3 Kandidat Capres
Ganjar resmi diumumkan oleh PDIP sebagai capres, maka semakin terang siapa saja kandidat capres yang nanti akan berkontestasi di 2024. Setidaknya sudah dapat dipastikan ada 3 kandidat; Prabowo yang diusung Gerindra, Ganjar yang diusung PDIP dan Anies yang diusung oleh Nasdem, PKS dan Demokrat. Secara threshold 2 dari 3 kandidat ini sudah mendapat tiket; Anies dan Ganjar, sedang Prabowo untuk mendapatkan tiketnya harus segera mengumumkan Cawapres koalisinya.
Dengan melihat kalkulasi ini, maka Prabowo menjadi pihak yang akan menentukan arah permainan, mengingat di bursa cawapres persaingan sangat ketat dengan variasi calon yang diusung masing-masing. Golkar dan PKB masing-masing masih berjuang mengusung Ketua Umumnya, sedangkan PPP dan PAN berusaha mengusung tokoh-tokoh yang diharapkan mampu mendongkrak elektabilitas. Di banyak kesempatan sosok Sandiaga Uno dan Erick Thohir agaknya menjadi opsi masing-masing partai tersebut.
Maka, siapa yang dipilih Prabowo untuk memastikan dirinya mendapat tiket akan menentukan sisa permainan berikutnya. Sampai saat ini Gerindra sudah menyepakati koalisi dengan PKB, tetapi faktanya belum ada kemajuan pembicaraan terlebih dengan munculnya isu koalisi besar yang diharapkan mampu menyatukan Prabowo-Ganjar atau sebaliknya. Tapi agaknya dengan pengumuman 21 April lalu, Prabowo harus segera mengumumkan koalisinya.
Ada kemungkinan untuk memastikan tiket pencapresannya, Prabowo akan segera melanjutkan pembicaraan dengan PKB dan menjadi kandidat pertama yang akan mendeklarasikan capres-cawapres. Namun, opsi ini bisa sewaktu-waktu berubah bila kiranya ada satu partai yang dengan rela memberikan suaranya untuk mendukung prabowo tanpa mengusung capres tertentu, meski agak mustahil di waktu dekat ini.
Kontestasi Cawapres dan Arah Koalisi
Jika, beberapa hari ke depan, deklarasi Prabowo-Cak Imin dilakukan. Maka bursa cawapres sisanya hanya tersisa; PAN, PPP dan Golkar. Pilihan Prabowo-Cak Imin tentu dengan pertimbangan "Nasionalis-Agamis" dan dukungan elektabilitas.
PAN dan PPP dua partai papan tengah yang jelas punya tingkat pragmatisme tinggi untuk mendorong elektabilitas untuk mempertahankan basis elektroralnya agar survive di 2024 nanti. Pilihan keduanya sama, harus mengusung kandidat yang paling besar peluang menangnya, masalah seriusnya, di tengah hasil survei yang menunjukan situasi dinamis, maka akan sangat susah untuk menentukan pilihannya.
Mau tidak mau dua partai ini akan berusaha menarik simpati para kandidat untuk memberikannya kompensasi dan deal politik untuk berkoalisi. Bila komunikasi politik hari ini mengangkat nama Sandiaga Uno dan Erik Thohir dan keduanya saling berkelindan klaim, serta menyodorkan cawapres. Maka sangat mungkin ada nama lain yang bisa menyatukan keduanya.
Secara psikologis kedua partai ini akan lebih mudah bergabung dg PDIP daripada harus menjual calon ke Anies Baswedan, mengingat suaranya yang jauh lebih kecil dari Partai Demokrat dan PKS, sementara kedua partai pengusung saja rela memberikan cek kosong ke Anies. Sudah dapat dipastikan sosok alternatif yang dapat menyatukan keduanya adalah Prof. Mahfud MD. Pilihan ini akan menunjukan reputasi PDI-P yang berorientasi kapasitas ketimbang sekedar tunduk dengan desakan mitra koalisi. Tentunya, dengan Golden Ticket PDI-P nantinya pengumuman Cawapres tidak akan terburu-buru disampaikan.
The Golkar Way
Dengan kondisi yang demikian, lalu mau kemana Golkar? Golkar adalah partai yang cukup dinamis, di dalamnya ada faksi dan jejaring yang sewaktu-waktu bisa bersatu dan berpisah. Golkar juga memiliki pragmatisme sangat tinggi, siapapun pemerintahnya pasti ikut koalisi dan pasti Golkar sebagai partai besar akan diajak dan dapat tawaran kursi.
Komunikasi Ketum Golkar, Erlangga Hartanto ke Koalisi Perubahan, memberikan sinyal lampu kuning, belum hijau pada koalisi ini. Tentu masih banyak pertimbangan sampai hari H nanti, meski gestur Golkar jelas sebisa mungkin menghindari koalisi dengan PDIP untuk memastikan ia menjadi kekuatan dominan di Kabinet.
Secara psikologis, upaya Golkar ke koalisi perubahan akan mengubah peta kontestasi, bukan hanya dipastikan bebas menentukan cawapresnya, tetapi juga Golkar sudah pasti dapat kompensasi politik terbesar sebagai pemimpin baru koalisi. Golkar tidak punya hambatan apapun untuk berkomunikasi bahkan mengusung Anies Baswedan sebagai capres, sebaliknya dukungan Golkar akan membuatnya mendapatkan bargaining paling tinggi, seandainya nanti terjadi 3 situasi.
Pertama, Anies kalah di putaran pertama, maka Golkar akan dirayu dua kubu dengan deal politik besar, ada kemungkinan Golkar akan mendukung Prabowo ketimbang Ganjar, karena sudah dapat dipastikan bila Prabowo menang Golkar akan mendapat kue terbanyak setelah Gerindra dan menyingkirkan dominasi PDIP di kabinet, sebaliknya bila kalah, akan dengan mudah diajak koalisi lagi oleh Ganjar sebagai ganjel untuk stabilitas politik. Sedang 3 partai koalisi lainnya, baru akan cukup punya bargaining kalau melakukan keputusan secara kolektif dibanding sendiri-sendiri, dan kemungkinannya adalah mendukung Prabowo.
Kedua, bila Anies masuk putaran kedua namun kalah, Golkar melawan Ganjar ataupun Prabowo, Golkar akan ditawari hal yang sama oleh siapapun pemenangnya di akhir nanti. Meski dengan kekuatan Golkar di putaran kedua maka Golkar justru berpeluang jadi King Maker untuk menjadi magnet menarik koalisi yang kalah, namun Golkar juga sangat paham juga akan kemungkinan koalisi Anies dikroyok gabungan koalisi Ganjar-Prabowo.
Hanya saja upaya negosiasi akan terus berlangsung, jika Ganjar dan Anies maju putaran dua. PKB akan menyebrang ke siapapun yang suaranya lebih tinggi di putaran pertama, sedang untuk Gerindra butuh dealing denganPrabowoo yang akan cukup alot dengan kubu manapun dan dukungannya akan disampaikan di last minutes. Prabowo akan lebih menentukan sikap ideologis dan dealnya untuk mendukung siapapun tanpa pertimbangan elektoral, khas tipe pak prabowo yang berani menantang arus. Sedang, bila Prabowo dan Anies yang maju putaran kedua, maka PPP-PAN lah partai pertama yang akan menyebrang ke pasangan dengan suara terbanyak pertama, sedangkan PDIP akan menyatakan oposisi sejak dini.
Ketiga, bila akhirnya Anies menang hingga putaran kedua, maka sudah dipastikan Golkar akan menjadi kekuatan dominan di kabinet, Golkar akan merayu semua partai untuk menghindari adanya koalisi oposisi. Kemungkinan era SBY akan berulang, meninggalkan PDIP sebagai giant opposition sendirian.
Para Pendatang Baru
Yang perlu diperhitungkan nanti, kalau terjadi putaran kedua, maka kalkulasi koalisi tidak lagi menggunakan hitung-hitungan elektoral saat ini, tapi dengan basis hitungan hasil pemilu legislatif 2024. Ada kemungkinan peta berubah, di kubu koalisi Anies Baswedan misalnya, ada 2 partai baru yang membayang-bayangi anggota koalisi; PKN dan Gelora. Keduanya akan sangat pragmatis untuk melawan kubu status quo, atau sebaliknya berebut ceruk sama untuk membuktikan siapa yang lebih berhak nantinya saat bagi-bagi kursi. Dengan kalkulasi opsi pertama, maka kedua partai baru ini akan lebih memilih Prabowo ketimbang ke Anies Baswedan.
Gaya komunikasi PDIP yang dominatif tentu menyulitkan partai kecil, untuk masuk kecuali PSI yang sejak awal sudah memilih Ganjar sebagai capresnya, sedang PKN bisa juga berpotensi masuk, bila PDIP merasa butuh Anas untuk senjata koalisinya menggembosi basis suara demokrat. Partai lain yang juga berpeluang bertarung merebut basis elektoral adalah Partai Perindo, yang sangat mungkin menggerus suara Nasdem, dan komunikasi politik Perindo dengan Prabowo nampaknya intensif.
Sedang di kubu Anis Baswedan, 2 partai baru yang kemungkinan bergabung adalah Partai Buruh dan Partai Umat yang secara elektoral masih cukup diragukan, baru partai umat yang resmi mendukung koalisi Anies berpeluang menggerus suara PPP dan PAN di basis kanan, sedang partai buruh akan berusaha menggerus suara Gerindra bila masuk ke koalisi Anies. Semangat Partai Buruh anti rezim, lebih mudah untuk bergabung ke Anies, atau opsi lainnya abstein, meski secara elektoral untuk bisa tembus ke parlemen (4%) perlu kerja ekstra keras. Sedangkan, partai-partai lainnya, relatif sulit untuk memperebutkan ruang elektoral yang efektif.
Menanti Feeling Opung dan Perintah Presiden
Kembali ke Golkar, saat silaturahmi ke koalisi perubahan, dua tokoh senior hadir disana, Abu Rizal Bakrie dan Jusuf Kalla, keduanya tokoh Golkar yang tak bisa dianggap remeh. Bakrie menguasai media TV dan memiliki sumber daya yang cukup besar. Sedang Jusuf kalla memiliki jaringan taktis dan strategis dan sudah dikenal sebagai orang di balik layar Anies Baswedan sejak di DKI jakarta.
Kedua tokoh ini juga punya kemampuan lobby yang luar biasa. Meski di Golkar saat ini, dominasi Luhut Binsar Panjaitan juga tak bisa dianggap enteng, peran LBP sangat kuat dan menentukan, LBP orang yang lincah dan sangat pragmatis untuk berkomunikasi dengan siapapun dari 3 kandidat capres yang tersedia.
Di kabinet Jokowi jilid II nampaknya LBP juga satu-satunya menteri di kabinet yang punya pendirian dan independensi sangat tinggi; jika ke Ganjar ataupun Prabowo, sudah pasti ia diajak koalisi di akhir dan kepentingan-kepentingan dalam menjalankan agenda pembangunan dan investasi tak mungkin diganggu, maka ia butuh memastikan jika di kubu Anies pun akan memastikan negosiasi agar kepentingannya tak diganggu, utamanya soal investasi dan mega proyek industri dan infrastruktur. LBP, selama ini dikenal orang yang serba beres di tangannya, meski tegas dan anti untuk dikritik dan didebat.
Banyak irisan orang-orang dekat LBP dan Jusuf Kalla, yang sangat mungkin untuk turun berembug tentang visi bersama keduanya. LBP juga bisa menjadi jaminan dukungan militer di kubu Anies, karena selama ini koalisi sipil selalu butuh kekuatan konsolidator purnawirawan militer dan juga di internal militer aktif, perlu diingat menantunya, Let. Jend. Maruli Simanjuntak kini duduk di posisi panglima Kostrad dan sangat mungkin menjadi kandidat KASAD dan Panglima TNI.
Namun, seberapa mau para politisi sipil di kubu koalisi perubahan berbagi ruang? LBP juga sangat mungkin untuk All Out mendukung Ganjar Pranowo, dengan atau tanpa Golkar sekalipun. Toh, itu dibuktikan pada pilpres 2014 lalu bersama JK yang tak didukung oleh Golkar di bawah pimpinan Ical.
Jika LBP mendukung koalisi perubahan bersama Golkar maka dipastikan Golkar solid, namun tanpa dukungan LBP maka meski mendukung koalisi perubahan mesin partai taka akan optimal 100%. Kunci negosiasi LBP adalah bersediakan menempatkan Erlangga atau orang lain yang ditunjuknya sebagai cawapres?
Pilihan LBP akan seiring sejalan dengan politik Presiden Jokowi, dimana Setelah diumumkannya Ganjar dan akan disusul oleh deklarasi Prabowo, maka Presiden Jokowi telah berhasil memainkan 2 kontestan di tangannya.
Sebagai seorang politisi yang sangat jeli, presiden Jokowi akan tetap konsen di 2 koalisi ini berharap agar keduanya bisa masuk putaran dua. Meski demikian, LBP dan Presiden Jokowi tak boleh investasi di keranjang yang sama, maka pilihan untuk mendorong Erlangga berkoalisi dengan Anies akan menjamin bahwa di seluruh keranjang ada orang-orang yang dapat dipercaya untuk bernegosiasi mengamankan kepentingannya dalam melanjutkan estafet pembangunan dan investasi.
Dengan analisis yang agak nakal, ketika Anies menang sekalipun, Presiden Jokowi tetap mendapat ruang politik yang kuat, sangat mungkin sosoknya justru akan menjadi dinamisator politik di pemerintah dan oposisi, dan kedua anak dan menantunya akan punya peluang mentereng untuk maju sebagai gubernur di 2 provinsi.
Kemenangan Anies membuka peluang besar Gibran untuk menjadi presiden di 2029, yang pasti dijawab Gibran, "biar masyarakat yang menilai, kita mengalir saja". Ya, kalau mau skenario ini terjadi kubu Anies harus segera mencari jalan untuk berbincang lebih sering dengan lingkar terdekat presiden Jokowi tentunya, dan mungkin harus rela kalau di periode kedua akan melawan Gibran. Namun politik adalah soal momentum tak ada alur linear yang terlalu mudah ditebak.
Kelindan dan Manuver Kepentingan
Dalam politik tidak ada yang pasti, bahkan setelah sebuah kejadian terjadi pun orang akan punya jutaan interpetasi karena politik terus berjalan bukan sebatas saat memenangkan pilpres dan pileg sehingga ada jutaan deal dan agenda yang harus disimpan rapi sebagai alat negosiasi dan bargaining diantara para politisi itu sendiri.
Semuanya, akan ditentukan dari siapa yang Prabowo ajak berkoalisi? Bisa saja Prabowo tiba-tiba tinggalkan PKB ke Golkar, atau PAN? Ada sosok Erlangga dan Erick Thohir, meski sosok Prabowo menjadi jaminan bahwa Gerindra tidak akan asal belok seenaknya sendiri, sebaliknya akan berusaha membangun big deal dengan mitra potensialnya.
Banyak juga spekulasi yang melihat peluang Prabowo mendekat ke sosok Erick Thohir apabila mendapat restu PBNU untuk menjadi representasi NU, di sisi lain Erick akan membantu dukungan finansial untuk proses pemenangan ke depan, hanya saja tiketnya tidak mudah didapatkan, mengingat Erick lebih dekat dengan PAN yang berusaha mendekati PDIP, Namun bukan mustahil, di hari-hari terakhir Cak Imin tiba-tiba mendapat ilham untuk menyerahkan peluangnya ke Erick Thohir, dan mungkin PAN juga akan ikut saja ke koalisi Prabowo.
Selamat menikmati kontestasi 2024 dengan santai sambil ngopi-ngopi, yang jelas kita semua berharap siapapun pemenangnya nanti akan bisa membawa Indonesia lebih baik, dan semoga bisa melampaui prestasi-prestasi pemimpin sebelumnya dan tetap menjaga kondusifitas nasional.