Bagi saya, pemilu adalah bencana besar kemanusiaan. Tinjauan ini berasal dari sisi perilaku para tim sukses yang kerap mempraktikkan hal-hal yang tidak etis. Semisal, mengancam para pemilih agar berpihak kepadanya.

Dan yang paling pokok ialah merasa bahwa calon yang diusungnya adalah manusia paling baik. Saya pikir, di sinilah nilai-nilai kemanusiaan itu akan hancur--saat setiap diri atau golongannya merasa paling baik dan benar.

Kita memang tidak dapat menghindari rotasi perpolitikan yang semakin tidak jelas arahnya karena satu-satunya cara untuk memulai kebijakan negara kita ini adalah dengan berpolitik. Tapi kita bisa memperbaiki etika-etika dalam berpolitik ini, terutama di lapangan pemilihan umum dari tingkat desa hingga negara.

Kita bisa menjaga bahasa kampanye kita yang seolah-olah lebih kuasa dari Tuhan, menjaga pola tingkah kita yang seolah-olah paling baik dan benar dan menjaga tali-tali persaudaraan walau beda pilihan. Inilah yang saya pikir nyaris terlupakan detik ini--bermusuh karena beda pilihan calon.

Andai pun seseorang sedang mendukung salah satu calon, maka tidak perlu dirinya memamerkan dukungannya dengan bahasa-bahasa yang tidak etis. Semisal, memastikan akan datangnya kebaikan bila calon yang diusungnya dipilih dan terpilih.

Kepastian macam apa yang dibawa dalam kampanye politik ini? Apakah ada manusia yang dapat memastikan datangnya perbaikan dan perubahan secara fundamental pada sebuah bangsa? Saya pikir tidak ada.

Bahasa-bahasa kampanye politik ini--memastikan datangnya perubahan ke jalan yang lebih baik--sudah sering melebihi kuasa Tuhan. Para pemilih dipaksa oleh para tim sukses untuk percaya pada bahasa-bahasa para calon yang seolah-olah paling baik dan benar.

Ya, sudah biasa para calon dan tim sukses berkata akan memperbaiki keadaan dan seterusnya. Sayang sekali, itu sudah basi. Manusia tetap tidak bisa memastikan perubahan apa-apa.

Kita tahu, bahasa apa pun yang dipakai oleh seorang calon pemimpin, mereka masih manusia biasa, bukan Tuhan, yang tidak dapat memastikan segala kebaikan begitu saja. Mereka masih manusia biasa yang tak dapat melipat segala ketidakmungkinan menjadi tiba-tiba mungkin.

Kampanye pemilu dari siapa pun patut kita ragukan bahkan wajib hukumnya sebab telah terlalu lama kita disuapi janji-janji yang tiada pernah pasti. Meragukan janji-janji di kampanye ini adalah langkah paling pasti untuk memprotes manusia-manusia yang seolah-olah bisa mengubah dunia begitu saja.

Selain itu, orang-orang juga banyak dipaksa percaya pada bangunan citra. Ah, kita tahu, citra itu sebatas penampakan palsu yang tujuannya tidak lebih dari sekadar merayu.

Rayuan-rayuan tentulah manis. Dan tak dapat dipungkiri pula, biasanya, terdapat janji-janji palsu yang terlanjur manis. Apa yang menarik dari kepalsuan janji manis?

Kadang pula para tim sukses mati-matian melegalkan segala cara; politik uang dan kampanye hitam sebagai contohnya, untuk menggapai titik kemenangan.

Jika politik uang dan kampanye hitam tidak bisa dihindari atau meniscaya begitu saja, apakah masih akan utuh nilai-nilai kemanusiaan kita? Apakah menjadi salah jika saya berkata untuk yang kedua lagi sebagaimana ungkapan saya yang paling awal dari tulisan ini bahwa pemilu adalah bencana besar kemanusiaan?

Setelahnya, kita bisa merenung kembali, kebaikan dan perubahan macam apa yang akan dibawa oleh seorang pemimpin yang dalam proses pemenangannya memakai bahasa dan praktik yang kurang etis, politik uang dan kampanye hitam? Pertanyaan ini patut dipertahankan hingga kita benar-benar dapat mempraktikkan politik etis di lapangan-lapangan pemilu.

Pernah suatu ketika seorang teman menghubungi dan meminta saya untuk menjadi tim sukses seorang figur daerah. Saya tidak menolaknya, tapi saya mengajukan banyak pertanyaan. Dan saat pertanyaan itu tidak terjawab dengan baik, maka sudah pasti, saya tidak akan mau menjadi tim suksesnya.

Ya, saya menolak tawaran itu dengan cara memulai diskursif. Lagi pula, saya memang tidak kenal dekat dengan si calon. Hanya tahu sekilas.

Beberapa pertanyaan yang saya ajukan pada teman saya adalah sebagai berikut:

Pertama, apakah kamu kenal dekat dengan si calon? Ya, kita tahu, para tim sukses itu kadang tidak kenal dekat, hanya tahu sekilas, kenal luar-luar saja pada si calon--bahkan parahnya, tidak kenal sama sekali.

Mereka sok-sok-an menjadi tim sukses bukan karena tahu betul identitas dan track-record si calon, tapi karena sudah menerima aliran dana jangka pendek dari tim sukses para calon. Ya, tim sukses para calon biasanya membangun mata rantai. Dari tim sukses ke tim sukses lainnya.

Kedua, jika saya memilih calon yang kamu usung, dan nanti terpilih, apakah saya bisa mengingatkan dia secara langsung? Sebut saja calonmu sudah menjadi bupati, jika nanti dia lalai, apakah saya bisa datang langsung lalu menegurnya dan dia mau mendengarkan suara saya dan banyak orang yang mendukungnya?

Ketiga, berikan saya dasar-dasar ilmiah dari segala tinjauan ilmu pengetahuan atau minimal dari tinjauan filsafat mengenai perubahan yang akan pasti dibawa oleh calonmu.

Adakah perubahan fundamental pada struktur masyarakat yang kemudian dapat diubah seketika oleh calonmu? Jika tidak, mengapa calonmu begitu percaya diri akan mampu membawa perubahan dan seolah-olah seketika itu pula?

Ya, kita tahu pula, orang-orang cenderung mendukung calon pemimpin bukan karena tahu betul karakternya, tapi karena kesukaan yang sekilas saja.

Saya pikir, kesukaan yang sekilas ini tidaklah filosofis sama sekali. Sebab itu, bisakah seorang calon pemimpin yang katanya akan memberikan perubahan dikaji secara filosofis?

Teman saya tidak bisa menjawab apa-apa. Saya tahu, kajian-kajian yang bersifat filosofis terlalu sulit diajarkan pada mereka-mereka yang memandang calon dari sekadar paras dan prestasi, luarnya saja.

Mereka belum paham tentang analisis psikologi Sigmund Freud tentang bercampurbaurnya nafsu dan nurani dalam diri setiap manusia. Mereka hanya tahu cara dukung-mendukung, tidak tahu cara menjaga dukungannya, apalagi cara mempertanggungjawabakkannya.

Dunia perpolitikan kita memang cenderung diwarnai oleh orang-orang bodoh yang tidak pernah mampu berdiskusi dan mempertanggungjawabkan kebijakannya dengan teramat panjang.

Kita bisa saksikan kesibukan-kesibukan para pejabat hari ini. Kita juga bisa melihat dengan jelas bagaimana praktik-praktik korup dijadikan etika utama dalam pemerintahan kita. Belum selesai kasus korupsi satunya, muncul kasus korupsi ainnya. Terus begitu. Inilah bencana yang kedua.

Apa yang harus kita lakukan?

Perpolitikan di negara kita itu sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa tinggal diam menikmati keniscayaan yang semakin bobrok ini.

Langkah paling sederhana yang mesti kita lakukan adalah meninjau kembali setiap pilihan yang hendak kita cetuskan. Jangan menjadi tim sukses seorang calon jika tidak pernah mengenal si calon dengan dekat karena tim sukses akan juga dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Selain itu, mari kita biasakan memulai diskusi-diskusi panjang yang bertujuan untuk melihat kembali sebuah pilihan, putusan, dan dukungan. Pertaruhannya terlalu minimalis, tapi dampaknya luar biasa. Mari bersama-sama mengkaji ulang segala gerakan politik kita.