Mayoritas manusia mengakui dan meyakini bahwa Tuhan itu Maha Adil. Jika diantara pembaca yang budiman ada yang tidak mengakui dan meyakini akan kemahaadilan Tuhan, maka sebaiknya berhenti dan tidak melanjutkan membaca artikel ini. Mengapa demikian? Sebab dengan meyakini premis bahwa Tuhan Maha Adil, maka keyakinan tersebut akan membawa konsekwensi kepada premis berikutnya.
Banyak masalah atau urusan yang belum selesai dan tidak sempat diselesaikan di dunia. Beberapa contoh diantaranya: ada bayi yang masih dalam kandungan ibunya lalu meninggal dunia, atau anak-anak kecil yang meninggal dunia karena dianiaya, atau berapa banyak pelaku kriminal seperti mencuri, membunuh, merampok, pemerkosaan, korupsi dan kejahatan lainnya yang lolos dari jeratan hukum dunia.
Bayi atau anak kecil yang meninggal dunia tersebut adalah makhluk Tuhan juga sama seperti kita, tentunya mereka akan menuntut keadilan untuk mendapatkan hak yang sama seperti kita, punya rumah, punya kendaraan, punya perhiasan, punya keluarga, punya keturunan dan lain sebagainya. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang dirugikan oleh pihak lain akibat tindakan kriminalnya, sudah barang tentu mereka juga akan menuntut haknya untuk mendapatkan keadilan.
Apakah dengan banyaknya kasus yang tidak selesai di dunia tersebut menunjukkan bahwa Tuhan tidak adil? Tentu saja tidak demikian. Karena memperoleh keadilan yang seadil-adilnya merupakan hak azali yang melekat pada diri setiap manusia.
Dengan banyaknya urusan yang tidak terselesaikan di dunia, maka timbullah premis berikutnya, yakni akan adanya alam akhirat atau kehidupan sesudah mati yang merupakan sebuah keniscayaan. Bukan sekadar untuk diyakini, bahkan wajib adanya alam akhirat tersebut untuk menunjukan keadilan Tuhan yang seadil-adilnya.
Sebagai ajang pemberian reward, ganjaran atau pahala bagi mereka yang taat dan pernah dirugikan oleh pihak lain sekaligus sebagai ajang pemberian punishmen, penghakiman dan penghukuman bagi mereka yang ingkar dan merugikan pihak lain yang lolos dari jeratan hukum dunia.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada kita dengan berbagai sabdanya bahwa setiap bayi yang dilahirkan ke dunia, terlahir dalam keadaan fitrah, siapapun dia, tanpa melihat suku bangsanya, tanpa melihat warna kulitnya ataupun bentuk matanya, semua terlahir dalam keadaan suci bersih laksana sehelai kertas putih bersih tanpa noda.
Kemudian kedua orang tua atau keluarga yang membesarkannya yang akan memberikan first education dan memengaruhinya, yang pada gilirannya akan menjadikan sang anak sebagai pemeluk agama atau keyakinannya sesuai dengan apa yang diajarkan atau sesuai dengan apa yang dianut oleh orangtuanya atau keluarga yang membesarkannya. Entah itu Islam, Yahudi, Hindu, Budha,Katolik,Protestan, Konghucu dan lain-lain, bahkan tidak beragama sekalipun atau penganut atheisme.
Senada dengan hal tersebut seorang ilmuwan John Locke dengan teori Tabula rasanya mengatakan bahwa jiwa seseorang bagaikan kertas putih. Kertas putih ini yang kemudian akan mendapatkan coretan-coretan atau tulisan dari luar. Ada nilai-nilai eksternal yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan jiwa seseorang tersebut, sesuai dengan keadaan dan lingkungan dimana ia tinggal dan dibesarkan.
Berbeda dengan pendapat John Locke, di dalam ajaran Islam, faktor eksternal bukanlah satu-satunya yang bisa memengaruhi perkembangan jiwa seseorang melainkan juga ada faktor lain yakni faktor internal. Sebagaimana dijelaskan Tuhan dalam firman-Nya QS Al-Araaf ayat 172 yang menerangkan bahwa sebelum jiwa yang suci bersih itu terlahir ke dunia, siapapun dia tanpa tekecuali, Tuhan pernah mengambil kesaksian dan bertanya, bukankah Aku ini Tuhanmu? dan dengan penuh kesadaran tanpa ada intervensi dari pihak manapun, Setiap jiwa menjawab ya, benar. aku bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhanku.
Kesadaran sebagai seorang hamba dalam sebuah penyaksian dan pengakuan terhadap Tuhan tersebut merupakan sifat azali yang dimiliki oleh setiap manusia yang kemudian kita sebut sebagai naluri bertuhan. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan lainnya, makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lainnya karena kepemilikan atas naluri bertuhan tersebut.
Dalam perjalanannya jiwa manusia yang bagaikan kertas putih bersih tersebut, akan terjadi proses saling memengaruhi, saling berinteraksi antara faktor internal dengan faktor eksternal. Terjadi dialektika yang kemudian akan menghasilkan sebuah konklusi dimana ketika manusia tiba pada titik "kedewasaan" jiwanya, maka ia akan memilih dan menentukan serta meyakini agama dan keyakinan yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya.
Sudah menjadi qodrat manusia hidup di dalam haribaan Tuhan yang Maha Kuasa. Bahkan Tuhan jauh lebih tahu tentang diri kita dibanding kita sendiri. Apa yang kita butuhkan dan apa yang kita sembunyikan di dalam hati kita sekalipun. Bibir boleh saja berdusta, akan tetapi siapa yang mampu untuk mendustai Tuhan? Bahkan kita tak mampu untuk mendustai diri kita sendiri.
Sebagai pencipta, Tuhan sangat memahami bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Adakalanya kertas putih yang kita tulis tercemari oleh kotoran dan noda, ada yang mudah dihapus dan dibersihkan ada pula yang sukar. Oleh karena itu, lagi-lagi atas kepemurahan Tuhan, kita diberi kesempatan untuk memperbaharui kertas putih tersebut, sekali dalam setahun. Yakni dengan diturunkannya bulan suci Ramadhan.
Di bulan Ramadhan kita diwajibkan untuk berpuasa, bukan semata-mata untuk kepentingan Tuhan, melainkan sebagai solusi bagi kita manusia untuk mengembalikan kertas yang terlanjur kotor dan ternoda, kembali menjadi putih bersih seperti sedia kala.
Hal tersebut ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan yang sungguh-sungguh dan mengharap ampunan dari Tuhan, maka ia akan dikeluarkan dan dihapuskan dari dosa-dosanya yang telah lalu laksana bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.
Apakah semua akan kembali suci? Tentu saja tidak, karena ada syarat utamanya yakni dijalankan dengan penuh keimanan dan bersungguh-sungguh memohon ampunan dari Tuhan, bukan sekadar menggugurkan kewajiban saja, barulah kita akan mendapatkan kado terindah dari Tuhan, Kartu lebaran berupa kertas putih yang suci bersih yang kita kenal dengan sebutan Idul Fitri yang mengandung makna kembali kepada kesucian.
Kemudian yang jadi pertanyaan berikutnya adalah tulisan apa yang akan kita ukir di atas kertas putih bersih tersebut? Akankah ditulisi dengan coretan-coretan tak bermakna, atau syair-syair bernilai tinggi yang menunjukkan kualitas dan "harga" diri kita dimata Tuhan sekaligus bermanfaat bagi kemaslahatan hidup orang banyak.
Nilai uang kertas berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, tergantung seberapa besar nominal yang tertera di atasnya, sama halnya dengan cheque dan bilyet giro, kertas tersebut bermanfaat manakala ada nominal angka yang tertulis di atasnya dan dibubuhi coretan tanda tangan dari pemiliknya.
Demikian juga halnya dengan ijazah yang kita pajang pada dinding ruang tamu. Mulai dari ijazah SD, SMP, SMA, S1, S2 sampai dengan S3. Ijazah hanyalah selembar kertas, akan tetapi tulisan yang tertera pada ijazah tersebut merupakan bukti bahwa kita pernah menempuh pembelajaran dan pendidikan selama kurun waktu tertentu dan berhasil melampaui ujian yang menjadi persyaratan kelulusan, sehingga selembar kertas tersebut berfungsi untuk menunjukkan nilai dan kualitas diri kita bahkan masih menjadi ukuran sallary, atau standar pemberian gaji atau upah dalam dunia kerja.
Pepatah China mengatakan bahwa menjadi apa diri kita sepuluh tahun yang akan datang tergantung pada buku apa yang kita baca hari ini. Buku merupakan kumpulan kertas-kertas yang berisi tulisan-tulisan bermakna dan penuh nilai, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman intelektual dan spiritual dari penulisnya.
Membaca buku mengandung makna kita melakukan transfer ilmu pengetahuan dari sang penulis buku tersebut kedalam diri kita. Sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan memengaruhi langkah dan pemikiran kita dalam menempuh karir atau profesi yang kita tekuni, dan pengaruh nilai-nilai tersebut akan terbukti dan terlihat sepuluh tahun yang akan datang.
Lalu kapan waktu terbaik bagi kita untuk memulainya?, Ada pepatah Inggris yang mengatakan Don't wait till tomorrow, what you can di today. Jangan menunggu sampai hari esok, apa yang bisa kita kerjakan hari ini. Waktu terbaik untuk mengukir tulisan bernilai pada kertas putih bersih yang kita miliki adalah hari ini, saat ini juga. Karena kita terlampau sering membuang waktu dan menyia-nyiakan kesempatan yang kita miliki yang pada akhirnya berujung dengan penyesalan.
Menata diri untuk menyongsong masa depan memang penting, akan tetapi bukan berarti abai terhadap masa lalu. Karena pada hakikatnya apa yang terjadi di masa depan memiliki pola yang sama dengan apa yang terjadi di masa lalu, yang membedakan hanyalah tempat dan pelakunya.
Belajar dari pengalaman orang-orang yang memiliki hobi filatelis, yaitu kegiatan mengoleksi perangko dan benda pos lainnya. Bagaimana mereka sangat menghargai dan mengapresiasi karya yang ditorehkan di atas perangko. Kertas kecil yang bukan saja berfungsi sebagai alat pembayaran jasa pengiriman, melainkan juga berfungsi sebagai sarana untuk berinteraksi, silaturahmi, promosi dan investasi.
Dari perangko kita banyak belajar bahwa semakin unik karya yang terukir dalam perangko tersebut dan semakin langka keberadaanya, maka akan semakin bernilai dan semakin mahal harganya, bahkan keberadaanya akan diincar dan diburu oleh para kolektor filatelis yang sudah pasti dari kalangan orang berada.
Sebut saja sebuah perangko kuno yang digunakan pertama kalinya di Indonesia tahun 1864 pada zaman Hindia Belanda, perangko bekas yang pernah digunakan berdasarkan bukti cap pos Ngawi tahun 1864. Kini kertas kecil usang tersebut dihargai dengan nilai fantastis yakni sebesar 20 milyar rupiah. Itupun sudah dimiliki oleh kelektor dari Singapura.
Bukan hanya itu, bahkan banyak seri perangko Indonesia lainnya yang sudah tidak berada di negeri ini, karena sudah diborong oleh para kolektor dari luar negeri. Begitulah, terkadang kita membuang kesempatan dan tidak peduli dengan sesuatu yang kita miliki, tapi setelah lepas dari tangan kita dan menjadi milik orang lain, atau minimal diakui oleh orang lain, barulah kita merasa terusik, kecewa dan marah sekaligus menyesalinya.
Sebagai penutup ada baiknya kita merenungkan kembali nasihat dari Imam Al Ghazali yang mengatakan jika kita bukan anak raja atau ulama besar, maka menulislah. Nasihat tersebut mengandung makna bahwa kebanyakan diantara kita adalah orang biasa, bukan anak dari ulama besar ataupun keturunan raja. Maka, jika ingin diri kita menjadi orang besar, tak ada jalan lain, kecuali kita harus menghasilkan suatu karya. Terutama arya yang membawa manfaat bagi kemaslahatan hidup orang banyak.
Kini kartu lebaran dari Tuhan berupa kertas putih bersih ini mau kita apakan? Akankah kita tulisi dengan suatu karya yang bernilai dan bermanfaat, atau sebaliknya akan kita biarkan usang dan lapuk dimakan usia, lalu diremas dan dilemparkan ke tempat sampah. Semua terserah kita.