Masyarakat Arab pra-Islam memiliki banyak riwayat kelam yang kental akan penindasan. Salah satu golongan yang paling tertindas adalah perempuan. Kala itu perempuan tidak diperlakukan selayaknya manusia. Perempuan diperbudak, dijadikan barang warisan, bahkan boleh dibunuh ketika masih bayi. Kemudian, Islam dengan revolusioner hadir menentang segala penindasan tersebut.

Paragraf di atas rasanya sudah umum. Banyak dari kita yang tahu dan yakin bahwa Islam memang hadir dengan membawa spirit emansipasi perempuan. Oleh karena itu, tentu kita pantas mempertanyakan: kenapa banyak beredar narasi atas nama Islam yang memarginalisasi perempuan? Bukankah itu bertentangan dengan spirit emansipasi yang dibawa Islam?

Pemikiran Kaukab Siddique dapat menjadi salah satu jawaban atas kebingungan kita. Dalam bukunya, Struggle of Muslim Women (terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Menggugat Tuhan Yang Maskulin), ia menyoroti sejumlah tafsir patriarkis terhadap teks-teks Islam. Bagi Siddique, tafsir patriarkis inilah menjadi sumber masalah.

Pemikir besar lain, Asghar Ali Engineer, memiliki pemikiran yang kurang lebih senada. Menurut Ali, marginalisasi perempuan mendapat legitimasi dari proses tafsir terhadap isi Alquran dan hadis. Padahal, tafsir tidak selalu ilahiyah karena tidak lepas dari konstruksi dan bias penafsirnya.

Salah satu fokus bahasan Siddique dalam buku ini, ajaran Islam tentang bolehnya perempuan menjadi pemimpin. Bahasan ini tentu relevan karena masih saja ada sebagian umat dan ulama konservatif—dengan segala pikiran patriarkis mereka—menganggap Islam melarang perempuan menjadi pemimpin. Bahkan, bagi mereka, sebaik-baik perempuan adalah yang di rumah saja. Padahal, kehidupan perempuan tidak melulu urusan domestik: dapur, sumur, kasur.

Siddique menerangkan bahwa sebetulnya Q.S. 9: 71 sudah berbicara terkait interaksi lelaki dan perempuan dalam masyarakat.

Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian dari mereka (adalah) menjadi penolong (awliya') bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Salah satu muatan ayat di atas ialah, baik lelaki maupun perempuan menjadi awliya’ bagi satu sama lain. Yusuf Ali menafsirkan awliya' sebagai “pelindung-pelindung”. Sejumlah tafsiran lain mengatakan awliya’  berarti “teman-teman yang melindungi”.

Perlu ditekankan, bahwa ayat ini sama sekali tidak mengajarkan bahwa lelaki lebih dominan kedudukannya ketimbang perempuan. Ayat ini diwahyukan paling akhir daripada ayat-ayat lain yang bermuatan serupa: interaksi perempuan dan lelaki dalam masyarakat. Berdasarkan prinsip naskh, artinya ayat ini adalah tetapan final mengenai hal ini.

Terkait “sebaik-baik perempuan adalah yang di rumah saja”, Siddique juga menepis anggapan fatal ini. Mengutip hadis dari Ibn Katsir, Umm Salamah, istri Rasul, bertanya kepada beliau tentang peran perempuan dalam perjuangan Islam. Perjuangan yang dimaksud termasuk hijrah, menjadi syahid, berperang dan sejumlah kegiatan lain—yang tentunya berada di luar ranah domestik atau rumah tangga. Dikarenakan pertanyaan inilah Allah menurunkan firman Q.S. 3: 195.

Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian dari kalian adalah bagian dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti di jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pasti aku masukkan mereka ke dalam surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”.

Aisyah r.a. dapat kita jadikan salah satu referensi bahwa perempuan boleh dan dapat menjadi pemimpin.

Dalam peperangan, Aisyah menunjukkan kepemimpinannya. Ia dipercayai untuk memimpin pasukan di Perang Jamal. Bahkan sejumlah Sahabat turut di bawah kepemimpinan Aisyah di medan perang.

Riwayat Aisyah memimpin pasukan di Perang Jamal ternyata tetap tak lepas dari penolakan. Beberapa golongan mengklaim Aisyah menangis karena melanggar Alquran dan pergi bertempur di Perang Jamal. Padahal, klaim ini dapat mudah dibantah dengan Q.S. 3: 195 serta alasan turunnya firman tersebut yang dipaparkan Ibn Katsir. 

Di luar medan perang, Aisyah menunjukkan kebolehannya dalam kegiatan intelektual. Diriwayatkan dari Qasim, salah seorang Tabi’in, Aisyah adalah seorang mufti (pemberi fatwa) di masa Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. 

Jika para khulafaur rasyidin bahkan meminta Aisyah memutuskan fatwa, artinya kepemimpinan dan kapasitasnya tidak dapat disangkal lagi. Beliau juga merupakan guru yang murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar generasi Tabi’in.

Setidaknya, itulah sedikit bagian dari pemikiran Kaukab Siddique dalam The Struggle of Muslim Women. Pemikirannya penting karena dapat meluruskan anggapan tentang Islam dan patriarki. Pula sebagai counter terhadap narasi-narasi patriarkis atas nama Islam.

Pada dasarnya, spirit Islam salah satunya adalah spirit emansipasi perempuan. Dan, Islam mengutuk segala marginalisasi terhadap perempuan.