Berulang kali saya memaksakan diam, bisu, dan lupa. Jemari ini tetap menari-nari mencari kalimat yang paling cocok untuk menjelaskan sejuta peristiwa dalam emban sosok progresif yang belakangan dinamai ‘Mahasiswa’.
Sebutan bagi kalangan muda yang beraktivitas di Perguruan Tinggi (Kampus) dan memiliki semangat tak diragukan lagi. Itulah sebab jemari ini kembali merangkai susunan bualan yang belakangan ini menggerogoti kepala, itulah beban.
Sebagai individu dari latar belakang petani, walau sama-sama kuliah, saya yakin kalian lebih paham apa yang dimaksud mahasiswa, juga perannya dalam sosial sebagai kontrol aktif dengan jiwa kritis yang luar biasa. Karena itu, saya tak perlu menjelaskan peran dan fungsi dari objek tersebut.
Saya hanya ingin menceritakan, sedikit meluruskan, bahwa mahasiswa seharusnya bukan hanya kuliah dengan persaingan mencapai predikat IPK tertinggi. Tugas mahasiswa sudah bukan rahasia lagi, kritikus.
Sedikit kisah teman, belakangan saya ketahui kalau dia adalah salah satu mahasiswa yang menerima tunjangan kuliah dari kampus. Saya tak usah menulis nama dan alamat lengkapnya, pastinya hal ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Akibatnya, memang selama ini dia (teman saya) selalu pasrah saat teman-teman yang lain mengajaknya protes atas kebijakan birokrasi kampus yang menyimpang.
Tentu dia bukan satu-satunya mahasiswa yang dijamin oleh pihak kampus. Mahasiswa bernasib sama lainnya pun memiliki pendapat yang mungkin saja sama, atau tak beda jauh. Yaitu, kampus adalah tempat belajar dan tak boleh diprotes.
Sedih bukan main bila menemukan mahasiswa semacam ini. Hanya karena persoalan tunjangan untuk dirinya, ia pun mendukung kebijakan yang merugikan pihak lainnya, termasuk teman sendiri.
Secara pribadi, saya tidak menolak pemberian beasiswa pada mereka yang memiliki semangat belajar. Namun, kurang mampu, itu wajib justru. Hanya saja jika di kemudian hari ideologi (kritisisme) terhambat olehnya, itu yang saya tentang.
Memang tak semua mahasiswa demikian, hanya mereka yang bermental pragmatis yang melakukannya. Merekalah yang saya anggap keliru, sebab fungsi dari mahasiswa sejatinya adalah menjadi kritikus, bukan tameng birokrasi kampus.
Mahasiswa macam ini juga merupakan pembaca yang baik, saya yakin itu. Mungkin mereka juga sering membaca sejarah, seperti peran mahasiswa di Orde Baru. Orde Baru yang saya sebut agar tak terlalu jauh mengingat-ingat. Reformasi adalah buah dan hasil perjuangan yang di dalamnya ada mahasiswa berperan aktif.
Tetapi membaca sejarah sama saja dengan membayangkan masa depan, semuanya tak akan berdampak tanpa tindakan. Mendiamkan masalah adalah munafik, bertindak justru diasingkan dan yang mengikut arus hanyalah ikan mati. Pilih mana, wahai mahasiswa?
Tulisan singkat ini sengaja saya luncurkan untuk dinikmati bagi mahasiswa, dicerna oleh birokrasi, didiamkan sebagai konsep para penjilat. Tetapi tentunya menjadi teriakan kaum milenial yang masih ingat jati dirinya.
Maafkan saya, wahai tokoh idaman, Soe Hok Gie. Saya pinjam kata-kata Anda: “Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”
Pilihan diksi dari kutipan singkat itu adalah bukti bahwa mahasiswa tak sesederhana yang ada di kepala kita selama ini. Peran dan amanah pendahulu telah menunjuk kita (mahasiswa) sebagai individu merdeka yang ‘melawan’ bukan menghamba pada intervensi ekonomi.
Mahasiswa kritis di-Drop Out (DO) atau di-skorsing adalah bukti lemahnya kekuatan kita selama ini. Bukan karena intervensi birokrasi yang sistematis, bukan karena sistem pendidikan saja yang bobrok, tetapi memang karena solidaritas dan kesadaran kita telah tercerai-berai bak air mata duka yang terhempas di pangkuan mantan.
Secara internal kelembagaan saya tuliskan, belum lagi kondisi sosial secara universal, tentu kalian semua paham itu. Bagaimana pelanggaran HAM, penggusuran, korupsi, kerusakan hutan, dan tak ada habis-habisnya bila mau dibicarakan semua. Kalian pasti sangat paham.
Kembali ke pembahasan awal, di mana kritisisme dibungkam beasiswa, IPK dan bayang-bayang pekerjaan di kian hari nanti. Bukan hanya membuat kita miris menyaksikannya, tapi berdampak pada harapan rakyat kecil yang hanya selalu menjadi angan-angan.
Kehilangan idealisme mahasiswa karena berbagai faktor inilah yang sebenarnya menjadi awal mula kehancuran bangsa, karena individualisme tercipta dan akumulasi nilai lebih dalam ekonomi menjadi impian mahasiswa semacam itu.
Teriakan lantang lenyap, analisis rasional hilang, perjuangan panjang tinggal kenangan. Tetap saja kita malu mengakui diri kita masing-masing, sebab citra dan ketenaran tetap dijaga, maka lupakan soal bangsa yang adil, wahai mahasiswa.
Jangan mengira harapan leluhur akan tercapai, jangan pernah membayangkan bangsa yang sejahtera bila kita masih mengekor pada tulunjuk birokrasi demi keamanan hari esok, percayalah. Kita dilahirkan untuk melawan kezaliman, bukan menghamba kekuasaan.
Sebelumnya sudah saya katakan, tulisan ini singkat. Pembahasan lain akan saya kemukakan di kesempatan yang akan datang.
Intinya, kita sama-sama mahasiswa, dan karenanya saya mengajak untuk sering-sering melihat masa lalu, bahwa senior-senior kita bukan pengecut. Kita pun dididik untuk memberontak pada sistem yang menindas.
Semoga kita semua sama, masuk kuliah bermula karena tertarik saat menyaksikan para pendahulu kita melakukan demonstrasi di jalanan. Mereka demo bukan karena mementingkan dirinya, melainkan untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Saya berharap dari kesaksian itulah kita sama-sama disebut mahasiswa hari ini. Semoga.