Para pelaku ekonomi makro saat ini dihadapkan dengan persoalan yang rumit. Situasi ekonomi yang lamban memaksa beberapa perusahaan lokal dan multinasional mengalami penurunan aktivitas produksi. Di antaranya, terpaksa melakukan upaya pengurangan karyawan atau PHK.
Hal ini dilakukan karena dipicu situasi pasar yang instabil dan berisiko tinggi jika tidak melakukan kebijakan pemangkasan karyawan. Pasalnya, pandemi Covid-19 ini belum bisa dipastikan durasi berakhirnya.
Kanalisasi ekonomi perlu dilakukan secara simultan dengan memberikan stimulus kebijakan. PHK sudah terjadi di banyak daerah hal ini menandai kondisi ekonomi yang merosot, maka perlu diimbangi kebijakan akselerasi ekonomi dengan menggenjot sentra Industri UMKM baik bersifat konvensional maupun berbasis teknologi tepat guna.
Meski hal ini dibayangi kecemasan soal daya beli pasar, namun bisa disiasati dengan menitikberatkan pada kebutuhan saat ini. Urgensinya adalah rescheduling untuk mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat.
Situasi yang urgen ini dibutuhkan pola ekonomi terapan yang efektif dan mendatangkan total effect. Kondisi yang amat mendesak harus memacu inovasi kebijakan untuk melakukan penanganan yang riil.
Jika tidak demikian, akan memperparah kondisi kapital negara, makin terbebaninya APBN dan resesi ekonomi. Apalagi selama ini APBN diperketat untuk membayar cicilan utang dengan pengalokasian yang cukup besar.
Pada tataran kebijakan moneter, sangat perlu dilakukan penurunan suku bunga, baik bersifat kredit perbankan maupun perusahaan. Data terakhir (20/2) menunjukkan kebijakan BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (BPS) ke level 4,75%. Ini artinya pelonggaran kebijakan moneter mendorong terjadinya geliat pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Di samping itu, BI diharapkan tetap memperhatikan situasi dan monitoring terhadap laju economic growth. Penurunan suku bunga acuan ini sifatnya stimulus dan jika terjadi secara menerus akan berakibat kurang baik di banyak sektor.
Di sisi lain, kasus pandemi Covid-19 menyebabkan peralihan arus modal keluar tentu besar. Hal ini dilakukan para investor dengan menarik aset yang berisiko dan mengonversikannya pada pembelian obligasi yang tentu menyulitkan pembayaran biaya utang negara.
Sedangkan sektor kebijakan fiskal, inisiasi program pada pengeluaran belanja sosial harus tetap mengacu pada aspek risk management untuk menghindari blunder atau policy inequality. Apalagi aktivitas perdagangan global yang lambat ini jika tidak dibarengi kebijakan yang tepat sasaran akan terjadi defisit fiskal, terutama di basis penerimaan pajak.
Tantangan ekonomi ini bukanlah perkara mudah, namun di sisi lain bisa menjadi titik balik kekuatan ekonomi.
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksi lonjakan angka pengangguran terbuka di kuartal kedua 2020 bisa mencapai 4,25 juta orang. Angka tersebut masih dalam skenario rendah, jika menilik pada skenario sedang 6,68 juta orang dan pada skenario berat sebanyak 9,35 juta orang.
Di sisi lain, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan pada tahun 2020 capaian angka yang berpotensi terkena PHK sebanyak 2,5 milliar orang. Angka ini menyasar pekerja di sektor perhotelan, real estate, konstruksi dan sebagainya.
Ledakan angka tersebut belum final, bisa saja bertambah mengingat di setiap negara kondisi pandemi Covid-19 beragam. Berkaca dari itu, upaya antisipasi terhadap bayang-bayang lonjakan angka kemiskinan harus ditekan secara simultan.
Angka pengangguran yang tinggi dapat memacu tingkat kriminalitas. Pengendalian sosial ini perlu juga diperhatikan karena berpotensi terhadap kerawanan ekonomi. Alarm ini tentu akan menguras tenaga di tengah badai krisis.
Program Pra-Kerja ternyata menuai masalah, karena tidak ada spesifikasi yang pada akhirnya campur-aduk. Data korban PHK jumlahnya ribuan, belum lagi data angkatan kerja. Akhirnya yang terjadi yakni tumpah ruah di satu titik.
Jaring pengaman sosial ini sedari awal memang belum berpola, bahkan semenjak dipromosikan dalam rancangan program kerja hanya saja muncul belakangan sebagai respons spontanitas kebijakan. Sehingga ruang-ruang ini kesannya baru dilakukan di saat wait and see’. Padahal situasi pandemi Covid-19, ini harus ditekan durasinya supaya tidak berujung pada kolaps massal.
Para pelaku ekonomi melihat situasi ini sebagai bom atom. Hal ini menandai perilaku skeptis terhadap keberpihakan ekonomi. Bahkan, di antaranya kesulitan untuk bertahan jika masa penanganan pandemi Covid-19 lebih dari bulan Juni. Hal ini terjadi karena investor bisa kehabisan modal untuk melakukan ekspansi ekonomi sehingga berpotensi pada kemacetan investasi.
Langkah urgen yang mendesak saat ini, yakni bagaimana menunda masa krisis supaya tidak terjadi lebih cepat. Relaksasi harga harus terjadi pada kebutuhan pokok, memastikan kuota logistik aman di situasi yang genting seperti ini. Transaksi impor diperketat, jika terpaksa terjadi minus pada kapasitas logistik perlu inisiasi kebutuhan substitusi.
Di sisi lain, kondisi pertanian dan peternakan masih terpantau cukup baik dan mampu diandalkan bahkan terjadi transaksi yang menggairahkan pasar. Proteksi dini pada sektor pangan menjadi hal penting disaat masyarakat kehilangan sumber pendapatan utama. Kanalisasi ekonomi ini bagian dari menunda krisis.