Namaku Renjani. Aku akan kisahkan cerita cintaku yang pendek. Pendek sekali. Maka dari itu tulisan ini juga tak akan panjang-panjang. Harus sesuai dengan kisah yang diceritakan: pendek sekali. 

Jika kau sedang membaca kisah ini seorang diri saja, anggap saja kita berdua sedang duduk di sebuah kafe, di satu meja bundar yang tak seberapa tinggi, berhadapan, dan diselingi dengan menyeruput minuman kita masing-masing. Kau mendengarkan dan aku ketus bercerita. 

Dan jika kau sedang membaca kisah ini beramai-ramai, anggap saja aku sedang ada di sana bersama teman-temanmu, duduk bersama, melingkar, kaki bersila,  semua fokus mendengarkanku bercerita.

Setiap orang yang mengisahkan kisah cintanya pasti ada motif dan motivasi yang membuat orang tersebut mengisahkannya. Mungkin kisah cintanya indah dan patut diabadikan. Mungkin juga kisah cintanya kelam dan patut dibagi sebagai pelajaran dan bukti bahwa tidak semua kekelaman harus berakhir kelam tanpa transformasi. 

Lalu kalian bertanya, “Bagaiaman dengan kisahmu?” “Apakah kau yang indah dan patut diabadikan? “Atau malah kau yang kelam?” Sudah kalian diam saja, perhatikan baik-baik tiap kata yang akan kususun. Simpulkan saja di akhir kisah. Setuju?

Aku mengenalnya dua tahun lalu. Saat aku dan teman-teman lain berkumpul membicarakan project jurusan kami. Dua tahun? Pendek? Ya benar, pendek. Aku merasa hubunganku dengannya pendek. Aku tak merasa memilikinya selama dua tahun tersebut.  

Karena sesuatu hal yang kalian sendiri akan mengetahui dan menyimpulkannya di akhir cerita ini. Saat itu aku dan anak-anak lain melingkar di suatu tempat membicarakan project. Tiap orang yang mengambil kesempatan berbicara saat itu, semua mata sudah pasti memperhatikannya.

Seorang laki, tak seberapa putih bahkan dapat dibilang kulitnya seperti terpanggang oleh sinar matahari dan rambutnya lurus berjatuhan seperti mangkok sedang berbicara. Bicaranya tak selancar Presiden Mahasiswa pada umumnya. 

Suku kata yang dilontarkan minim sekali. Suaranya juga terbatah-batah. Seperti kesusahan mengutarakan apa yang ada di kepalanya untuk keluar melalui mulut. Aku memperhatikannya, ia berbeda dari laki-laki lain yang ada di sana.

Rupanya aku dan laki-laki tersebut satu divisi – divisi promoting melalui media sosial. Laki-laki itu yang memimpin divisi kami. Leadershipnya tak jelek-jelek amat. Ia mengayomi seperti seorang ayah yang baru saja menggendong buah hati pertamanya. Aku tak memanggilnya dengan panggilan namanya. Aku menghormatinya sebagai kakak tingkatku, maka dengan itu aku biasa memanggilnya, “Mas.”

Kami semakin dekat karena sering berdiskusi bersama. Mendisukusikan perkembangan job desk dan kemajuan project. Di antara lima perempuan yang ada di divisi ini, aku dan Mas yang paling dekat. Terkadang, saat membicarakan sesuatu di grup bersama teman-teman lainnya, Mas tidak berhenti di situ saja. Ia sering melanjutkan pembicaraan itu bersamaku. 

Mas menghubungiku melalui chat personal, melanjutkan pembahasan yang tadi ada di grup, bertanya-tanya tentang aku dan kehidupanku dan kami tenggelam dalam keasyikan. Pembahasan kami juga kadang merembet sampai ke mana-mana. Mendiskusikan film, buku bacaan, sampai-sampai curhat permasalahan hidup masing-masing.

Suatu hari, ia mengajakku pergi berdua bersama. Itulah kali pertamanya aku berboncengan dengannya. Tubuh kami sama-sama tinggi, menjulang. Kami tidak terihat seperti ABG yang saling jatuh hati. Kami terlihat dewasa jika bersama. Iya sih, kebantu dengan tinggi badan kita yang lumayan ini. 

Kalau Mas daftar menjadi pilot, sudah pasti tinggi badannya tidak diragukan. Aku pun begitu, tapi aku tak mendaftar pilot, aku yang akan menjadi pramugarinya. Nama pesawat kami adalah Berbunga-Bunga Air dengan rute penerbangan ke mana saja asal landing kembali pada hati kami masing-masing.

Makin lama kami makin dekat. Hampir tiap minggu kami menyisihkan waktu untuk bertemu. Kadang sekali atau dua kali. Pokoknya kami makin dekat. Kalau Mas sedang sakit di kamar kosnya, aku sering membawakannya sebekal makanan dan beberapa obat agar ia cepat sembuh. 

Kalau Mas baru kembali dari kampung halamannya, ia juga selalu membawakan aku atau ibuku oleh-oleh. Puding buatannya, ikan tangkapannya, apa saja yang ia berikan padaku sangat berarti.

Mas semakin yakin untuk bersamaku. Aku juga ingin sebenarnya kalau ia tembak untuk jadi pacarnya. Tapi Mas bilang, kalau ia ingin berkomitmen denganku, tidak ingin sekadar basa-basi seperti menembak pada umumnya. Komitmen untuk bersama selalu, membahagiakan, tak menyakiti, apalagi bercabang pada perempuan lain. 

Mas berkomitmen tidak akan melakukan itu. Hubungan kita berjalan seolah-olah pacaran tapi tanpa peresmian. Aku sih tak masalah, karna Mas benar-benar menampakkan kesungguhannya.

Semua temanku dan temannya Mas sudah tahu kalau kami menjalin hubungan dekat. Kami sudah terkenal di jurusan kami. Pasangan lintas angkatan. Pasangan adik-kakak tingkat. 

Mas sering berbincang dengan teman-temanku, yang laki maupun perempuan. Memang pada dasarnya, Mas ini mudah bergaul. Tapi kalau aku payah. Aku tak seberapa dekat dengan teman-teman Mas. Apalagi dengan teman-temannya yang perempuan.

Aku sih tidak cemburu Mas dekat dengan temannya perempuan, aku tak pernah marah-marah jika Mas dekat dengan temannya. Aku tak pernah sumpah serapah, menggunjing, dan sebagainya. Aku tak membatasi Mas dekat dengan siapa saja. Mas pun begitu kepadaku. 

Mas sih tidak terlalu ambil pusing orangnya. Ia biasa-biasa saja. Tak cemburuan pula. Marah pun ia tak bisa. Marah yang sampai berteriak-teriak gitu tidak. Mungkin ia hanya diam jika marah. Persis sekali denganku. Memang kita ini pasangan yang cocok.

Setengah tahun hubungan kami berjalan. Mas yang biasa-biasa saja, tak meriah jika mengekspresikan rasa cintanya, semakin aneh. Aku takutnya ia terbawa oleh kepribadiannya yang biasa-biasa saja itu. Sifatnya yang tidak cemburuan, membuatku khawatir akan kesungguhan cintanya. 

Dahulu, dalam sehari kita selalu videocall untuk menanyakan bagaimana dan apa saja yang terjadi pada hari ini. Sekarang, boro-boro videocall, mengirimiku pesan saja sudah berkurang intensitasnya.

Mas menunjukkan perubahan. Tampak sekali. Ia tak seperti biasanya. Perhatiannya padaku lenyap. Kesibukannya kepada selain aku bertambah banyak. Dulu ia selalu menyempatkan bertemu dalam satu minggu, minimal dalam sebulan lah kami selalu bertemu. “Mas, jangan begitulah, kau berubah sekali ini.” Gumamku dalam hati. Aku curiga kalau dia dekat dengan perempuan lain.

Aku dan Mas dari dulu menukar kata sandi media sosial kami masing-masing. Jadi aku bisa mengetahui dia berhubungan dengan siapa saja. Tidak. Aku tidak seposesif itu. Hal yang wajar dalam hubungan. Saat aku mencari tahu di media sosialnya, dekat dengan perempuan pun ia tidak. Tidak ada minatnya untuk berhubungan dengan perempuan lain. Tapi mengapa ia berubah?

Akhirnya, aku dan Mas sepakat bertemu, kami membicarakan hubungan ini. Lebih tepatnya, membicarakan dirinya sih. Mengapa ia tampak tidak seperti biasanya. Saat bertemu, Mas asyik-asyik saja. Seperti dulu. Cuma bicaranya sedikit berkurang. 

Tapi, ketika sampai rumah masing-masing, Mas lagi-lagi menunjukkan perubahannya. Aku tahu. Tahu sekali, kalau ini bukan Mas yang dulu. Berulang-ulang seperti itu. Berubah – bertemu – baik-baik saja – pulang – berubah lagi – bertemu – baik-baik saja – pulang.

Begitu terus alurnya. Karena perubahannya yang tidak konsisten, aku tidak berani mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan ini. Aku masih sayang dengan Mas. Aku melakukan yang terbaik. 

Sepuluh bulan kami berjalan menjalin hubungan seperti ini. Pernah hampir satu bulan ia tak mengabariku. Aku hanya sabar dan sabar. Aku selalu mengungkapkan kekesalanku dalam bentuk cairan hangat yang keluar dari mataku dan menjadi sungai kesedihan di pipi ini.

Kata-katanya selalu itu-itu saja, “Yang penting, Mas kan tidak selingkuh,” ditambah lagi seperti ini, “Komitmen Mas dari dulu masih tetap.” Kalau masih tetap, mengapa seperti ini? Kalau masih tetap ya seharusnya kau itu Mas, masih berhubungan denganku seperti dulu. Setiap saat mengirimiku pesan, tiap malam videocall, tiap minggu kita bertemu, nonton, makan, dan sebagainyaaaa. Tapi sekarang apa? Kau berubah. Kau tidak sayang aku lagi.

Sepanjang sepuluh bulan ini aku sedih sekali. Aku bosan dengan air mata yang selalu menemaniku tiap malam. Sedu sedanku yang melonglong tiap malam, menemani cicak-cicak di atap kamarku. Aku tak percaya lagi dengan komitmen. Bodohnya aku, percaya dengan komitmen manusia. Komitmen itu hal yang sangat baik, tapi aku lupa komitmen itu diucapkan oleh mulutnya manusia. Makhluk yang paling dinamis. Berubah-ubah.

Begitulah kisahku yang amat pendek. Kisah Renjani, si putri air mata dan kesedihan. Kalau kau sedang membaca ini seorang diri saja dan berkata dalam hati, “Kan, Masmu tidak selingkuh?” dan kalau kalian sedang membaca ini beramai-ramai, lalu di antara satu temanmu juga ada yang berkata, “Kekasihmu itu, Masmu itu, ia tidak selingkuh. Santai saja.”

Aku beri tahu kamu, dan juga untuk Masku. Ada yang sama-sama menyakitkan bahkan bisa lebih menyakitkan dari sebuah perselingkuhan, yaitu orang yang kita kasihi masih ada di kehidupan kita, tapi ia tak masuk kedalamnya dan kita tidak merasa memilikinya. Dan itu berjalan terus, sampai sekarang, di ujung kemantapanku untuk berpisah. Ya, Mas. Berpisah.