Akhir-akhir ini banyak informasi berisi tentang profil dua calon presiden, Jokowi dan Prabowo, di media sosial. Isinya sangat subjektif dan cenderung mengkritisi sisi kepribadian dua capres tersebut.
Jokowi yang maju kembali untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia serta Prabowo yang pada tahun 2014 kalah dengan Jokowi akan bertarung kembali di tahun ini. Pertarungan ini makin sengit dengan saling tebar pesona dan juga tebar isu-isu yang tidak layak untuk konsumsi publik. Masing masing kubu hampir selalu mengeluarkan sisi buruk pribadi pihak lawan. Tiap hari kita disuguhi dengan informasi isinya menjelekkan orang lain. Miris.
Di tahun 2019, kedua capres makin getol untuk menarik dukungan dari berbagai golongan. Dengan berbagai cara, kedua capres itu, melalui tim sukses masing masing, telah membuat informasi yang sebegitu rupa untuk menarik simpati masyarakat.
Nah, inilah sisi menariknya, yaitu bagaimana cara-cara dari kedua belah pihak, baik calon penantang Jokowi untuk menjadi Presiden Republik Indonesia maupun dari Jokowi sendiri. Bagaimana kedua belah pihak menampilkan dirinya ke publik karena keduanya akan menjadi pejabat publik.
Kita bisa mengamati saling serang keduanya, baik yang berada di wilayah publik, misal kinerja dan capaian kinerja maupun sisi sisi negatif dari pribadi masing masing capres. Mulai dari yang santun hingga “kasar”, Timses mulai mengikat masyarakat dengan kata-kata yang lebih sering adalah menyerang satu sama lain; kalau tidak bisa dikatakan menjelek-jelekan satu sama lain.
Kita yang mayoritas beragama Islam ini menjadi suka menggunjing. Dan hal itu jelas-jelas dilarang dalam agama Islam. Memalukan.
Dengan banyaknya kecurigaan akan adanya kecurangan dari petahana, Tim Prabowo mulai membikin suasana politik nasional kembali memanas. Baru-baru ini isu adanya surat suara sebanyak tujuh kontainer yang telah dicoblos yang dilontarkan salah satu pendukung pasangan capres membuat kubu petahana harus melaporkan isu ini ke ranah hukum karena dianggapnya sudah keterlaluan.
Meski telah ada wacana untuk berpolitik santun dan damai, namun kedua capres ini kelihatannya tak menyadari bahwa di antara pendukungnya ada yang lebay dan terlalu genit dengan asumsi-asumsi pribadi, entah dengan alasan apa. Ini sangat disesalkan.
Tak bisa dimungkiri bahwa Islam masih menjadi sasaran empuk untuk mendulang suara dari kedua capres ini. Di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa calonnya didukung ulama dan mendapat restu. Di pihak lainnya pun tak kalah, unjuk gigi dengan merangkul ulama untuk menjadi wakilnya.
Melihat bahwa Indonesia mayoritas warga negaranya adalah pemeluk Islam, kedua capres menjadi terlalu genit agar mendapat persepsi bahwa mereka sangat akrab dengan Islam.
Terlepas dari menghalalkan segala cara dalam politik, tentunya kita berharap agar kedua capres bisa memberikan pembelajaran politik yang santun, terutama adalah timses-timsesnya. Ini bisa dilakukan dengan mengolah isu-isu pemberdayaan pemerintahan yang baik.
Apakah begitu sulit mengolah cita-cita bangsa untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur menjadi jurus kampanye? Adu ide adalah keharusan daripada sekadar saling menjatuhkan dan menjelek-jelekkan kepribadian masing-masing. Untuk mengetahui mana yang lebih sering, pembaca bisa menjadi penilai sendiri dengan begitu banyak hoaks berserakan di medsos masing masing.
Jokowi akan maju sebagai calon dengan dukungan kuat dari partai pemenang pemilu dan beberapa partai partisan lainnya. Khususnya dari partai partisan inilah kebanyakan sering muncul statement yang memanaskan suasana. Mungkin mereka sedang cari muka untuk terlihat lebih eksis sebagai pengusungnya.
Tentunya kita harus sadar dan mempunyai kedewasaan untuk menyikapi cara mereka mengambil simpati di wilayah publik. Dengan mengkritisi maupun menyajikan bukti-bukti yang itu memang menjadi domain publik. Misalnya, bagaimana seseorang itu berorganisasi, komitmennya dalam pekerjaan, serta kiprah apa yang pernah ia lakukan dalam menyelesaikan persoalan di di negeri ini.
Namun, yang terjadi di kebanyakan pertarungan politik dalam merebut kekuasaan untuk menduduki sebuah jabatan publik yang nampak adalah saling serang sisi “negatif” pribadi seseorang. Kondisi ini bila kita tidak berhati-hati akan membodohi publik sebagai konstituen pemilih karena mereka tidak disodori apa-apa yang berada di wilayah yang bersinggungan langsung dengan kepentingannya sebagai warga negara
Mereka hanya tahu seseorang itu jelek, ini dan itu, tanpa pernah tahu kiprah dan kinerjanya. Saling serang yang cenderung SARA kadang membuat kita jengah sebagai masyarakat yang majemuk yang berbineka tunggal ika. Biar bagaimanapun, negara kita selalu mengedepankan kebinekaan dalam kesatuan.
Tentunya kita malu bila akhirnya hanya menjadi pencela dan pencela. Kita lupa bahwa mengomongkan kejelekan orang itu bagai makan bangkai saudaranya. Tapi karena nafsu kekuasaan, itu semua sanggup kita lakukan. Dan menjadi terbiasa.
Pancasila hampir kita lepaskan ajarannya. Itu bisa kita lihat dengan semakin seringnya kerusuhan maupun perdebatan yang banyak mengungkit isu soal suku, agama, ras, dan antargolongan ini.
Marilah berkompetisi yang sehat dalam segi apa pun tanpa harus mengkritisi tentang hal-hal pribadi seseorang karena itu juga melanggar hukum dan hak asasi manusia. Dan tentunya, sebagai umat yang beragama, kita juga tahu bahwa pada dasarnya setiap manusia dilahirkan sama. Bagaimana?