Kalau kamu berharap mendapatkan istri yang cantik sekaligus sabar, carilah di Indosiar, demikian kalimat sakti dari postingan NU Garis Lucu.

Kalau mau mencari suami keren, kaya dan setia, temuilah dia di layar drama korea. Kilas balik era 90-an, para ibu dan asisten rumah tangga juga siang bolong rajin bermimpi dengan bertele-tele, mengagungkan para pria latin bertubuh sixpack di tayangan telenovela. Ada masanya, pesona artis-artis India seperti Shah Rukh Khan menjadi rujukan, sehingga emak-emak menghayal berkejar-kejaran bersamanya, basah kuyup dalam guyuran hujan.

Tetapi jangan khawatir. Para lelaki Indonesia tidak melihat mereka sebagai kompetitor. Perempuan Indonesia adalah para perempuan realistis. Emak-emak pecinta drakor juga tahu diri. Sebaliknya, suami di Indonesia adalah tipe makhluk yang menginjak bumi. Ibarat balon  warna warni, tahu kapan waktunya kehabisan gas hidrogen, lalu jatuh membumi, makmum dengan rumus gravitasi.

Seindah apapun mimpi, akan kempis pada waktunya. Begitu  tayangan usai, semua akan patuh pulang ke alamnya masing-masing. Mudik ke dunia pernikahan sejatinya.

Jomblo, Masalah Sosial Kontemporer

Satu hal, yang patut disyukuri adalah sampai hari ini, sebagian besar kita tergolong manusia-manusia yang masih percaya dengan lembaga pernikahan.

Sebab kata ustaz, menikah adalah sunnah. Sebagai sebuah tradisi peradaban, menikah pun wajib dirayakan. Untuk ini, ada yang rela berhadapan dengan hukum. Pada era corona sekalipun tidak lantas meluluhkan niat untuk menikah, hingga seperti anggota legislatif di sebuah kota, meramaikannya dengan pesta dangdutan. Terakhir, tokoh yang banyak balihonya diperbincangkan umat, tersandung kasus kerumunan gegara agenda pernikahan anaknya, bukan?

Berbeda dengan negeri Pancasila, di negeri bersimbol Matahari Terbit, justru keinginan menikah dan berkeluarga malah tenggelam. Populasi Jepang yang mulai menua, disadari mereka sebagai ancaman. Bukan cuma defisit para pemuda usia produktif tetapi keberlangsungan bangsa menjadi terancam. 

Sulit jatuh cinta, menunda bahkan enggan menikah, atau kemudian menjomblo selamanya sulit diterima oleh jiwa-jiwa kita yang sarat cinta, tentunya penuh nafsu juga. Apalagi jika ada yang sekalinya berkencan, malah dengan boneka. "Jan, pancen wong Jepang ora cerdas. Lha wong mung golet jodo wae ndadak mumet. Di Indonesia tiap hari ada saja orang jatuh cinta", kata Mas Supri, teman ngopiku.

Seandainya menjadi pemimpin, apa yang akan Anda lakukan? Saat sadar ternyata di tengah rakyatmu, mencari orang yang berniat menikah lebih sulit dibanding menemukan jarum di dalam tumpukan jerami. Rumitnya seperti dalam ungkapan “aku akan mencarimu, orang yang belum pernah kutemui”, meminjam curhat Taki yang berusaha mencari sosok bernama Mitsuha dalam novel bertajuk Your Name karya Shinkai Makoto.

Jomblo bukan hanya masalah isu remeh remaja. Sebagai kajian populis, istilah jomlo menurut youth researcher, Dr. Muhammad Faisal dalam buku Generasi Kembali ke Akar memiliki konotasi baru, yaitu inferioritas yang subjektif. Jomblo berarti tidak menarik, tidak up to date, tidak kekinian, tidak relevan. Jadi, perjuangan anak-anak muda untuk tidak berstatus jomblo adalah sekadar pelarian atau eskapisme. Sejatinya, isu jomblo menjadi pendorong upaya mencari jati diri dan menemukan tujuan hidup.

Tentu ini tak lepas dari keharusan kita untuk hadir di dunia maya. Kisah jomblo adalah kisah tidak sukses. Yang muda, tidak bisa memamerkan pacarnya. Yang beranjak dewasa dewasa, tak bisa mestatuskan foto istri, suami dan anak-anaknya. Hidup di era medsos, manusia-manusia dibanding-bandingkan sedemikian rupa sehingga yang tidak berkeluarga tidaklah eksis. Dengan kata lain, jomblo menjadi masalah eksistensial. Status jomblo yang dulu dipertanyakan setiap kali kumpul lebaran, kini bisa dikomentari setiap saat. 

Jomblo sementara, hanya masalah waktu tertunda. Lha, bagaimana kalau jomblo selamanya? Jika menimpa atau disengaja, satu dua orang itu mungkin masalah personal. Silahkan investigasi "asbabun nuzul"nya. Pertanyaannya, ketika sudah lumayan masif, lalu dalam jangka panjang mempengaruhi struktur penduduk? Bukankah ini menjelma jadi masalah sosial yang kontemporer?

Sejak lama, para sosiolog mengamati adanya kecenderungan pergeseran dari keluarga tiga generasi menjadi dua generasi bahkan satu generasi, dari extended family menjadi nuclear family, bahkan akhirnya hanya menjadi fungsi reproduksi.

Tidak percaya akan lembaga pernikahan, akan membuat defisit modal sosial, sebab keluarga adalah sumber dan saluran modal sosial, kata Francis Fukuyama dalam buku Guncangan Besar. Sampai di sini, bolehlah kita sementara sedikit menepis ilustrasi Collapse, Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia milik Jared Diamond yang agak mendramatisir, ketika memperlihatkan kolapsnya bangsa dan peradaban salah satunya karena over populasi. Jangan lupa, Lee Kwan Yew, pernah terlalu sukses dengan “Stop at Two”, program Keluarga Berencana versi Singapura, kemudian mendirikan lembaga makcomblang bernama Social Develepomet Unit, untuk mendorong muda-mudi Singapura bisa bergaul.

Kehadiran Artificial Intellegence (AI)

Kabar tentang Jepang yang sedang "berinvestasi" dengan insiatif pengembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intellegence (AI), yang mampu membantu pemuda-pemudi Jepang untuk menemukan jodohnya belakangan ini, sebetulnya mengkofirmasi tentang malasnya orang Jepang menikah. Enggan berkeluarga, apalagi punya anak dilawan dengan cara-cara baru, dipecahkan dengan algoritma.

Memanfaatkan AI dalam mempermudah perjodohan memang bukan hal yang sama sekali baru. AI ini dikembangkan tidak berhenti pada aplikasi situs kencan. Global Guru in Management, Rhenald Kasali dalam The Great Shifting mencatat adanya pergeseran dalam ritual budaya. Aplikasi android dapat membawa perpindahan, menggeser ritual budaya agar lebih sederhana, terjangkau bahkan dalam genggaman manusia. Contoh nyata, kalkulasi mahar di Afrika lewat aplikasi Lobola Calculator menjadi solusi tawar menawar mahar, sehingga pemuda Zimbabwe tidak harus banyak yang membujang karena ragu-ragu dengan mahar yang mahal.

Ke depan, sangat dimungkinkan AI akan semakin mencampuri pilihan dan keputusan manusia dalam memilih pasangan. Barangkali andai AI ini hadir sejak dahulu kala,  mitologi Tangkuban Perahu tidak akan lahir. Jika saja Sangkuriang memilih jodohnya dengan bantuan AI, tentu tidak akan memilih Dayang Sumbi, karena sejak awal akan ada skema yang menolak hubungan cintanya, sebab mereka bedua adalah ibu dan anak.

Dengan teknologi kecerdasan buatan, bisa-bisa manusia terbantu dengan cepat menemukan jodoh dengan mulus. Rumah tangga diarungi tanpa banyak keterekejutan, tanpa asam garam, tanpa kekagetan, tanpa putus sambung, tanpa banyak letupan-letupan. Kecerdasan ini sedemikian rupa akan mampu mengarahkan manusia, merekomendasi menemukan jodoh yang sesuai dengan resiko sekecil kecilnya.

Dengan menuruti rekomendasi kecerdasan buatan, apakah rumah tangga yang dibangun akan romantis, bukan sekedar ramalan Sagitarius cocok denga Capricornus, misalnya.. Kita membayangkan kita mendapatkan saran jodoh untuk menikah berdasarkan hasil analisis kesamaan nilai, kepribadian, dan kepintaran emosi.

Bayangkan saja, seperti aplikasi penunjuk jalan Waze, yang memberikan kita opsi bermacam rute menuju tujuan. Apakah kita akan memilih rute dengan kontur pegunungan yang indah, atau rute pendek tetapi banyak traffict atau rute yang paling efesien tetapi dengan pemandangan indah menakjuban, melewati objek-objek kuliner memanjakan.

Sepertinya tak perlu lagi ada kasus viral, seorang suami murka membanting kompor gas sesaat pulang kerja, bukannya mendapati hidangan makan, melainkan mendapati istrinya senam. Tidak perlu lagi ada cerita kasus istri ngomel-ngomel lihat suami pulang ongkang-ongkang, ngopi di warung sambil berpikir bagaimana sang raja bisa keluar kemelut lantaran tersudut dari kepungan menteri dan lawan.

Saya lebih jauh lagi berimajinasi, dengan teknologi yang berbasis kecerdasan buatan, akan membantuk pasangan dan keluarga dengan sedikit atau tanpa putus, perpisahan atau perceraian. Kata lain, AI dapat memecahkan juga masalah perpecahan keluarga, seperti perpisahan dan perceraian. Sekali teknologi merekomendasi calon pasangan, langsung klik, mencegah salah pilih.

Kabar buruknya, jika AI ini dikembangkan dan membawa manusia berpasangan tanpa angka putus atau cerai. Selamat tinggal drama pengantin perempuan yang histeris, saat mantan memberi selamat ke pelaminan. 

Teknologi yang dicipta manusia memberi banyak kemungkinan dan berbagai kemudahan. Tetapi ujungnya manusia berada pada pilihan. Apakah akan semakin merdeka atau sebaliknya, kian dikendalikan. Dengan kalimat lain, kita harus bertanya apakah sedang menggergaji dahan pohon yang sedang kita duduki?  

Ketika karpet merah digelar selebar-lebarnya untuk kecerdasan buatan, mungkin itu kabar baik buat para jomblo. Kabar buruknya adalah ini mungkin menjadi tanda bahwa kehidupan manusia telah menjelang sebuah zaman punahnya kisah-kisah tentang para mantan.