswa dalam menyikapi politik praktis. Jika kaum terdidik bernama mahasiswa sudah terlibat dalam politik praktis kaum elite, maka dapat dipastikan sikap idealisme sudah luntur dan punah.
Dengan demikian, muncul pertanyaan sederhana yang sudah sepantasnya kita jawab secara bersama, ke mana sikap politik mahasiswa saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang perlu kita petakan.
Pertama, jalur politik formal. Adalah para pemuda/mahasiswa yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan politik praktis; terlibat menjadi relawan atau tim sukses. Keterlibatan pemuda/mahasiswa jalur informal ini sebetulnya sah-sah saja selama tidak melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan dan idealnya sebagai mahasiswa.
Akan tetapi, para pemuda/mahasiswa yang terlibat dalam politik praktis tidak sedikit juga yang memandangnya secara ganjil. Pandangan ganjil tersebut tak lain dan tak bukan diakibatkan dengan adanya sistem pemerintahan dalam negara kita yang terbilang korup dan jauh dari kepentingan masyarakat.
Kedua, jalur politik informal. Adalah keterlibatan para pemuda/mahasiswa di luar sistem politik yang ada. Keterlibatan melalui jalur informal biasanya dilakukan oleh para mahasiswa yang berpandangan bahwa perubahan suatu sistem yang dianggap ganjil tidak harus diubah dengan cara memasuki sistem itu sendiri (memperbaiki dari dalam), melainkan juga dapat bersama-sama diubah dengan cara mengorganisir kesadaran dan massa di luar pemerintahan.
Akan tetapi, para pemuda/mahasiswa yang memilih jalur informal bukan berarti tidak paham politik, hanya saja tidak mau terlibat dan terjerat dalam lingkaran hitam kepentingan pribadi/kelompok yang bersifat sementara.
Menurut hasil survei yang dilakukan Orb Media, perbandingan sikap politik antargenerasi berselisih cukup jauh; yang memilih jalur formal berjumlah 27% sementara yang memilih jalur informal berjumlah 10%. Survei ini dilakukan kepada pemuda Indonesia yang berumur 29-38 tahun. Berikut persentasenya:
Perbandingan sikap politik antargenerasi (Sumber: Orb Media)
Dengan demikian, lagi-lagi muncul pertanyaan: ke mana orientasi sikap politik mahasiswa masa kini? Semuan akan terjawab jika mahasiswa sadar akan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dan tanggung jawabnya sebagai moral force dan agent social control.
*Tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi rutin Keluarga Mahasiswa Pamekasan Yogyakarta, Maret 2019.