Film pendek yang dibuat Anto "Galon" untuk festival film yang dibuat oleh Mabes Polri, "Kau Adalah Aku yang Lain" masih saja membuat problematika menarik yang viral di dunia maya. Baru-baru ini, Deddy Corbuzier menawarkan opini di vlog Youtube yang ia buat, yang pada intinya menyatakan apresiasi akan niat baik film ini dibuat, namun menyayangkan adegan seorang bapak-bapak yang menghalangi jalan ambulans karena diadakan pengajian (dalam artian tidak mau membukakan jalan), hanya karena alasan pasien didalam ambulansnya orang yang berbeda agama.   

Menurutnya, ini tak sesuai fakta. Dalam lingkungan kesehariannya, ia tak mendapatkan situasi yang demikian. Seperti ketika ia menggelar acara ulang tahun Azka, anaknya sendiri, yang sampai memakan ruang di rumah tetangganya untuk menempatkan kursi tamu. Tetangganya kebetulan muslim. Pendapat ia ini kemudian dikutip oleh akun-akun dakwah.   

Memang, pernyataan Deddy ini benar. Tapi, saya jengah dengan kebanyakan komentar di videonya Deddy yang isinya kebanyakan menganggap film pendek ini memojokkan dan menjatuhkan umat Islam. Bahkan, ada yang sampai sengaja membenturkan TNI dan Polri. Seakan satu sisi membela Islam dan yang lainnya tidak. Mereka kemudian menceritakan tentang toleransi perbuatan yang mereka perbuat sehari-hari.   

Mereka juga menawarkan opini tentang aksi damai berangka cantik yang beberapa waktu lalu digelar untuk memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dimana mereka menceritakan bahwa pasangan suami istri yang akan dinikahkan di Gereja Katedral saat itu ditolong melewati kerumunan massa yang berkumpul di depan Masjid Istiqlal yang menjadi pusat pengumpulan massa. Ada liputannya yang ditayangkan oleh NET, salah satu stasiun TV swasta. 

Komentar ini bukan hanya ditemukan di kolom komentar vlog Deddy, namun juga per hari ini bisa kita temukan dimana-mana. Mereka merasa sedikit-sedikit tersinggung. Mereka merasa bahwa jika terkait dengan Arab, langsung disangkakan kepada mereka. Langsung disangkakan jelek-jeleknya. Seakan Islam itu jelek.. Padahal, setiap orang Islam, berhak untuk merepresentasikan Islamnya mereka, dan tak harus berkiblat pada budaya tertentu - apalagi budaya dari Arab, selama memang masih diniatkan dengan kebaikan. Tentu, idealnya representasi yang rahmatan lil alamin, progresif, terbuka terhadap perbedaan dan terus menerus berpikir untuk perubahan, meskipun tak tertutup pemikiran Islam lain yang berbeda (semoga bukan alasan untuk tindakan makar sampai mencerai berai bangsa dan negara).   

Diluar hal apakah ini terjadi atau tidak, ada beritanya atau tidak, hingga catatan soal ketidaklogisan cerita seperti masuk UGD yang mengantri (padahal tidak dalam konteks gawat darurat, kalau mau diamati secara teliti), film pendek ini sebenarnya menggambarkan adanya situasi kurang mengenakan. Ya, situasi yang dialami saat ini di Indonesia, apalagi di sosial media yang lebih panas. 

Memang wajar jika sebagian pihak masih trauma dengan situasi sebagai akibat Pilkada DKI yang lalu, dimana karena polarisasi yang sangat luar biasa sebagai akibat dari post-truth yang membentuk framing, sampai-sampai ada ancaman tak mau menyolatkan jasad yang pada saat hidup memilih kubu yang dianggap kafir (dan penista agama). Seakan memang luberjurdil dalam pemilu tak lagi terjamin karena polarisasi ini. Meskipun kemudian diklarifikasi tidak ada penolakan yang separah yang diberitakan media, namun situasi ini jujur saja membuat citra Islam makin buruk. Seakan orang Islam tak mau diajak untuk berpikir terbuka dan menerima perbedaan, meskipun memang hak masing-masing untuk, misalnya, memilih pemimpin seagama dan seakidah. 

Hal traumatis ini, pernah diceritakan ibu saya. Ia bertemu dengan seorang pelanggan yang dulunya baik dan ramah kepadanya, saat ibu saya belum berjilbab. Namun, sejak ia berjilbab, pelanggan yang etnisnya sama dengan Ahok ini jadi ketus dan cerewet. Situasi ini bisa diduga karena polarisasi yang demikian, dimana orang-orang jadi curiga kepada mereka-mereka yang menunjukkan identitas keislamannya, seperti jilbab, cadar dan jenggot (meski pengguna jenggot bukan hanya orang Islam saja). 

Mereka kemudian menuduh bahwa framing media massa telah kejam kepada mereka. Memojokkan umat Islam dan Islam itu sendiri. Hm? Sebelum menuduh yang demikian, pernahkah mereka-mereka ini introspeksi dengan situasi yang ada? Pernahkah mereka sadar bahwa terkadang mereka terjerat dalam framing, bahkan menjadi bagian yang membuat framing itu sendiri? Apalagi, sampai bertindak rasis.   

Bisa saja kemudian kita sebut mereka yang demikian itu oknum. Oknum yang tak bisa pendapatnya digeneralisir ke semua pihak. Ke semua umat Islam, yang justru kebanyakan masih menerima perbedaan dan berhak pula menanggapi filmnya Anto secara demikian kerasnya. Sama halnya dengan ISIS dan Wahabi yang tak semua umat Islam setuju dengan gerakan mereka. Apalagi ada yang sampai membunuh orang yang tak tahu apa-apa dan menyasar perempuan-anak kecil. 

Masalahnya, mau oknum atau tidak, kalau sudah berdampak luas, apa mau dikata? Susah juga mengubah citra dan pandangan, apalagi berhadapan dengan mereka yang “keras”, seperti yang diceritakan ibu saya tadi. Maka, sebenarnya yang paling utama bukanlah soal melawan upaya memojokkan Islam. Tapi, yang lebih penting adalah melihat apa yang membuat Islam di masa lalu sangat maju. Bukan khilafah, tapi tentang bagaimana umat Islam mau menerima perbedaan, baik dalam pikiran maupun perbuatan, serta menerima ilmu pengetahuan, bukannya justru sibuk membuat cocoklogi yang tak berdasar. 

Sebut saja beberapa nama seperti Ibnu Sina, Ibnu Batutah, Al Qalasadi, Al Khawarizmi dan beberapa nama lainnya, dikenang sebagai mereka-mereka yang menerima dan mengolah ilmu pengetahuan, yang menjadi catatan sejarah bagi dunia hari ini, bukan hanya untuk umat Islam, namun juga untuk umat manusia. Selama ini, kesan tak menerima ilmu pengetahuan, seperti antivaksin dan teori bumi datar yang perdebatannya tak logis apalagi sampai dengan mudahnya mengatakan kuminis begini dan begitu serta menuding satu etnis tertentu sebagai yang patut dicurigai adalah tindakan-tindakan yang tak diperlukan dan menjadikan Islam dan umat-umatnya di negeri ini menjadi makin terpojok posisinya.   

Hak mereka memang untuk menyatakan pendapat yang demikian, tapi selama memang tak didasari dengan ilmu dan fakta, dan hanya sekedar menjual cocoklogi belaka, tentu mereka akan diremehkan. Sayangnya, hal inilah yang mereka tunjukkan. Mereka dengan berani membandingkan ideologi di dunia, yang dianggap hanya 3 : kuminis, Islam dan liberal secara sederhana tanpa ada pendalaman ilmu apapun, hanya berdasarkan turun dari siapa dan isi ideologinya secara sederhana. Ini saja sudah merupakan framing. Hal yang sayang sekali mereka tunjukkan.   

Selain itu, dengan menunjukkan nilai toleransi yang demikian, menunjukkan bahwa sesungguhnya toleransi dalam pemikiran belum mereka terapkan. Mereka melupakan akal sehat yang diberikanNya untuk memahami lebih jauh suatu persoalan. Itulah inti sebenarnya "Kau adalah Aku yang Lain".