Sudah ada yang nonton film Korsel I Can Speak? Film drama asal negeri gingseng yang diilhami dari kisah nyata tersebut dibintangi oleh aktor kenamaan berwajah ganteng, Lee Je Hoon, dan artis senior, Na Moon Hee.
Berbeda dengan film-film Korea yang selalu berbicara masalah asrama, asmara maksud saya, film I Can Speak ini berbicara masalah pelayan publik atau PNS dan seorang perempuan tua mantan budak seks.
Pada menit-menit pertama, film ini tidak mengupas tentang inti dari konflik, hanya menceritakan tentang seorang perempuan tua yang selalu membawa laporan pengaduan ke PNS setiap hari. Hingga perempuan tua tersebut ingin belajar bahasa Inggris pada pelayan publik yang dibintangi oleh Lee Je Hoon.
Alasan nenek tua belajar bahasa Inggris adalah ingin mengungkapkan kebenaran dan keadilan di pengadilan internasional terkait masa lalunya yang kelam sebagai budak seks oleh tentara Jepang. Ternyata kisah itu benar adanya.
Saya pun menelusuri sejarah kelam budak seks masa kolonial Jepang lewat artikel, berita, dan jurnal. Ternyata tak hanya Korea saja, tapi juga di negara-negara lain seperti Filipina, China Taiwan, Malaysia sampai Indonesia. Budak seks menjadi sebuah hal yang dilegalkan oleh pemerintah Jepang pada masa Perang Dunia Kedua.
Istilah comfort women menjadi sebuah sejarah kelam bagi negara jajahan Jepang. Kisah memilukan itu membuat korban harus menanggung derita seumur hidup.
Menurut film I Can Speak, mereka yang menjadi korban perbudakan harus menerima takdir diperkosa setiap hari dan digilir. Lantas dikucilkan dan menanggung malu seumur hidup.
Kalau di Indonesia mungkin kita lebih familiar dengan istilah Jugun Ianfu. Itu sudah sering kita dengar dan bolak-balik masuk dalam ujian sejarah.
Tentara Jepang merekrut perempuan muda dari umur 15 sampai 22 untuk bekerja di desa-desa. Kalau mereka menolak, tentara Jepang bakal menghancurkan desa tersebut. Mereka dipisahkan dari orangtua mereka.
Ada pula korban dari kalangan ibu-ibu yang tidak memiliki anak lalu dipaksa menjadi budak seks.
Mulanya tentara Jepang mengimingi pekerjaan dengan gaji yang lumayan sebagai tenaga medis, perawat, pekerja pabrik, dan juru masak. Namun itu semua hanya imingan palsu.
Mereka yang tidak mempunyai uang dan pekerjaan karena kondisi perang pun akhirnya tergiur dengan imingan tadi. Alhasil, mereka terjebak dalam lembah prostitusi. Mereka pun harus kehilangan masa-masa remaja yang menyenangkan.
Aksi demonstrasi menuntut keadilan sering dilakukan. Aksi dilakukan di depan kedutaan besar Jepang. Tak sampai di situ, beberapa tugu dibangun untuk mengenang para korban yang belum mendapatkan keadilan hingga akhir hayatnya seperti di Fillipina.
Di China, tepatnya Shanghai Normal University, sampai dibentuk Research Center for Chinese Comfort Women. Sebagai upaya akademis untuk mengulas kejamnya penjajahan yang dilakukan Jepang.
Menurut kantor berita Xinhua, museum comfort women pun sampai didirikan di lingkungan kampus Shanghai Normal University. Museum tersebut sudah dibuka untuk umum sejak 2016 silam. Di dalamnya terdapat foto, pasport, testimoni korban perbudakan.
Kekejaman militer Jepang atas perbudakan tersebut sampai pada pengadilan International War Crime Tribunal 2000. Lalu berlanjut pada Resolusi Wanita Penghibur 2007, Komisi Hubungan Luar Negeri Parlemen AS dengan dukungan 39 suara melawan 2 suara. Resolusi diloloskan sehingga dunia semakin tahu kekejaman tentara Jepang atas perbudakan seksualitas tersebut.
Jepang digambarkan dalam film I Can Speak adalah sosok yang mahal untuk minta maaf atas perbuatannya dulu. Kenyataannya pun demikian. Sampai kini tidak ada permintaan maaf dari Jepang terhadap korban perbudakan yang menderita seumur hidupnya.
Jepang menilai tidak ada bukti dokumen yang jelas atas perbudakan seksualitas tersebut. Menurut Carmen M Argibay dalam Berkeley Journal of International Law, Jepang sengaja menghilangkan bukti dan jejak terkait perbudakan seksualitas sebelum meninggalkan negara jajahannya.
Beberapa dokumen pun sulit untuk ditemukan sampai saat ini. Tapi saksi-saksi atau korban perbudakan menjadi sebuah bukti yang kuat. Sayangnya, banyak korban yang sudah tua renta dan banyak pula yang sudah meninggal dunia.
Sepandai-pandi tupai melompat pada akhirnya akan jatuh. Sama halnya dengan kekejaman Jepang, kini beberapa dokumen berhasil ditemukan sebagai bukti. Meski Jepang belum puas menganggap dokumen tersebut palsu dan akal-akalan semata.
Minta maaf dianggap sebagai kekalahan. Dan tidak ada negara yang ingin kalah apalagi dalam pengadilan internasional. Mungkin itu juga menyangkut harga diri sebuah bangsa.
Kita semua tahu, Jepang adalah negara yang disiplin, taat peraturan, pekerja keras, dan pandai mengembangkan teknologi. Orang Jepang akan merasa malu, hina, dan serbasalah jika gagal dalam mengembangkan misi demi kepentingan negaranya.
Istilah Seppuku menjadi bukti bahwa orang Jepang sangat taat pada negaranya. Ritual bunuh diri dengan menyobek perut dengan pedang samurai itu sangat terkenal pada zamannya. Mereka yang gagal dalam mengembangkan misi atau ketahuan korupsi akan melakukan hal tersebut di muka umum pada masa lalu.
Mungkin Jepang merasa gengsi jika harus mengakui kesalahan di hadapan bangsa lain. Berbeda cerita ketika mereka berada di kandangnya sendiri. Itu semua menyangkut harga diri bagi mereka.
Mereka menganggap sebagai bangsa yang besar dan maju. Jadi tidak mungkin jika mereka melakukan perbudakan seksualitas pada masa dulu, itu menurut Jepang.
Tapi terlepas dari itu semua, saya kagum pada kebangkitan Jepang setelah kalah dalam perang (mungkin orang Jepang sendiri pun tidak menganggap kalah dalam perang). Mereka bisa membangun dari nol ketika bom membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki. Mereka bisa melewati masa-masa krisis ekonomi. Sama halnya ketika Jepang dilanda Tsunami dan Gempa. Mereka cepat sekali berbenah.