Salah satu magnet di tengah kultur politik dan budaya kekinian yang kian terkesan memaksakan segalanya harus di tangan mayoritas, adalah keberadaan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di kursi DKI-1. Di luar aktivitas saya pribadi di salah satu media olahraga, sosok inilah yang kerap kali saya tulis.
Motif saya sederhana, karena figur ini terbilang mampu menabrak banyak hal, dan itu paling penting di tengah kecenderungan segelintir pihak yang mengesankan ingin agar segalanya mengikuti yang telah ada saja.
Ia seorang Nasrani yang berani. Selain itu, dia juga seorang Cina--seperti dia kerap menyebutnya sendiri--yang terkesan nekat mendobrak dikotomi pribumi-nonpribumi yang dibangun pemerintahan kolonial di masa lalu, dan pernah dipertahankan rezim tertentu untuk kepentingan politik.
Risiko yang ia tanggung, dia menjadi sasaran banyak kalangan yang tak bisa menerima eksistensi seseorang dari kalangan minoritas di puncak kepemimpinan, di atas masyarakat yang konon mayoritas.
Terkadang ia terpaksa memaki, mendamprat, hingga harus mengeluarkan kalimat-kalimat yang oleh sementara kalangan menilai itu tak elok diperlihatkan oleh seorang pemimpin. Ya, dari kacamata feodal, pemimpin itu semestinya seperti raja yang menjaga sikap selayaknya pemilik kekuasaan besar dengan tata krama tertentu. Jika seorang raja melanggar "tradisi" itu, maka ia dipandang sebagai raja yang buruk, yang hanya pantas dicerca bahkan dinista.
Setidaknya, begitulah kecenderungan yang dengan mudah diamati dari berbagai perbincangan di lintas media sosial. Alih-alih mencari sesuatu yang positif dari pilihan Ahok untuk tampil beda, justru kian banyak bermunculan hakim yang memberikan berbagai vonis buruk dan itu dinilai sebagai vonis paling adil untuk seorang Nasrani dan juga Cina.
Untungnya, sosok Ahok yang memiliki pengalaman tidak singkat di dunia politik dan latar belakang sosialnya, tak latah menanggapi masyarakat yang terkaget-kaget dengan keberadaannya berikut sepak terjangnya.
Maka itu saat organisasi seperti Fron Pembela Islam menudingnya sebagai kafir yang tak pantas memimpin, Ahok tak lantas keder. Ia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi itu tanpa perlu menabuh genderang perang, sekalipun memang ada beberapa tanggapannya atas ulah organisasi massa berciri khas pakaian putih itu.
Ya, bagi Ahok sendiri, berdasarkan sikap yang diperlihatkannya sepanjang menghadapi berbagai serangan bermotif agama dan politik, menolak tunduk. Keberanian inilah yang menjadi pelajaran penting bagi masyarakat yang dipimpinnya agar tak melulu mengikuti kaidah relasi rakyat dan pemimpin, di mana satu pihak berada di bawah yang lainnya.
Dia mampu menegaskan lewat sikapnya, bahwa sejatinya semua setara. Soal keyakinan, itu bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan mana yang lebih tinggi dari yang lainnya. Sebab tak ada alat ukur semisal meteran yang bisa membantu memperlihatkan konkret antara keyakinan yang satu di atas yang lainnya.
Maka itu, dengan sudut pandang itu juga ia terlihat tak menyimpan beban saat harus berkunjung dari masjid ke masjid, terlepas dirinya adalah seorang Nasrani. Ia bahkan mendukung penduduk Muslim agar anak-anak mereka terbantu menjadi penghafal Alquran.
Ada kesan kuat, Ahok meyakini jika seorang pemeluk agama itu beragama dengan benar, sejatinya justru akan membuat tatanan hidup lebih baik, apa pun agama mereka. Maka itu, ia tak menjadikan agamanya sebagai penghalang menebar kebaikan bagi yang berbeda dengannya. Sikap ini yang belum lazim terlihat di tengah publik, tak hanya di Jakarta, melainkan di seluruh Indonesia.
Harus diakui, di banyak tempat di republik yang di masa awal berdirinya mengakui keberagaman sebagai keniscayaan ini, bahwa di luar keyakinan sendiri maka seluruhnya buruk. Akhirnya, agama pun hanya dijadikan alat untuk menguatkan alasan membiarkan egoisme eksis dan tetap terlihat suci.
Itulah yang di banyak kesempatan juga saya sorot di berbagai jejaring sosial, Facebook atau Twitter. Walaupun konsekuensi saat saya menunjukkan pembelaan atas Ahok, justru beberapa kali kening saya menjadi sasaran banyak stempel; murtad hingga kafir.
Ya, di sinilah, penjual stempel di pinggir jalan saja bisa dibuat bingung, kenapa akhir-akhir ini pesanan pada mereka tak naik secara signifikan, tapi pemilik stempel jauh lebih banyak dari yang pernah ada. Mengherankan lagi, stempel-stempel itu kok lebih banyak berkisar dari kata-kata yang hanya beberapa huruf; jika tidak "murtad", "kafir", maka "sesat".
Di sinilah, saya pribadi kerap menanggapi tren itu dengan kelakar, jika sudah kadung diklaim sesat, katakan sajalah bahwa mereka yang sesat biasanya mengetahui lebih banyak jalan daripada yang tak pernah tersesat sama sekali.
Seperti dalam kasus mendukung Ahok, memang memilih mendukungnya memberikan konsekuensi datangnya berbagai stempel tadi. Terlebih dukungan itu dari masyarakat dengan latar belakang Aceh--suku asal saya--yang konon sangat Islami (sekali lagi, konon), mendukung seorang Cina dan kafir, dianggap sebagai sebuah kesesatan karena tak sesuai dengan perintah kitab suci Islam, dan dianggap menyimpang dari tradisi Aceh yang tak boleh membelok dari Islam.
Tapi, saya berpendapat, mendukung figur seperti Ahok bukan agar kursi gubernur DKI tetap di tangannya. Itu tidak lebih penting daripada pelajaran lain yang lebih mengarah ke pendidikan mental dan sikap ber-Indonesia yang mengakui eksistensi pluralitas. Bahwa, memilih pemimpin tak melulu harus bersandar dari mana dia berasal, tapi lebih elok rasanya jika lebih ke sisi, apa yang dapat dia lakukan.
Saya merasa ngeri jika seorang pemimpin lahir walaupun dari agama yang sama dengan saya sendiri, namun melebihkan kalangan sendiri dari kalangan lainnya. Maka itu, di banyak kesempatan, saya memilih untuk berterus terang memilih pemimpin berbeda keyakinan sepanjang dia bisa mampu membawa dampak baik ke lintasgolongan.
Ya, mengutarakan sudut pandang itu, mungkin akan berisiko. Tapi tanpa ada yang menanggung risiko yang bisa saya bilang kecil, maka orang-orang yang menjadikan agama sebagai pelindung ego akan selalu menjadi batu sandungan di tengah kondisi negeri ini seharusnya sudah mampu berlari lebih jauh dari sekadar terpaku mempersoalkan seseorang beragama apa dan bersuku apa.
Maka itu, menyingkirkan batu dari jalanan yang harus ditapaki oleh negeri ini, saya kira menjadi tanggung jawab seluruh penumpang di atas tanah ini. Kalaupun katakanlah masih banyak yang terbuai hingga tertidur dan mengimpikan Tuhan sedang tertawa gembira melihat hamba-Nya terus-menerus berselisih soal keyakinan, ah, tinggal bangunkan saja mereka. Tinggal kita katakan saja, Tuhan tak memiliki selera humor seburuk impian itu.
#LombaEsaiKemanusiaan