Berawal dari kelakar di suatu malam yang telah larut, ketika sekian lama tubuh tertahan dalam dimensi terbatas akibat virus Covid-19 melanda kian hebat, saya memulai menawarkan sesuatu hal yang terlintas di kepala.
"Hai kawan, Ada baiknya besok kita berlibur ke pulau," kataku saat momotong perbincangan kawan-kawan yang tengah asyik membahas seorang selebgram cantik.
Sebetulnya, banyak destinasi yang bisa kami kunjungi tetapi pandemi corona masih menjadi momok menakutkan bagi semua orang sehingga kami pun enggan tuk pergi lebih jauh.
Maka kami pun menyimpulkan untuk mengunjungi salah pulau di daerah kami, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Memulai Langkah
Hari itu langit hanya mengisyaratkan tentang hujan yang kan turun lebih awal namun tekad kami telah membulat. Bukankah hujan akan mereda, rindu akan menjelma pelukan dan kaki tak hentinya ingin selalu melangkah menuju temu.
Jatuh pada hari Kamis, 16 Juni 2020, Saya yang masih berada di rumah kontrakan kala itu telah mempersiapkan barang yang akan terbawa, seperti alat-alat pelengkapan mandi, airphone, cemilan, rokok, pakaian renang dan kebutuhan lainnya yang di anggap perlu.
Sebelum berangkat, saya memulai mengatur nafas di teras rumah sembari memenangkan fikiran dan mengucap doa-doa pilihan.
Setelahnya, barulah pintu di kunci rapat dan memastikan kompor gas di dapur telah padam. Perlahan, saya memulai langkah pertama menuju pelabuhan larea-rea menggunakan sepeda motor bersama kawan Sam Anugrah, yang sedari tadi menunggu di luar rumah.
Tidak butuh waktu lama, hanya Sekitar 7 menit menyalip beberapa kendaraan di jalan, saya pun sampai di tempat bersandarnya kapal. Di sana sudah ada Burhan, Iccang, Wahyu, Takwa, yang ternyata tiba lebih dahulu.
Selepas kumandang adzan zuhur berlalu, barulah kapal yang kami tumpangi benar-benar bergerak membelah lautan menuju tempat tujuan. Di atas kapal, angin mulai menerpa, di ikuti ombak kecil kian genit menggoyang tubuh seluruh penumpang.
Satu jam mengarungi lautan, kami pun tiba di Pulau Kambuno (Salah satu Pulau di Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai).
Sehabis melakukan pembayaran sewa kepada nahkoda, kami bersama penumpang lainnya beriringan turun dari kapal.
Mata saya berlahan menyapu bentangan cakrawala nan indah. Ingatan tiba-tiba kembali mengulas kenangan silam. Tampak tidak banyak perubahan setelah kedatangan saya 4 tahun lalu.
Langkah demi langkah menghitung bentangan dermaga kayu yang tetap bertahan dari hempasan gelombang, langkah kami pun berhias canda menuju ke kediaman Sulkarnain, yang hanya berjarak ratusan meter dari dermaga.
Tak lupa kami melempar senyum pada warga setempat yang tengah membereskan rumput laut di teras rumah-rumah mereka yang bekerja secara kolektif.
Dari raut wajah kawan-kawan telah menggurat letih, mungkin saja akibat pengaruh kapal yang tak hentinya berdansa di laut lepas. Ataukah rasa lapar mendera mereka? Entahlah, bisa jadi di antara kami ada yang belum sempat makan sebelum berangkat meninggalkan rumah, tak sempat mencium tangan ibunya tuk meminta pamit agar doa-doanya turut menyertainya.
Bukanlah senyuman Sulkarnain, yang pertama kali menyambut di sana, melainkan sapaan bocah-bocah yang tengah berlarian, sepertinya mereka ingin mengajak berkenalan.
Masih terekam dalam ingatan tentang letak rumah yang akan kami singgahi. Walau kata bocah itu, Sulkarnain, masih berada di tepian dermaga sementara memancing ikan.
Sesampainya kami di rumah Sulkarnain, kami di sambut hangat dengan beragam aneka cemilan di lengkapi seduhan kopi di atas meja oleh kakak perempuannya.
Berselang 1 jam kemudian, barulah Sulkarnain muncul di balik pintu belakang sembari mencetak senyuman di wajahnya, mungkin ada rasa bahagia atas hadiran kami ataukah berasal dari ikan segar yang berhasil di tangkapannya itu.
"Wah, ikan segar, goreng cepat itu, saya sudah lapar sekali!" Kata Taqwa sembari mengamati ikan berukuran sandal jepit yang sementara di jinjing oleh Sulkarnain.
"Ini jenis ikan apa Sul?" Jelasku yang juga di balut rasa penasaran.
Setelah mendengarkan penjelasan singkat dari Sulkarnain, Saya, langsung menyiapkan wajan yang di isi minyak untuk segera mencelupkan ikan sampai benar-benar matang agar bisa secepatnya di lahap.
Di temani nasi hangat dan ikan itulah, kami menyantap bersama-sama. Sungguh sebuah kebersamaan yang layak tuk di kenang suatu saat nanti.
Tertumpah Di Lautan
Hari semakin meredup sementara cuaca terlanjur enggan menelanjangi matahari. Rasanya petualangan kami teramat sia- sia jika hanya menjemput gelap hanya di dalam rumah. Oh tidak!
Akhirnya kami bersepakat untuk bernkujung ke kantor desa setempat yang di bangun di tengah-tengah lautan. Sepintas, kantor itu seperti benda tak berarti sedang mengambang ketika di lihat dari kejauhan.
"Ayo berangkat sebelum hari menjadi gelap!" kata salah satu dari kami, Burhan. Saya bersama kawan-kawan lain langsung menyepakati usulan itu.
Berjalanlah kami menuju dermaga, tempat perahu kecil yang akan kami gunakan untuk menuju kantor desa setempat.
Dengan perahu kecil itu, saya, Burhan, Sulkarnain, Sam, Iccang, Taqwa, Wahyu, menaikinya walau selayaknya hanya mampu membawa maksimal 4 orang.
Saya cukup menikmati tetapi rasa khawatir tak henti-hentinya keluar dari Mulut Sam, lantaran takut hal buruk terjadi.
Benar saja, kapal yang sedari tadi berayun-ayun, secepat kedipan mata langsung menumpahkan kami semua.
"Blurrrrr.... huampppp... huappp." (Suara kami saat perahu sudah terbalik)
Burhan, yang pernah memenangkan juara renang semasa Sekolah dahulu, terlihat kembali menampilkan keahliannya setelah bertahun-tahun tidak lagi mengasah kemampuan. Walau sedang memakai celana denim, ia tetap pandai mengambang di atas air.
Sementara Taqwa hanya mengkhawatirkan rokoknya basah tanpa peduli jika ada dari kami yang sama sekali tidak tahu cara berenang, yaitu Sam.
Nyaris tidak ada barang bawaan kami bisa di selamatkan dari air, semuanya basah tak tersisa. Begitupun mata ini ikut pedih saat tersentuh air laut. Saat itu juga, kami memutuskan untuk kembali memutar arah pulang walau tidak sampai di tujuan awal. Beruntung, kami semua selamat dari kejadian buruk itu.