Berbagai ketidakmasukakalan kompleks terjadi, misal di tengah isu krisis pangan dunia akibat perang negara gerombol otoritarian. Akibat irasionalitas para pemegang kendali industri-industri kimia raksasa yang terus-menerus saja sibuk memproduksi teknologi perang modern. Kembangkan senjata pemusnah massal, tank-tank di rancang, jet tempur, pesawat tanpa awak drone, robot-robot ajaib terus dieksperimenkan meski cemarkan virus. 

Tujuannya semua, total agresivitas (penghancuran) pada hak-hak pertumbuhan kemajuan peradaban kemanusiaan, dan bangsa-bangsa merdeka. Imajinasi perang mereka buat semesta aliri statistik kelaparan, jutaan nyawa tewas, dan membentuk frustasi-frustasi sosial akut.

Sementara merenungkan kabar, tentang kita berada di zona degradasi klasemen tingkat imajinasi hampir-hampir di level terendah. Bila benar ini data, jadinya kita negeri kaya tapi miskin imajinasi? Bagaimana bisa kita kuasai atau menginfiltrasi global secara masif yang mensyaratkan imajinasi, IQ, lurus pikir, dan tentu saja sumber daya kecerdasan millennium.

Saya percaya kita sedang alami degradasi klasemen, bukti empiriknya terkonfirmasi dengan fenomena pengkategorisasian kelompok politik cebong versus kampret yang telah menjadi duta demokrasi 2019 lalu hingga kini. Apa yang kurang dan perlu? Sehingga kita memang sulit sekali beranjak, lepas diri dari trauma kekalahan sekaligus kemenangan yang tidak membahagiakan jiwa yang bangun rasa percaya diri dan memilih merdekakan pikiran.

Cebong dimaknai sebagai blok politik yang mengarah pada sebuah identitas kelompok aliran, sosial, maupun ikatan primordial tertentu. Sementara sebaliknya kampret, blok yang merangsang pikiran sama yang akhirnya membawa saling sekat dengan logika tendensius masing-masing. 

Ragam buaian, dan pretensi politik yang seolah-olah pihak satu selalu diminta agar menghindar gunakan atau tak menyentuh politik identitas, aliran, atau ikatan primordial. Tetapi padahal mereka sendiri menyelipkan muatan tersebut.

Mereka penting memahami ‘spiritualisme kritis’ terhadap esensialnya Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) yang mestinya dipakai sebagai sarana ikhtiar kebajikan. Tetapi bukan kriteria utama yang dikelola sebagai jalan termudah menyelesaikan masalah politik. Bukankah telah tegas diluruskan oleh Bung Karno, Indonesia dibangun bukan atas pertentangan, tetapi negara semua untuk semua.

Dalam perjalanannya kemudian, cebong dengan bungkusan atas nama nasionalisme, mengklasterisasi sebagai Kadrun pada kampret. Cara-cara politik lama yang menggunakan isu sektarianisme untuk memojokkan aliran politik bagi yang lainnya. Secara kajian ilmiahnya lemah, kadrunisasi ini berputar-putar pada hal yang itu-itu saja yakni stigmatisasi politik identitas ekstrim kanan yang digolongkan kepada yang beda prefernsi politik dengan mereka.

Merangsang selera politik publik terpapar pada segmentasi hitam-putih. Manipulative melabeli seakan-akan gaya-cara komunikasi politik aktor saat kontestasi, berbanding lurus keberpihakan politik, apa relevansinya? Apakah pernyataan-pernyataan saat kampanye politik akan 100 persen kenyataan? Tidak! Yang namanya realisme, pernyataan politik mustahil sama dengan kenyataan.

 Pendekatan kolonial kadrunisasi ini tragisnya tak sekadar membawa suasana fobia, berhasil memantik emosi kekerabatan kita saling bertatap kebencian, ciptakan ketegangan yang serius. Melainkan risiko distorsi sosio-antropologinya bagai bara api dalam sekam. Kles-kles politik yang keras merusak tatanan keadaban, polarisasi, gejolak konflik yang secara diametral bawa pada perpecahan antara sesama anak bangsa sehingga membuat bangsa ambruk.

Gejala kadrunisasi telah membentuk, menggiring opini publik secara nyata, menyumbat praktik kegembiraan demokrasi ke arah yang rawan konflik benturan melawan dikari kultural. Kadrunisasi neokolonialisme atas kontestasi ide-ide pembangunan yang berkelanjutan dari kelompok progresif. Dan proyek kadrunisasi pula menguntungkan, pertahankan koloni, perluas serta memperpanjang masa hegemoninya status quo oligarki.

Frame kadrun bentuk keterbelakangan mental, sebab yang tersial, adab berbangsa, bernegara dan adab bermasyarakat jadinya hanya utopia belaka, mustahil kita capai atau cicipi. Keistimewaan gelar-gelar universitas (kepemimpinan) hanya mampu menjadi pengawas perang dan pekerja modifikator aturan sesuai pasar kepentingan.

Lalu bila ada bertanya apa – siapa corong amplifier atau mesin otomatis di balik pengkadrunisasian ini, tidak lain adalah buzzer. Menurut CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance), buzzer adalah individu atau akun buzzing yang memiliki kemampuan (di berbagai kanal) amplifikasi pesan hingga bising seperti dengung lebah. Bergerak dengan motif komersial, maupun sukarela yang didorong ideologi. Artinya berpeluang buzzer teraplikasi simpatisan-simpatisan partai politik.

Saya sendiri membatin saja dengan pertanyaan-pertanyaan eksplisit, kepada siapa yang diharapkan mampu menjadi juru selamat ke depan, menjaga republik? Kita berdiri sebelah mana, menjaga tertib sosial? Memberi jalan anarki pada status quo? Dengan kita termasuk yang masih terbawa arus irasionalitas Kadrun versus Kampret? Apakah kita semua akan menjadi bagian tetap turut andil yang mempertahankan risiko kejumudan, dan siap menunggu luberan krisis?

Mungkinkah keadaan ini boleh saya garis bawahi sebagai “demokrasi antah-berantah”, seperti juga yang diistilahkan kebanyakan orang. Demokrasi antah-berantah melahirkan lembaga negara, partai politik, politisi, produk perundang-undangan, LSM, kampus, dan lainnya. Namun kehilangan orientasi kebangsaan.

Sebab yang paling sulit saya pahami adalah kelatahan mereka terhadap segala sesuatu yang berbau kebebasan. Lihat saja, bagaimana kelatahan dalam praktiknya yang intimidatif, persekusi terhadap hak-hak politik warga negara lainnya. Kita seolah-olah hidup dalam alam yang bebas, semua orang menyanjung demokrasi itu representatif, tapi ternyata yatim piatu, karena tak ada yang mampu, atau bahkan tidak berdaya mengaplikasikan demokrasi secara substantif.

Kita gagal memahami nilai gagasan perubahan atau ambisi ekonomi politik nasional karena persaingan politik yang merusak. Dinamika politik yang lebih mengandalkan kosmetika, reaksioner, dan kita dipaksa menikmati rezim demokrasi elektoral yang antagonis berjalan.

Bukannya political changes yang memperbincangkan kerjasama ril ekonomi politik modern yang khas akan ambisi nasionalisme melawan ketimpangan. Elit-elit bertarung secara fair memproyeksi politik fundamental  ekonomi rakyat. Nasionalisme kesadaran membangun secara mandiri ekonomi dan politik, setiap pergantian rezim dianggap sebagai babak baru beraliansi untuk kemajuan membangun hubungan yang harmonis dan ideologis. 

Serta keutamaan nilai-nilai dalam kesetaraan, maupun solidaritas sebuah bangsa dengan berusaha menempatkan corak politik nasionalisme tersendiri yang berbeda dengan negara-negara timur tengah atau barat lazimnya.

Kandidasi calon presiden dalam konteks membangun peradaban harus semakin adil, dan perlu. Kesadaran kritis publik demi keselamatan sosio demokrasi juga penting, karena menyangkut keselamatan rakyat secara keseluruhan.

Saya setuju dengan pernyataan, kenyataan hari ini bukan lagi sekadar Pekerjaan Rumah, melainkan menjadi pekerjaan sejarah. Sebab tantangan politik, ekonomi siapapun dan termasuk apapun partai pemenang Pemilu harus bertanggung jawab menyiapkan Sumber Daya Manusia cerdas. Karena mesin akan melakukan kerja-kerja fisik seluruhnya sebelum manusia melakukan apa-apa.

Kita membayangkan, berbagai capaian Indonesia sekarang membuat bangsa ini menjadi rebutan pertarungan besar bangsa-bangsa kelas satu dunia ke depan. Indonesia mendapat simpati karena dianggap bisa berhasil melalui alam yang sakit, berhasil mengkonsolidasikan arus besar kontestasi politik tahunan yang menggembirakan dari kesadaran nasionalisme. Sebab, sungguh berharga bila mampu bertahan hidup dalam dunia yang telah di ubah menjadi rumah sakit, planet, penjara dan terkikis spiritual, kata Ivan Illich.