Tahun ini adalah tahun politik, begitu kata kebanyakan orang. Ada juga yang berpendapat bahwa tahun ini adalah pesta demokrasi bagi seluruh warga Indonesia.
Begitu banyak berita-berita di media cetak dan elektronik atau bahkan di berbagai channel YouYube telah memberitakan hal-hal terkait politik dan diskusi atau debat publik. Senang sekali melihat bagaimana semua warga negara ikut berkecimpung dalam berbagai isu politik di berbagai media sosial. Semua terlihat hidup dan semangat dalam berpendapat dengan menggunakan argumen-argumen yang kuat dan berdasarkan data yang juga akurat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat seperti terbelah dua. Siapa yang mendukung Jokowi, maka mereka ada di dalam kubu sebelah kiri; siapa yang mendukung Prabowo, terletak di sebelah kanan. Lalu, pada saatnya nanti, keduanya akan bertempur dalam medan pertempuran, yang kita harapkan berjalan damai dan demokratis.
Demokrasi yang selalu digaungkan di negeri ini, walaupun belum mencapai tingkat kematangannya, adalah hasil dari peradaban terdahulu di Athena, Yunani Kuno. Mudahnya, demokrasi sering diartikan sebagai suatu paham, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat dan kebebasan berpendapat akan selalu dilindungi negara. Ada slogan yang menyebutkan demokrasi sebagai sistem “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dalam abad 5 SM, Socrates, seseorang yang biasa berkeliling pasar di Athena, meragukan bahkan membenci demokrasi. Mengapa? Karena tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memilih.
Jawaban Socrates sangat sederhana dan, menurut saya, tepat sasaran. Will Durant, dalam bukunya The Story of Philosophy, menyebutkan tentang pemikiran Socrates: Surely, the management of a state is a matter for which men cannot be too intelligent, a matter that needs the unhindered thought of the finest minds. How can a society be saved, or be strong, except it be led by its wisest men?
Dalam Protagoras, Plato juga menulis: Is it not shameful that men should be ruled by orator…?
Dari pernyataan di atas, membawa kita pada kesadaran bahwa kebijaksanaan pemimpin sangat diperlukan dalam menentukan kebijakan dan arah negara. Tidakkah itu suatu hal yang memalukan jika warga dipimpin oleh seorang orator? Sindiran Plato itulah yang memang terjadi sekarang di negeri ini, sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau.
Sebagai murid Socrates, Athena bukan suatu tempat yang aman bagi seorang Plato. Kaum elite politik membencinya, seperti mereka membenci dan menjatuhkan hukuman mati kepada Socrates. Temannya menyarankan agar dia pergi ke suatu tempat untuk bisa lebih mengenal dunia dan berbagai peradabaannya, tentunya juga agar dirinya aman.
Setelah sekitar 12 tahun, dia pulang membawa berbagai pemikiran baru yang menjadikannya seorang filsuf besar sampai sekarang. Semua hal telah dibahas oleh Plato dengan mengacu pada teori “dunia ide”-nya, pun juga dalam pembahasannya soal kenegaraan.
Dalam Republic, ia menjelaskan bagaimana negeri utopianya itu dijalankan. Bukan sekadar negeri yang utopis, tapi ia menjelaskan bahwa Utopian State adalah dasar di mana berbagai sistem negara muncul dan berkembang di atasnya, sebuah negara yang ideal.
Plato berpendapat bahwa warga negara dibagi ke dalam tiga kelas yang disimboliskan dengan reason, force, dan temperance/desire. Pembagian kelas ini, Plato mendasarkannya kepada sifat dan kelakuan manusia yang dari tiga hal ini berbagai perasaan dan tindakan turunannya terbentuk. Tiga sifat ini ada dalam diri setiap manusia, akan tetapi dengan kadar yang berbeda-beda.
Kelas ketiga dalam sistem hierarki Plato ini mencakup berbagai kalangan pekerja, pebisnis, pengusaha, dan berbagai pekerjaan profesional lainnya, disimbolkan sebagai “keinginan”. Kelas kedua meliputi para tentara dan berbagai institusi keamanan negara, disimbolkan sebagai “kekuatan”.
Adapun kelas pertama yang menduduki sebagai pengatur, aparat, dan pejabat kenegaraan, mereka adalah para filsuf dan intelektual. Menurut Plato, hanya filsuflah yang memahami ke mana seharusnya negara dibawa dan diarahkan. Virtue sebagai kebaikan tertinggi hanya dipahami oleh para filsuf yang telah menapaki jalan rasional dan intelektual menuju kepada pemahaman kebaikan tertinggi tersebut.
Will Durant menjelaskan hal ini sebagai berikut: So in perfect state the industrial forces would produce but they would not rule, the military force would protect but they would not rule, the force of knowledge and science and philosophy would be nourished and protected, and they would rule.
Bagaimanapun, manusia memiliki dalam dirinya nafsu yang bahkan sulit untuk dikontrol. Peran para filsuf yang sudah tercerahkan di sini menjadi penting dan diperlukan. Sebab, mereka yang tahu ke mana negara diarahkan menuju Kebaikan Tertinggi.
Warga negara biasa sulit memahami hal ini, tertutup oleh berbagai nafsu, keinginan, kepentingan, keserakahan, dan kemewahan. Reason yang menjadi simbol dari kelas pertama dimaksudkan sebagai simbol teratas, di mana force dan desire diatur olehnya. Kelas kedua dan ketiga menjalankan seluruh aktivitas berdasarkan kemampuan alaminya, dan kelas pertama akan membawa seluruh aktivitas itu kepada tujuan tertinggi.
Konsep pembagian tiga kelas yang diatur oleh reason ini sebenarnya juga terjadi dalam diri setiap manusia. Keinginan yang tidak diatur oleh akal akan berbuat semaunya tanpa pertimbangan akal sehat dan sisi kemanusiaan. Tanpa menggunakan pikiran, nafsu yang juga didukung oleh kekuatan akan menimbulkan bahaya dalam dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Berangkat dari pemikiran inilah Plato membangun konsep kenegaraan. Penyebutan istilah filsuf di sini pun tidak serta merta diartikan sebagai para cendikiawan yang telah belajar ilmu filsafat dan logika, seperti para sarjana lulusan filsafat sekarang ini. Filsuf di sini berarti mereka yang telah tercerahkan oleh cahaya pengetahuan dan juga melampaui keinginan akan kebendaan. Terdengar religius? Ya, memang seperti itu filsafat.
Terakhir, mengambil sedikit hikmah dari apa yang disimpulkan Plato sebagai negara ideal, setidaknya membuat saya sedikit khawatir pada kualitas kenegaraan di negeri ini ataupun di negeri-negeri lain.
Memang, negara ideal Plato itu tidak akan pernah terjadi dalam sejarah dan peta dunia ini, disebabkan keserakahan dan kemewahan selalu melingkupi diri manusia. Tetapi, nilai penting yang ditekankan olehnya mengenai kepemimpinan bisa kita ambil sebagai pelajaran.
Anda dapat melihat background siapa yang memimpin Indonesia yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Kebanyakan dari mereka dilarang oleh Plato memimpin suatu negara.