Segala bentuk pertengkaran dapat memicu terjadinya kekerasan, sama halnya dengan yang terjadi pada kasus KDRT Lesti Kejora oleh suaminya, Rizky Billar. Dalam pelaporannya, Lesti Kejora mengungkapkan adanya pertengkaran hebat dengan Rizky Billar, pertengkaran itu terjadi dua kali dalam sehari pada Rabu (28/9) di kediaman keduanya di Kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Isu ini tentu mengejutkan bagi public dan netizen. Karena, kondisi rumah tangga artis Bernama Lesti tersebut berbanding terbalik dari yang terlihat selama ini di media. Kdrt memang menjadi masalah yang umum terjadi di Indonesia namun masih belum menemukan upaya penanganan yang benar secara hukum baik dari penanganan maupun pencegahannya.
Seperti kasus yang terjadi pada SZ tahun 2022. Perempuan SZ disebut mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sudah sejak lama, ia melaporkannya ke polisi namun sayangnya, terduga pelaku tidak bisa diproses karena beredar kabar saudara pelaku adalah anggota polisi. Kasus tersebut salah satunya menjadi contoh nyata penanganan kasus KDRT tidak ditangani dengan baik.
Sifat rapuh/toxicnya maskulinitas laki-laki dapat berpengaruh pada terjadinya kekerasan pada pihak perempuannya dalam suatu rumah tangga. Maskulinitas sendiri adalah seperangkat praktik sosial dan representasi budaya yang terkait dengan menjadi laki – laki (Pilcher dan Whelehan, 2017: 92). Laki – laki harus memenuhi kriteria maskulinitas untuk dapat dianggap sebagai laki – laki.
Dengan adanya maskulinitas yang rapuh dapat mendorong terjadinya kekerasan difaktori adanya rasa ingin menunjukkan kekuatan, kekuasaan yang lebih dominan terhadap pihak perempuan. Merasa superior dan memiliki power yang besar sehingga pada akhirnya berujung melalui opsi kekerasan. Sikap ini membuat pihak perempuan menjadi pihak yang rentan mendapatkan kekerasan.
Mengapa perempuan menjadi pihak yang rentan mendapatkan kekerasan?
Perempuan menjadi pihak yang rentan mendapatkan kekerasan salah satunya karena budaya patriarki yang masih melekat, patriarki dinilai sebagai sebuah sistem sosial yang menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Patriarki disebut sebagai budaya sebab diwariskan dari generasi ke generasi tanpa disadari. Mulai dari lingkup keluarga, misalnya, seorang ayah sebagai kepala keluarga yang memutuskan segala pilihan untuk seluruh anggota keluarganya dan ibu hanya harus melayani serta menyetujui apapun keputusan yang dibuat oleh ayah.
Dalam kehidupan sehari-hari, budaya patriarki yang sudah melekat dapat dilihat dengan jelas, contohnya perempuan dituntut untuk dapat melakukan berbagai macam pekerjaan rumah, mulai dari menyapu hingga memasak. Dan jika seorang perempuan tidak mampu melakukan hal tersebut, ia bisa dikucilkan oleh orang-orang sekitar ataupun lingkungannya.
Budaya patriarki menempatkan pihak perempuan berada dalam posisi yang keberadaannya kurang diperhitungkan. Tentunya pihak perempuan merasa terbelenggu dengan ketidakadilan yang dirasakan. Budaya patriarki seringkali juga dikaitkan dengan bentuk pelanggaran HAM karena perbedaan posisi social antara laki-laki dan perempuan menyebabkan masyarakat cenderung menganggap wajar adanya perilaku kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk sekecil apa pun.
Perempuan dianggap sebagai pihak yang lebih lemah sehingga menjadi rentan untuk mendapatkan perilaku kekerasan, hal tersebut pula menyebabkan perempuan takut dan tidak memiliki keberanian untuk melaporkan ataupun meminta bantuan kepada orang lain, tidak lain karena adanya budaya patriarki, sering kali orang menganggap KDRT adalah urusan internal keluarga saja dan tidak sepatutnya dilaporkan kepada orang lain.
Padahal, segala bentuk kekerasan mau perempuan atau laki-laki, dengan apapun status dan juga kedudukannya, jika ada pihak yang merasa terancam, tidak berdaya, merasa tidak tenang dan tentram pun sudah termasuk sebagai kekerasan. Sebagai sesama manusia, sudah sepatutnya kita saling menolong, membantu, meleraikan, dan mengulurkan tangan kepada korban kekerasan.
Kekerasan dalam bentuk apapun termasuk KDRT tidak dibenarkan. Adapun hukuman tertulis bahwa KDRT merupakan pelanggaran dari UU Nomor 23 Tahun 2004, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga.
Dengan adanya hukuman tertulis tersebut maka tentunya dapat digunakan oleh pihak perempuan, secara hukum negara pun turut tidak membenarkan Tindakan KDRT. Adapun sanksi dari tindak KDRT terdapat pada Pasal 44 ayat (1): ”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”
Oleh karena itu, perasaan superior dan lebih berkuasa seharusnya dihilangkan karena kita semua setara, apalagi dalam halnya urusan rumah tangga yang sudah sepatutnya dilalui bersama secara rangkul merangkul, bukan menggunakan kekerasan, mengancam, ataupun merendahkan orang yang menjalani hidupnya sehari-hari bersama kita.