Penuturan Prof. Mudji Rahardjo (Guru Besar UIN Malang) kemaren di ILC (19/03/2019) benar-benar menjadi pengalaman yang memilukan. Di belakang gagalnya dilantik sebagai rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bukan sesuatu yang sulit untuk ditafsirkan bahwa ada semacam kongkalikong yang amoral dari pihak Menag.

Di senat yang demokratis, biasanya tidak hanya dilalui sehari atau dua hari, bahkan bisa berbulan-bulan untuk memilih rektor secara demokratis. Berdasarkan rapat senat yang demokratis, Prof. Mudji Rahardjo adalah orang yang terpilih yang berhak menjadi rektor. Dia sudah mendapatkan kabar dari Menag bahwa dia akan dilantik hari ini.

Bahkan dia diminta untuk tidak pulang, biar keluarganya saja yang ke kementerian agama, kata pihak Menag. Nah, dari sini saya melihat sudah ada kejelasan bahwa saat itu Prof. Mudji Rahardjo adalah yang akan dilantik sebagai rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Tapi kenyataannya, tidak, bahkan beliau tidak lagi mendapatkan kabar di hari yang sudah ditentukan itu untuk dilantik. Kira-kira apa yang melatarbelakangi semua ini? Tentu kita perlu pengkajian lebih dalam.

Nah, beberapa kasus yang menyeret Romy, lobi-lobi jual beli kekuasaan di Kemenag itu, kini membuat orang-orang kampus seperti UIN buka-bukaan dengan kejanggalan-kejanggalan yang mereka alami atas kebijakan Menag untuk mengangkat seorang rektor, seperti yang dialami Prof. Mudji Rahardjo ini. Tentu ini sesuatu yang bagus dan keberanian yang harus diapresiasi. 

Jual beli jabatan di kampus kini mulai menguak. Kampus yang terindikasi seperti itu adalah kampus yang belakangan ini menjadi kebanggaan orang karena berlabel agama.

Jadi semakin terang bahwa instansi-instansi, organisasi-organisasi, dan partai-partai politik yang berlabel agama sama sekali bukan satu-satunya teladan bagi umat untuk diikuti. Kenapa bisa demikian? Tentu anda sudah melihat sendiri bagaimana label agama hanya dibuat kedok untuk menutupi aib padahal perilaku-perilaku seperti itu sangat jauh dari nilai-nilai agama. 

Tentu, hal ini tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Kita harus melihat perihal kecurangan atau korupsi sesorang tidak lantas melahirkan pemahaman bahwa seluruh mekanisme internal lembaga atau institusi tersebut kita anggap koruptif juga, belum tentu!

Jika hal demikian benar adanya (sangat besar kemungkinannya), kampus layaknya seperti kandang ayam yang dihuni para predator dan oligarki jabatan, disusupi makelar propaganda dan peselancar negatif demi kepentingan gerombolan. Sama seperti politisi busuk yang gaya hidupnya hanya ingin cari makan, ngisi perut, ngisi dompet. Lantas mau di kemanakan muruah kampus yang katanya berlabel agama jika dihuni oleh orang-orang seperti itu?

Kampus sebagai miniatur kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara tentunya tidak terlepas dari peran orang-orang yang ada di dalamnya untuk mendidik dan mencerdaskan, membangun karakter kejujuran, sehingga kelak menghasilkan generasi muda yang mumpuni, kompeten, dan kreatif yang mampu memberikan manfaat bagi kepentingan kedaerahan, keumatan, dan kebangsaan.

Bagaimana mungkin bisa seperti itu jika para pengendali kampus itu sendiri sibuk mengejar profit property, kampus hanya dijadikan lahan basah untuk memperkaya diri dan mengekploitasi kantong-kantong para pemodal kampus dan pihak-pihak neolib?

Praktik jual beli jabatan di kampus sejatinya sudah menghilangkan spirit kemajuan, spirit yang menitikberatkan pada nilai-nilai kemajuan, pengembangan, dan perubahan. Semua yang dilakukan dan beberapa kebijakan yang dikeluarkan tidak lebih hanya sekadar tanggung jawab formalitas, bukan tanggung jawab moralitas.

Para begundal demokrasi kampus sudah mulai memainkan perannya di tempat yang suci. Nafsu jabatan menjadi pemicu hilangnya muruah pendidikan di kampus.

Kita juga kerap mendapati gerombolan mabuk jabatan di kampus yang hendak berkuasa dengan menghalalkan segala cara, hasrat mengeksploitasi sesama manusia, segala kejahatan super canggih dan takut lapar 14 turunan, semua berangkat dari tak tahu malu tak tahu diri, tak tahu diuntung apalagi merugi.

Apa yang akan dihasilkan dari pendidikan kita jika di dalam kampus banyak dihuni orang-orang seperti itu? Ki Hajar Dewantara merumuskan tujuan Pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia”. Jika dalam proses seleksi saja sudah menggunakan cara-cara kotor. Bagaimana mungkin hal seperti dianggap memanusiakan manusia, yang ada justru mengorbankan sisi nilai-nilai kemanusian.

Sistem Pendidikan yang berkedok kapitalisme sudah menjadi masalah kultural di Indonesia, walaupun terdengar utopis tetapi kita harus mampu mengkritik pendidikan-pendidikan kapitalisme yang terjadi sekarang ini melalui kontra narasi-narasi dari pendidikan kapitalis yang kita bangun. 

Ingat! Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, dan Gie adalah salah satu tokoh yang memikirkan masa depan bangsa bermula dari kampus. Jadi sedikit banyak kita sudah tahu bahwa kebobrokan para pejabat publik yang belakangan banyak terseret kasus narapidana dan menjadi maling-maling uang rakyat tidak menutup kemungkinan ada yang salah dengan proses transformasi dan pencernaan keilmuannya semenjak ada di kampus.