Syahdan, Jokowi memilih Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin sebagai pendamping di Pilpres 2019. Sebelumnya, Prof. Dr. Mahfud MD nyaris mendampingi Jokowi, namun arah mata angin politik seketika berubah, lalu berdasarkan kesepakatan partai pengusung Jokowi, KH. Ma'ruf Amin (MA) pun diputuskan sebagai cawapres.

Di sisi lain, kendati cawapres terkuat juga, peluang Jusuf Kalla (JK) sudah tertutup. Pasalnya, hingga 10 Agustus 2018, MK belum menggelar sidang judicial review pasal 169 huruf N Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden. Namun demikian, sesepuh KAHMI seperti JK maupun Mahfud MD berjiwa besar, bersikap negarawan, demi kepentingan bangsa yang lebih besar.

Kegelisahan politik Jokowi terkait gelombang politik identitas, isu agama dan geliat populisme kanan menjadi faktor penting, sehingga pasangan umara-ulama Jokowi – Ma'ruf Amin terbentuk. Prasasti politik ini memancarkan pesan bahwa Jokowi menghargai ulama. Bukan seperti yang dituduhkan oleh haters-nya selama ini yang membangun image seolah-olah Jokowi berseberangan dengan ulama dan kelompok Muslim.

Faktor yang tak bisa dihindari pula, yakni kepentingan jangka panjang trah politik Megawati atau gerbong politik Soekarnois yang direpresentasikan oleh PDI Perjuangan, termasuk partai koalisi lainnya. Maka, pilihan terhadap MA kelahiran 1943 ini terbilang tepat, karena pada tahun 2024 mendatang, umur ulama sepuh itu 80 tahun lebih. Artinya, gairah politik MA untuk terus berkontestasi di arena pilpres dipandang sudah terbendung.

Paket nasionalis-religius dimaknai sebagai tenda besar untuk memproteksi Jokowi dari gangguan isu politik sektarian berbau SARA. Selaku tokoh Islam, MA diharapkan menjadi tokoh pemersatu lintas Ormas Islam. Apalagi MA adalah cicit Syaikh Nawawi al-Bantani, seorang ulama kesohor yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram, Mekkah. Di antara santri-santri Syaikh Nawawi yang ngetop dari Indonesia adalah Syekh Kholil al-Bangkalani Madura, K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU), dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).

Sebagai Ketua Rais Aam PBNU, MA sangat dihormati di kalangan nahdliyyin. Karir ke-NU-an MA dirintis dari bawah, dari ketua Ansor hingga puncak piramida PBNU. Fatwa MA sebagai Ketua MUI Pusat, banyak dijadikan rujukan dalam kaitan hubungan antara agama dengan kompleksitas kehidupan kontemporer, bahkan tak sedikit fatwa beliau yang dianggap keras.

Di kancah politik praktis, MA sudah mengabdi di ranah legislatif baik sebagai anggota DPRD maupun MPR/DPR RI. Di lingkungan istana, MA adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden era Presiden SBY. Sementara di era Presiden Jokowi, MA menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Artinya, MA bukan sekadar ulama, tapi juga politisi kawakan dari parpol berbasis massa Islam.

Begitu pula di ranah akademik, Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin awalnya seorang guru, lalu dosen merangkap pendakwah. MA juga concern dalam ekonomi syari’ah, bergelar Guru Besar Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Jauh sebelumnya, MA pernah menjadi anggota Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah Bank Indonesia (1999), dan Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank Muamalat saat ini.

Dalam konferensi pers di kantor PBNU usai diumumkan sebagai cawapres Jokowi, ada lima aspek yang menjadi perhatian MA untuk memperkuat Jokowi dalam kerangka nawacita. Pertama, keutuhan bangsa. Kedua, keamanan dan kedamaian. Ketiga, ekonomi keumatan. Keempat, pembangunan karakter bangsa. Kelima, penegakan hukum.

Kalau dielaborasi secara garis besar, keutuhan bangsa adalah poin utama. Menurut MA, kalau bangsa tidak utuh, tidak bersatu, pasti tidak mungkin kita melakukan pembangunan. Karena itu, katanya, bangsa ini harus dijaga supaya mematuhi kesepakatan yang telah diletakkan sebagai dasar bangsa dan negara oleh para pendiri bangsa dengan dua landasan utama, yakni Pancasila dan UUD 1945.

Kemudian, negara ini harus aman dan damai. Negara yang tidak aman seperti dicontohkan MA, Afghanistan. Kendati kaya emas dan minyak, tapi tidak bisa dimanfaatkan karena selalu perang. Makanya aman dan damai harus menjadi maslahah, meraih manfaat dan menghindari mudharat.

Selanjutnya, MA ingin membangun ekonomi keumatan, yakni “Arus Baru Ekonomi Indonesia”. Kenapa arus baru? Kata MA, karena arus lama itu membentuk konglomerat dengan menggunakan teori trickle down effect (efek menetes ke bawah), ternyata nggak netes-netes. Karena itu, perlu menguatkan yang lemah.

Kata MA, perlu kemitraan antara yang kuat dan yang lemah. Maka, lahirlah program redistribusi aset dan kemitraan. Konglomerat diharapkan bermitra dengan kegiatan ekonomi masyarakat, koperasi, pesantren, dan lain-lain.

Harapan lain, tidak boleh negara Indonesia bergantung pada impor, tapi harus menjadi negara pengekspor dengan mengolah produk-produk dalam negeri. Hal itu dilakukan dengan mengambil teknologi tinggi dari negara maju. Apalagi, Indonesia punya lahan yang cukup, termasuk Sumber Daya Alam, maupun Sumber Daya Manusia, untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Obsesi MA dalam konteks “Arus Baru Ekonomi Indonesia” bisa melengkapi Jokowinomics berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Ketimpangan ekonomi perlu diatasi, agar keparahan raksasa konglomerasi tidak mencekik leher kaum ekonomi lemah.

Pembangunan karakter bangsa adalah salah satu perhatian MA, termasuk penegakan hukum. Orang yang tidak bisa diperbaiki melalui pembangunan karakter, maka hukum harus ditegakkan. Kalau pembangunan karakternya berhasil, pasti orang yang melanggar hukum sedikit. Karena itu, pembangunan karakter dan penegakan hukum saling berkait.

Sebagai tokoh Islam terpandang, MA dapat meredam gejolak isu SARA yang membidik Jokowi sepanjang jalan kenangan. Karena itu, jejak MA sebagai tokoh penting dibalik pergerakan 212 memang harus dirangkul oleh Jokowi. Efek dominonya, MA diharapkan pula mengakomodasi alumi 212 guna menghadapi kenduri demokrasi pilpres 2019 tanpa ketegangan stadium berat.

Namun ada kegalauan politik tercium di tubuh Ahokers lantaran MA dipilih sebagai cawapres Jokowi. Secara kategoris, Ahokers adalah salah satu simpul politik dari para pengagum rasional-objektif terhadap kinerja Ahok selama jadi Gubernur DKI Jakarta. Ahokers dari warga Jakarta dan non-Jakarta, muslim maupun non-muslim, yang sekaligus pro Jokowi.

Ketragisan nasib Ahok hingga masuk penjara, salah satunya karena fatwa ketua MUI MA, dan kesaksian beliau yang memberatkan bagi Ahok. Dari situlah, bom isu SARA meledak.

Nah, kalau Ahokers dan alumni 212 yang berasal dari aliran sungai fundamentalis politik yang berbeda, manakala mengarungi lautan cinta yang sama, menaiki perahu Jokowi-MA, ataupun terpencar sebagian ke Prabowo-Sandiaga, maka kita berharap rekonsiliasi emosional terjalin, dan isu SARA terkunci dalam lanskap politik Indonesia. Lalu beralih ke politik gagasan dan programatik.

Beda perahu politik boleh, asalkan satu tujuan: cita-cita keindonesiaan. Kedua pasangan baik Jokowi-MA maupun Prabowo-Sandiaga, mesti kita berbaik sangka bahwa mereka adalah putra bangsa terbaik dengan segala plus dan minusnya.

Dalam politik komunikasi, dan komunikasi politik, marilah kita merawat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyah, dan PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945). Fastabiqul khairat!