Setiap manusia pasti memiliki panutan hidup yang – baginya – bisa dijadikan sebagai contoh kehidupan yang sempurna. Mulai dari orang-orang terdekatnya seperti orang tuanya sendiri, anggota keluarga lain, atau gurunya; maupun orang-orang yang sama sekali tidak pernah mengenalnya, baik yang tak hidup sezaman maupun yang hidup sezaman dengannya, seperti pemuka agama, tokoh-tokoh berpengaruh dalam sejarah, seniman, dll.

Dengan mengikuti sang panutan hidup tersebut rasanya bisa menuntun manusia secara pribadi menuju stasiun kehidupan yang didambakannya. Atau setidaknya bisa menjadikan sang panutan itu sebagai pijakan untuk berdiri dan melampauinya. Tokoh panutan itulah yang secara umum disebut dengan idola.

Tokoh yang satu dipengaruhi dan memengaruhi tokoh yang lain. Tokoh yang lainnya dipengaruhi dan memengaruhi tokoh yang lainnya pula, dst. Proses mengidolai dan diidolai pun terjadi.

Mengidolai seseorang atau sesuatu apa pun bentuknya, ril maupun fiksi, memang adalah hak semua orang. Menyatakan diri sebagai pengikut seseorang juga merupakan hak pribadi juga. Namun pengklaiman yang terlalu dini menjadikan seseorang fanatik terhadap idolanya. Bahkan kefanatikannya melebihi kefanatikan sang idola terhadap dirinya sendiri.

Baru membaca buah pemikiran dari sang idola, sudah mengganggap diri sebagai fulanian (fulan merujuk pada nama sang idola), meski hanya karya terjemahannya yang ia baca. Baru mempraktikkan ajaran sang idola, sudah mengaku sebagai pengikut setianya (fulanisme), meski hanya mempraktikkan ajarannya secara lahiriah, berupa penampilan dan kata-kata.

Baru mendengarkan beberapa album dari musisi idolanya atau menonton semua film dari aktris idolanya, sudah menyatakan diri sebagai fans beratnya (fulaniers), meski koleksi album dan film-nya didapat secara gratis lewat unduhan.

Saking pede-nya menyatakan diri sebagai penggemarnya ia rela memajang gambar sang idola di kamarnya, menjadikannya sebagai foto profil di akun sosial medianya, mengutip quote-quote dari sang idola, dsb.

Bahkan seringkali ditemukan pikiran-pikiran irasional pada diri si penggemar. Mulai dari mengganggap bahwa idolanya begitu sempurna sehingga jika ada isu miring yang menerpa sang idola, ia membelanya betul-betul. Sampai-sampai si penggemar berdelusi bahwa sang idola tidak pernah buang angin dan jika sekalinya pernah maka baunya harum.

Hal itu dikarenakan anggapannya bahwa sang idola itu suci atau menurut bahasa agama disebut maksum. Saking sucinya ia mengganggap sang idola, ia sampai menghilangkan sisi kemanusiaan dari sang idola.

Ketika sang idola diperlakukan tidak semestinya oleh pihak lain maka si penggemar akan mengutuk pihak lain itu dengan ejekan, hinaan, dan cacian. Padahal sang idola sendiri sudah memaafkan ketidaknyamanan yang diterimanya namun ternyata para penggemarnya belum puas jika pihak lain itu belum melakukan klarifikasi secara terbuka.

Seperti yang sudah ditulis di atas bahwa kefanatikannya melebihi kefanatikan sang idola terhadap dirinya sendiri. Pada saat seperti inilah seseorang harus kembali bertanya, “Sudah benarkah sikapnya dalam mengidolai seseorang?”

Secara bahasa pengertian idol dari bahasa Inggris biasa diterjemahkan menjadi idola. Namun yang menarik ada kata lain yang merupakan arti dari idol, yakni berhala.

Berhala adalah sebuah objek yang dijadikan sebagai pemujaan dan penyembahan. Objek tersebut bisa berupa patung atau benda lain. Dalam istilah agama bentuk penyembahan terhadap berhala disebut dengan paganisme. Dalam konteks yang lebih umum sesuatu yang disucikan atau disakralkan dan kemudian disembah juga dapat disebut sebagai berhala.

Dalam kisah-kisah eskatologis keagamaan disebutkan bahwa akan ada suatu masa di hari kemudian di mana para berhala – objek yang dijadikan sembahan yang dianggap sesat – ini akan meninggalkan orang-orang yang memujanya. Hal itu disebabkan karena objek yang dijadikan sesembahan itu tidak tahu-menahu dan tidak ingin dirinya disembah namun ternyata pengikutnya malah menjadikannya sebagai objek sesembahan.

Hal tersebut berarti bahwa awal dari menjadikan objek sebagai sesembahan ialah karena terdapat kesuperioran dalam objek itu. Maka dari itu diperlukan sebuah penghargaan sebagai simbol untuk mengenang kehebatannya. Lambat laun para penggemarnya kehilangan kendali dan tanpa disadari menjadikan idolanya sebagai dewa yang pantas dipuja dan disembah.

Memang sikap kefanatikan terhadap sesuatu akan terus terjadi di setiap zaman, dengan bentuk kefanatikan yang berbeda tentunya. Karena manusia memang selalu mencari sesuatu yang dianggap sama seperti pribadinya. Lewat itu pula manusia bisa terbantu untuk mendefinisikan siapa dirinya.

Misalnya penilaian yang pertama sesuai dengan penilaian seseorang terhadap objek yang sama sedangkan penilaian yang kedua tidak. Maka seseorang tersebut akan memihak pada penilaian yang pertama daripada yang kedua. Pendefinisian diri secara kolektif pun terjadi.

Idola merupakan sosok yang sempurna dalam mencari kesamaan diri. Bisa sama dalam bentuk pemikiran dan kepribadian, juga sama dalam bentuk karya-karyanya yang sesuai dengan selera. Atau bahkan bentuk tubuh dan penampilan idola tersebut yang sesuai dengan selera penggemarnya.

Seperti yang disebutkan di atas bahwa kefanatikan terjadi ketika seseorang terlalu dini menyatakan diri sebagai pengikut atau penggemar setianya. Kesalahan seseorang dalam mengidolai sesuatu atau orang lain ialah karena ia hanya sekadar membaca namun tidak betul-betul memahami.

Pengkajian lebih dalam terhadap apa yang diidolai akan membuka pikiran bahwa kesalahan dalam diri sang idola merupakan suatu kewajaran sehingga tidak harus dimaknai bahwa sang idola itu suci dan bebas dari kesalahan.

Memahami sang idola akan membuat diri bersikap lebih inklusif dengan menghargai segala pendapat, apa pun bentuknya, terhadap sang idola. Bukan malah mengeksklusifkan sang idola hanya untuk dirinya sendiri, sebagai pemegang makna, dengan memeluk erat sang idola tanpa boleh ada orang lain yang menyentuhnya atau bahkan meliriknya.