Kita berada di zaman yang serba digandakan, apapun dapat dengan mudah dilipat gandakan. Kepalsuan bisa dilipat gandakan oleh media, kebencian dapat dilipat gandakan oleh agama, ketidakwarasan manusia dapat berpuluh kali digandakan karena berebut kuasa.

Penyebab semacam itulah yang kemudian membuat kita rentan diterpa satu patologis dunia baru ; kehilangan nalar. Barangkali, saja kebodohan itulah juga yang coba ditunggangi oleh Taat pribadi pimpinan padepokan kanjeng dimas ketika memperdaya para pengikutnya.

Kasus Kanjeng Dimas semenjak beberapa pekan terakhir menyeruak di pemberitaan tanah air. Ia diringkus beserta kursi singgasananya, karena diduga terlibat dalam kasus pembunuhan dua santri dan penipuan dengan modus menggandakan uang. konon santri yang dibunuh merupakan saksi kunci atas kasus penipuan dimas kanjeng.

Atas penodaan terhadap akal sehat publik ini, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Sodik Mudjahid berkomentar, katanya setidaknya terdapat tiga hal yang musti dievaluasi  oleh pemerintah atas kejadian ini. Revitalisasi program keagamaan, penguatan sektor pendidikan dan pengentasan tingkat kemiskinan.

Meskipun jika  benar, saya memandang sinis argumen perhitungan itu. Pertama, taraf spritualitas manusia tak dapat dijadikan rujukan bahwa dirinya bisa keluar dari godaan uang. Kedua, pendidikan yang tinggi tak dapat membatalkan hasrat seseorang untuk menjadi orang kaya dengan cara apapun.

Ketiga, mengingat data korban yang berdatangan dari kalangan akademisi, pengusaha, dan cendekiawan, variabel status ekonomi memiliki korelasi yang rendah pada kasus ini.

Lebih tepat sebenarnya yang berlangsung adalah fenomena kesakitan mental masyarakat. Dan kesakitan ini yang telah ditularkan secara konstan secara person to person transmission dalam masyarakat.

Apa sebenarnya yang menyebabkan ketertipuan kolektif ini terjadi tak banyak tahu. Tetapi di satu sisi, kita bisa menyatakan bahwa rasio masyarakat telah digerus oleh pusaran kenikmatan - kenikmatan semu yang diedarkan oleh kanjeng dimas. Oleh sebab itu, sebagaimana  suatu penyakit, bukanlah tindakan evaluatif melainkan langkah preventif yang seharusnya menjadi concern utama kita.

Memulainya darimana?

1. Early diagnosis

Melakukan diagnosa lebih awal terhadap masyarakat dapat membantu kita lebih cepat untuk menemukan solusi yang tepat. Tindakan ini tak lain sebagai upaya untuk memperlambat proses pengedaran penyakit ini agar tak mencapai tingkat keparahan yang sulit diatasi.

Asalkan pemerintah punya hidung yang lebih tajam untuk mencium, sebetulnya tidak perlu separah seperti apa yang tampak terlihat pada kasus dimas kanjeng ini. Hasil dari akibat kurangnya sensitifitas pemerintah, wabah kanjeng dimas alhasil   menjadi endemik di beberapa daerah.

2. Sains Promotion

Sains adalah bekal utama untuk merawat rasionalitas masyarakat. Usaha mengedarkan sains harus terus digalang agar pikiran sehat publik tetap terjaga. Jumlah korban yang kepincut dengan praktik mistis kanjeng dimas ini menunjukan titik rawan kondisi sains ditengah masyarakat.

Oleh karena itu, melakukan penerimaan diri terhadap sains sebagai prosedur berpikir adalah keterbukaan diri kita pada yang bergerak maju. Mengabaikan sains hanya berdampak akumulatif pada dua hal, dibodohi dan dikebuli.

3. Spesific Treatment

Orang-orang yang mengidap penyakit kemalasan berpikir perlu diperlakuan khusus. Hanya dengan cara itulah ada kontrol terhadap jumlah populasi manusia-manusia bebal yang lahir.

Kita kaya sekali dalam sumber daya manusia, dan juga pikiran kita tentang kemajuan. tapi ini justru dibendung oleh kekuatan-kekuatan kelompok manusia penggandrung mitos-takhayul yang pada saat bersamaan menghalangi nafas perubahan dari negara ini.

Kalau kita bisa memberi penyadaran kepada makhluk seperti itu atinya kita secara langsung menghindari kebiasaan kita untuk tertipu diwaktu mendatang, ketika itu arahnya tentu akan berubah. Polemik masyarakat sakit seperti ini tidak mengeras dan berbekas.

**

Upaya upaya preventif yang demikian tentu juga harus di support dengan design gerakan sosial yang transformatif. Gerakan revolusi kesehatan di Kuba bisa menjadi perumpamaan yang berkelas.

Pada kasus masyarakat  yang sakit,  negara berfungsi (dalam arti sebenarnya) untuk memastikan  situasi sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat agar terjauh dari ancaman wabah. Pemecahan  masalah yang menarik soal masyarakat sakit ; yakni mengaktifkan gairah kolektifitas masyarakat untuk hidup bebas dari ketertinggalan.

Hipocrates di abad 460-467 M juga melakukan reformasi yang serupa di bidang kesehatan . Tangan ajaibnya berhasil meruntuhkan irasionalitas animistik, di dalam masyarakat. Pandangan naturalistik yang menjadi cikal bakal empiristik awal dijadikan sebagai metode penyembuhan suatu penyakit.

Kasus kanjeng dimas seharusnya menjadi refleksi kritis atas kondisi derajat kesehatan masyarakat kita. Bagaiaman taraf pengetahuan masyarakat  atas dogmatisme ilmiah di ruang ruang sosial. Tentang perilaku sehat, artinya kita tidak mengabaikan peran-peran akal budi memandang wujud kebenaran sesuatu.

Tindakan Marwah daud yang meyakini kanjeng dimas sebagai jalan lain menuju kebenaran. Tidak lebih dari sebuah sikap yang menunjukan ketidakberdayaan manusia di bawah modernitas. Lebih dari itu, hanyalah kesakitan mental yang perlu segera ditangani.

Di indonesia, penipuan dengan dengan modus menggandakan uang memang telah menggerogoti akal publik kita. Pada kondisi itu, nalar masyarakat kita semacam mengalami kemacetan.

 Tetapi tidak dimana-tidakselalu-tidak selamanya libido kita untuk mengais uang yang harus dimenangkan. Dan yang kalah adalah kemanusiaan kita.

Penyakit kita disitu, kegandrungan kita pada yang serba cepat dan dliipat-gandakan. Uang yang dilipatgandakan, pahala yang dilipatgandakan, imbalan yang dilipatgandakan.

 Agar itu tidak terulang, masyarakat tentu harus tetap sehat,mental dan pikiran agar dapat melampaui semua itu. Sehat yang dimaksud bukan ketika kita bebas  hanya dari penyakit dan kecacatan namun ia berjalan komprehensif meliputi kesejahteraan fisik, mental, sosial. Dengan begitu, barulah kita memiliki harapan yang baru; yakni optimisme kita terhadap kemajuan.