Mungkin Anda—para pendukung Jokowi—bertanya: Lho, apa bedanya? Bukankah memang benar bahwa Jokowi itu presiden yang bekerja, yang dekat dengan rakyat, yang keren dan semacamnya?

Saya ingin Jokowi menang dan karenanya saya membela dia dari semua serangan tudingan orang-orang kurang berakal itu, yang peminum kencing unta, kadal gurun, preman berdaster... dan seterusnya, dan seterusnya.

Stop! Bukankah itu nada bicara yang begitu banyak beredar pada percakapan baik di media sosial dan kehidupan nyata yang muncul dari para pendukung Jokowi?

Periksa kembali kalimat di atas. Betapa penuh dengan keangkuhan dan merasa diri paling pintar. Merasa diri paling benar. Well, kalau Anda pikir sikap seperti itu yang akan membuat Jokowi menang, pikir ulang deh.

Ya, saya mengerti. Anda kesal. Gemas. Dongkol dengan grup sebelah yang terus menerus melancarkan peluru berupa makian, kabar bohong, fitnah dan seterusnya. Anda marah. Anda ingin mengomel. Anda butuh pelampiasan dan berikicau di media sosial tanpa peduli atau justru sengaja agar dibaca oleh jejaring Anda yang pro-grup sebelah.

Baca juga: Paniknya Lawan-Lawan Politik Jokowi

Anda mungkin secara terbuka atau diam-diam juga berharap bisa mempengaruhi kelompok yang belum memutuskan sikap, massa mengambang yang sebenarnya cukup besar jumlahnya, tapi berada di bawah permukaan dan sulit dideteksi survei. Atau Anda bahkan delusional bahwa makian dan kesinisan seperti itu akan memengaruhi rekan yang pro-grup sebelah.

Atau Anda sebetulnya tidak peduli. Anda hanya ingin menjadi benar, sekarang. Anda merancukan menjadi benar dengan kemenangan.

Penelitian dan kajian di bidang psikologi telah banyak mengungkapkan hal ini: kebutuhan untuk menjadi benar sebetulnya adalah salah satu persoalan terbesar manusia modern.

Secara umum, sistem pendidikan kita, misalnya, sangat mendasarkan diri pada konstruksi benar dan salah. Kita dipuji dan mendapatkan nilai bagus kalau mampu memberikan jawaban yang benar. Nilai rapor yang bagus akan membawa kita pada kehidupan sukses. Menjadi benar seolah adalah tujuan utama dari pendidikan.

Dalam konteks sehari-hari pada masyarakat Indonesia, kita, misalnya, bisa melihat gejala ini dari sangat sedikit orang berani mengajukan pertanyaan di depan publik. Tak heran, sejak dini kita belajar untuk jangan sampai melakukan kesalahan dan terlihat ‘bodoh’ lalu menjadi bahan ejekan teman sekelas.

Menjadi benar membentuk dan memperkuat harga diri kita. Maka wajarlah kita mati-matian ingin sekali menjadi benar. Betapa kebutuhan menjadi benar itu sudah mengurat mengakar di dalam sistem kepercayaan, kebudayaan, dan pendidikan kita. Saking mengakarnya, sampai kita tak pernah berhenti sejenak untuk memeriksa ulang, kenapa sih kita pingin banget menjadi benar?

Itulah persis yang terjadi pada dua kubu berseberangan itu: mereka yang pro Jokowi dan ingin ia masih memimpin untuk periode berikutnya, dan mereka yang membenci dan ingin mengganti Jokowi.

Dalam rentang frekuensi, kedua kubu ini sebetulnya saling beresonansi. Grup penentang Jokowi dengan mudah melancarkan tudingan kafir, komunis, pemecah belah. Grup pendukung Jokowi sangat gampang mengolok-ngolok orang lain untuk memperlihatkan betapa bodoh dan terbelakangnya kelompok lawan itu sebagai menusia.

Hai para Jokowers, tentu Anda pun tahu, adalah mimpi siang bolong kalau segala pernyataan bernuansa menganggap bodoh orang lain itu akan mengubah siapa pun. Yang mungkin terjadi justru malah bumerang, massa yang mengambang dan belum menentukan pilihan menjadi kesal akan kesombongan para pendukung Jokowi, dan jadi malas dekat-dekat atau satu kubu dengan Anda.

Banyak pihak menduga-duga fenomena bumerang tersebutlah yang terjadi saat Pilkada Jakarta 2017 ketika petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat kalah dari Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Ada sejumlah swing voters yang batal memilih Ahok-Djarot atau akhirnya memilih golput saja karena muak melihat kelakuan para pendukung dan tim sukses mereka. Bila ini benar, sungguh ironis, bukan?

Saya memang tak punya data statistik, dan tentunya tidak ada faktor tunggal untuk segala peristiwa. Tapi, bukankah ini sesuatu yang patut dikaji dan diantisipasi di 2019? Itu kalau Anda ingin Jokowi menang, bukan semata ingin menjadi benar.

Jokowi Masih Siap Menang. Anda? 

Beruntung bagi para pendukung Jokowi. Sejauh ini, jawara Anda memang masih unggul di berbagai lini dibandingkan calon-calon penantangnya, meskipun terus-menerus diserang oleh para pembencinya. Berikut setidaknya empat alasan mengapa.

Pertama, ia memecut dirinya dan timnya ngebut bekerja, mengejar begitu banyak ketertinggalan Indonesia dalam berbagai bidang. Dia tidak sibuk menyalahkan pendahulunya, tapi lebih fokus pada solusi.

Kedua, ia masih menunjukkan keluwesan berkomunikasi dengan rakyat. Dia selalu berbicara dengan bahasa sederhana dan bersikap apa adanya alias otentik.

Sampai terakhir saya melihatnya dari jarak dekat saat kunjungan kerja mengendarai motor di Pelabuhan Ratu, 8 April lalu. Saya masih merasakan otentisitasnya sebagai manusia.

Mungkin nyaris tak ada lagi presiden mana pun di dunia ini yang bisa saya dan teman-teman teriaki seenaknya, “Pak, nengok belakang, Pak! Pak, foto ya, Pak! Pak, dua periode ya, Pak! Pak!" Jokowi betulan menengok beberapa kali untuk menyapa kami.

Foto ini kurang bagus, tapi biar ya, karena saya ambil sendiri-Feby Indirani

Foto Jokowi blusukan di Palembang (Tempo.co)

Ketiga, di sisi lain, dia adalah sosok yang penuh kejutan dan sulit diduga langkah dan manuver politiknya. Dan dia melakukannya bahkan tanpa terlalu bersusah payah karena itu memang bagian dari karakternya saja.

Saya tidak punya data atau analisis ilmiah selain pengalaman pribadi ketika Jokowi hadir di acara Buku dan Kehidupan yang saya bawakan di Kompas TV, sebelum ia resmi mengumumkan akan maju ke Pilkada DKI 2012. Momen wawancara yang sayangnya terlalu singkat karena rombongan Jokowi tiba saat acara live hampir habis.

Yang saya alami ketika duduk bersama di depan dan di belakang layar ternyata berbeda. Saat itu, banyak pihak tak mengira ia akan menang, meskipun ia sudah menjadi lawan yang diperhitungkan karena telah menunjukkan prestasi sebagai Walikota Solo. Tapi, pendapat umum yang banyak beredar masih meragukan Jokowi mengalahkan Foke sebagai petahana.

Baca juga: Nasi Uduk yang Menjadikan Jokowi Presiden

Saat itu, tingkat partisipasi politik warga Jakarta juga masih rendah. Namun, saya bisa merasakan saat itu Jokowi sangat yakin ia memahami situasi dan tahu cara memenangi pertarungan. Seolah menang adalah suatu keniscayaan baginya.

Menit-menit di belakang layar itu sulit saya jelaskan karena keterbatasan kata. Namun, singkatnya, orang ini memang amat dalam seperti sumur tak berdasar. Air beriak tanda tak dalam, begitu kata peribahasa. Para Jokowers yang berisik, setidaknya cobalah teladani perilaku idola Anda ini.

Itulah energi yang saya rasakan dari Jokowi di belakang layar. Dia jauh lebih jitu dan kompleks dibandingkan penampakannya. Namun, ketika bercakap-cakap dalam konteks interview on air, energi itu seperti menyublim, menjadi sosok publik yang kita lihat, Jokowi yang sederhana dan terbatas perbendaharaan kata-katanya.

Kedua persona yang berbeda, tapi sama otentiknya. Siapa pun yang masih menganggap dan memperlakukan Jokowi sebagai orang bodoh, ia hanya sedang menggali lubang kekalahan mereka sendiri.

Hal keempat yang membuat Jokowi masih unggul adalah caranya menanggapi isu yang menyerang dirinya, dari mulai tudingan komunis sampai urusan kaos #GantiPresiden2019.

Jokowi merespons isu itu dengan simpel tanpa mesti emosional dan balik menghina dengan menggunakan berbagai julukan, seperti yang dilakukan para pendukung fanatiknya. Ini membuat dia justru akan lebih mudah meraih simpati massa.

Saran bagi Jokowers

Jika Anda masih ingin Jokowi lanjut dua periode, Anda bisa melakukan setidaknya dua hal ini. Pertama, kendalikan hasrat dan kebutuhan Anda menjadi benar. Kedua, berlatih menciptakan percakapan baru.

Pertama, mulai hari ini berhentilah, setidaknya belajar untuk berhenti, melancarkan caci maki yang tak perlu kepada kubu lawan. Kalau belum bisa, belajar untuk belajar berhenti. Jokowi bisa menang karena suara rakyat yang memilihnya, bukan karena caci maki Anda kepada lawannya.

Ingat, kemenangan Anda banyak bergantung pada simpati pemilih muda yang cenderung egaliter, massa yang masih bingung (atau terlalu tak peduli), bahkan aktivis garis keras yang sudah bersiap golput karena bagi mereka tak ada seorang pemimpin yang cukup sempurna—mereka yang tidak sadar sikap puritan dalam idealisme itu kerap hanya membuat hal-hal memburuk.

Bekerjalah untuk mengajak kelompok-kelompok ini dengan cara yang berbeda. Ibaratnya, berbisiklah tepat di telinga mereka ketika begitu banyak pekik yang mengotori udara kita.

Yang bisa dan mungkin sebaiknya Anda lakukan adalah mengabarkan kerja dan pencapaian Jokowi dan timnya dengan cara-cara kreatif. Fokus pada fakta, bukan pada ego Anda sendiri yang ingin terpuaskan dengan merasa lebih pintar daripada grup lawan.

Mengolok-olok musuh Anda tidak akan memberikan keuntungan apa pun bagi pemenangan Jokowi. Hindari kata-kata julukan dan nada merendahkan yang akan tercermin dari status media sosial Anda atau pun percakapan sehari-hari.

Sebisa mungkin, temukan kesamaan dengan kelompok seberang Anda atau orang-orang yang Anda persepsikan merupakan bagian dari mereka. Sama-sama satu agama? Sama-sama warga Indonesia? Sama-sama manusia? Menemukan kesamaan mungkin dapat membantu meredam hasrat Anda untuk mencela mereka.

Baca juga: Semua Akan Jokower pada Waktunya?

Kedua, menanggapi fitnah itu perlu, tapi ya memang seperlunya saja. Selebihnya, cobalah menciptakan percakapan baru yang lebih sesuai dengan agenda Anda tanpa perlu langsung menyudutkan lawan.

Langkah Gibran Rakabuming putra Jokowi yang marah perihal jaket itu bagus. Dia langsung menuturkan fakta di balik pembuatan jaket dan menghadirkan narasi 'peduli pada produk dalam negeri.' Alih-alih terserap merespons debat 'membelah Indonesia' terlalu banyak, dia menggiring publik pada percakapan baru tentang 'kreativitas anak bangsa'.

Ya, saya paham Anda mungkin tak sabar dengan semua serangan kubu lawan. Curhatlah sepuas-puasnya di ruang privat Anda, bersama orang-orang tertentu saja. Tidak perlu kan seluruh dunia tahu kalau Anda kesal atau lebih pintar dari siapa pun?

Kalau Anda masih punya sindrom sebegitu kuatnya ingin dianggap pintar dan merasa perlu pamer di ruang publik, artinya Anda mesti belajar lebih banyak dari sosok Jokowi, yang tak pernah peduli tuh dianggap planga-plongo sekalipun.

Hindari kampanye-kampanye negatif, sebisa mungkin, bahkan jika kelompok seberang Anda melakukannya. Saya sempat melihat salah satu meme gambar kaos yang menuliskan, Biarpun Gue Janda, tapi Anti-Presiden Duda, yang jelas menyasar status pernikahan salah satu calon kandidat, yang tidak bermutu dan diskriminatif pada duda. Kita memilih atau pun tidak memilih seseorang sebagai pejabat publik, bukan karena status hubungannya, kan?

Sejak saat ini, setiap kali Anda merasakan hasrat mengolok-ngolok, menertawakan, menganggap mereka tolol atau apa pun, tolong ingat: masa depan bangsa ini lebih penting dari ego Anda. Masa depan bangsa ini lebih penting daripada hasrat Anda menjadi benar.

Baca juga:

- Apakah Gontor Membenci Presiden Jokowi?

- Kebijakan Jokowi yang Menuai Hasil