Liberalisasi yang menjadi prinsip dasar neoliberalisme tidak hanya berlaku dalam dunia ekonomi, tetapi juga merambah ke bidang pendidikan. Filsafat ekonomi liberalisme merupakan dasar dari ekonomi klasik yang dibangun Adam Smith lewat karyanya Wealth of Nation (1776).

Filsafat ekonomi liberalisme bertumpu pada tiga keyakinan: kebebasan individu, pemilik pribadi, dan inisiatif individu serta usaha swasta. Ketiga keyakinan ini memungkinkan untuk direalisasikan jika ada sistem persaingan atau kompetisi bebas dan kompetisi sempurna melalui pasar bebas.

Dalam konteks ini, peran pemerintah perlu dibatasi dalam mengatur ekonomi agar persaingan dapat terjamin, termasuk di dalamnya pengurangan sektor subsidi. Subsidi dianggap tidak sesuai dengan prinsip perdagangan bebas.

Liberalisme di bidang ekonomi merambah ke wilayah pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari terbitnya peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 77 tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. 

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 persen. Ini indikasi jelas bahwa telah terjadi komersialisasi pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai komoditas dagang atas nama liberalisasi. 

Pendidikan dengan dasar liberalisasi akan menjadikan pendidikan sebagai barang yang mahal. Pendidikan yang baik hanya akan dapat dinikmati oleh mereka yang mampu secara ekonomi. Sedangkan mereka yang lemah secara ekonomi akan makin sempit aksesnya terhadap pendidikan yang bermutu.

Menurut Kautsar, kapitalisme adalah paham yang menyatakan bahwa tidak ada pembatasan dari negara bagi warga negaranya guna memiliki properti pribadi sehingga dimungkinkan terjadinya akumulasi modal pada perorangan (bisa individu ataupun korporasi) sehingga diharapkan kesejahteraan orang tersebut dapat meningkat. 

Untuk mewujudkan adanya kapitalisme, maka diperlukan adanya liberalisme. Liberalisme adalah paham yang menyatakan bahwa negara tidak boleh ikut campur tangan dalam berbagai sendi kehidupan warga negaranya, sehingga negara hanya dibatasi kepada menjaga ketertiban umum dan penegakan hukum. Untuk urusan yang lain, diserahkan kepada masyarakat sendiri untuk mengaturnya. 

Secara terminologi, kapitalisme berarti suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya dengan bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme pendidikan terjadi apabila prinsip kapitalisme digunakan di dalam sektor pendidikan. Negara tidak membatasi kepemilikan perorangan di dalam sektor pendidikan. Artinya, satuan penyelenggara pendidikan dapat dikuasai oleh perorangan (sektor swasta atau aktor non-negara), di mana segala kebijakannya diatur oleh sektor swasta tersebut. 

Pengelola sektor pendidikan (pihak swasta) ini mulai bersaing antara satu dengan lainnya. Pihak pengelola pendidikan yang memenangkan persaingan akan mendapatkan pengguna jasa pendidikan lebih banyak.

Modal dari pihak pengelola sektor pendidikan pun akan masuk dan dapat diakumulasikan. Ketika mengikat, maka akan terjadi monopoli, sehingga penentuan harga (biaya pendidikan) tanpa ada penawaran dan permintaan terlebih dahulu dengan para pengguna jasa pendidikan.

Pengelola pendidikan pun menawarkan harga (biaya pendidikan) tanpa memikirkan kemampuan dari pihak pengguna jasa pendidikan. Jelas hal ini akan merugikan bagi pihak pengguna jasa pendidikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menawar harga (biaya pendidikan). 

Akhirnya, akan muncul kesenjangan-kesenjangan bahwa orang yang kayalah yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut. Sedangkan bagi pihak pengguna jasa pendidikan yang kurang mampu, akan kesulitan dalam mendapatkan pendidikan tersebut.

Pendidikan di negeri ini makin hari makin bertambah rumit permasalahannya. Permasalahan yang satu belum selesai, timbul lagi permasalahan yang lain. 

Seperti permasalahan dalam mutu atau kualitas pendidikan, output atau keluaran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan hingga permasalahan pemerataan pendidikan sampai sekarang pun belum dapat terselesaikan. Apalagi sekarang timbul permasalahan baru, yaitu kapitalisme pendidikan. 

Begitu sangat kompleks permasalahan pendidikan yang kita alami, dan permasalahan pendidikan ini tidak akan pernah selesai karena seiring berkembangnya zaman dalam era globalisasi dan perkembangan-perkembangan yang lain seperti IPTEK dan kebudayaan, mengakibatkan permasalahan dalam dunia pendidikan juga makin berkembang. 

Tidak bisa dilupakan pula jika ternyata masih banyak masyarakat yang tingkat kesejahteraannya masih di bawah standar kelayakan hidup. Jangankan untuk memikirkan biaya pendidikan sekolah, untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah kesusahan. 

Apalagi dengan biaya-biaya saat ini yang makin tidak terjangkau lagi. Akibatnya, banyak anak yang putus sekolah dan tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan kesulitan dalam membayar biaya sekolah.

Padahal, menurut Undang-Undang Dasar 1945, pasal 31 ayat 2, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Undang-undang tersebut juga dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 20 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) pasal 46 yang mengatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

Hal ini berarti bahwa sumber pendanaan sekolah dan biaya pendidikan bukan hanya dibebankan kepada orang tua saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah juga. Pada Undang-Undang Nomor 20/ 2003, pasal 34 ayat 2 tentang Sisdiknas pun menggariskan bahwa pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. 

Namun, sepertinya pendidikan di Indonesia telah terjebak dalam suatu sistem kapitalisme pendidikan, yaitu pendidikan dijadikan sebagai bisnis bagi para pemegang modal. Mereka membangun dan memberikan jasa pendidikan dengan kekuatan modal mereka untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Sehingga muncul sistem permonopolian dalam pendidikan saat ini yang mengakibatkan pendidikan hanya dapat diakses oleh orang kaya sedangkan bagi orang yang kurang mampu menjadi berat dan susah.

Sekarang yang menjadi pokok bahasan utama dalam pendidikan saat ini adalah biaya pendidikan yang makin mahal dan sulit untuk dijangkau oleh semua kalangan dan dalam hal ini pendidikan dikaitkan sebagai barang dagangan oleh para pemegang modal atau swatanisasi atau dalam hal ini bisa disebut dengan kapitalisme pendidikan.

Dampak Kapitalisasi Pendidikan di Indonesia

Ada beberapa dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya kapitalisme pendidikan ini. Kebanyakan dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif. 

Ada beberapa dampak dari kapitalisasi pendidikan, yaitu sebagai berikut:

1. Peran negara dalam pendidikan makin menghilang. Hilangnya peran negara dalam pendidikan akan berdampak makin banyaknya kemiskinan yang ada di negeri ini. Hal ini terjadi dikarenakan banyak anak yang gagal dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya.

2. Masyarakat makin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Hal ini terjadi karena pendidikan yang berkualitas hanya bisa dinikmati oleh sekelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah kurang bisa mengakses pendidikan tersebut.

3. Indonesia juga akan tetap berada dalam kapitalisme global. Indonesia akan tetap berada dalam sistem kapitalis global pada berbagai sektor kehidupan, terutama dalam sistem perekonomiannya. Hal ini sudah terbukti bahwa kapitalisme tidak hanya berlaku pada sistem perekonomian, namun dalam sistem pendidikan pun saat ini sudah terpengaruh oleh kapitalisme.

4. Dalam sistem kapitalis, negara hanya sebagi regulator/ fasilitator. Yang berperan aktif dalam sistem pendidikan adalah pihak swasta, sehingga muncul otonomi-otonomi kampus atau sekolah yang intinya makin membuat negara tidak ikut campur tangan terhadap sekolah pendidikan. 

Hal tersebut berakibat bahwa sekolah harus kreatif dalam mencari dana bila ingin tetap bertahan. Mulai dari membuka bisnis hingga menaikkan biaya pendidikan, sehingga pendidikan memang benar-benar dikomersialkan dan sulit dijangkau masyarakat yang kurang mampu.

5. Pendidikan hanya bisa diakses golongan menengah ke atas. Biaya pendidikan yang makin mahal mengakibatkan pendidikan hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang mampu sedangkan bagi warga yang kurang mampu merasa kesulitan dalam memperoleh pendidikan.

6. Kapitalisme pendidikan bertentangan dengan tradisi manusia. Sistem kapitalis ini bertentangan dalam hal visi pendidikan yang seharusnya strategi untuk eksistensi manusia juga untuk menciptakan keadilan sosial, wahana untuk memanusiakan manusia serta wahana untuk pembebasan manusia, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditas.

Tidak ada dampak positif yang ditimbulkan akibat adanya sistem kapitalisme pendidikan ini. Semua dampak tersebut bermula karena adanya privatisasi, yaitu penyerahan tanggung jawab pendidikan ke pihak swasta. Yang menyebabkan lembaga pendidikan dikelola oleh pihak swasta dan tentunya pemerintah sudah tidak ikut campur tangan dalam pengelolaan sistem pendidikan. 

Di sini peran pemerintah hanya sebagai regulator/ fasilitator dan kebijakan sepenuhnya diserahkan ke pihak swasta. 

Dari dampak-dampak yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa dampak akibat penerapan kapitalisme dalam sistem pendidikan di Indonesia menyebabkan pemerataan pendidikan kurang merata, karena masih banyak warga yang belum bisa mengakses dan mendapatkan pendidikan. Hal tersebut dikarenakan makin mahalnya biaya pendidikan yang tidak dapat dijangkau oleh sebagian kalangan masyarakat.

Kapitalisme adalah ancaman terhadap dunia pendidika. Oleh karena itu, prinsip kapitalisme yang hanya mencari keuntungan pribadi seharusnya tidak di praktikkan dalam dunia pendidikan. Begitu pula pendidikan tidak layak diperlakukan seperti komoditas untuk perdagangan atau pasar bebas. 

Sebab jika demikian, pendidikan akan diatur sesuai dengan hukum pasar. Meningkatnya permintaan pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. Tentu hal ini perlu diwaspadai jangan sampai jargon “orang miskin dilarang sekolah” akhirnya terbukti dan terjadi.

Tradisi liberal-kapitalistik telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi neoliberalisme dan kapitalisme. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan untuk melawan hegemoni kapitalisme global. Yaitu dengan lebih dahulu mengubah worldview.

Artinya, mengubah paradigma kehidupan sosial itu sendiri. Dunia pendidikan sejatinya tidak pantas mengikuti model kapitalisme yang memuja keuntungan dan nilai-nilai komersial sebagai satu-satunya tujuan. Diperlukan adanya pembelajaran sosial yang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan totalitas untuk bisa lepas dari perangkap kapitalis.

Dampak pendidikan liberalisme dan kapitalistik lebih banyak negatifnya. Oleh karena itu, dunia pendidikan ke depan harus menjadi ruang, di dalamnya setiap orang mulai belajar akan makna, hakikat hidup, substansi kehidupan serta kehidupan sederhana.