Dinamika pesta demokrasi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah mulai terasa dan menarik. Pilpres kali ini akan terasa berbeda dari sebelumnya, karena diselenggarakan serentak bersama dengan Pemilihan Legislatif (DPR-RI, DPD, dan DPRD).
Kendati Pilpres ke-7 Indonesia baru akan dilaksanakan pada 9 April 2019, aroma pertarungannya sudah mulai terasa saat ini.
Setiap Partai Politik (Parpol) sudah mulai memunculkan kandidat calon yang akan mereka usung pada Pilpres mendatang. Begitu juga calon yang katanya dari masyarakat juga bermunculan. Calon dari masyarakat adalah calon yang tidak/belum mempuyai partai pengusungnya, namun didukung oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Mereka terus bergerak dan betambah jumlah pendukungnya.
Walaupun pendaftaran calon presiden dan wakilnya dilaksanakan pada tanggal 4 sampai dengan 10 agustus 2018, langkah-langkah sosialisasi politik dalam rangka meningkatkan elektabilitas dan popularitas mulai dilakukan oleh masing-masing calon.
Pada dasarnya, setiap calon mempunyai kesempatan untuk terpilih sebagimana kita kenal dalam teori propabilitas. Namun, pada kenyataannya, calon pada Pilpres 2019 mendatang tidaklah jauh berbeda dengan Pilpres 2014. Dari sisi elektabilitas dan popularitas, nama Jokowi dan Prabowo Subianto jauh mengungguli calon lainnya.
Berdasarkan hasil survei elektabilitas yang dikeluarkan mayoritas lembaga survei, nama Jokowi dan Prabowo adalah calon yang seimbang untuk bertarung di Pilpres 2019. Rata-rata kisaran angka elektabilitas Jokowi berada pada 45-50 persen. Sedangkan Lawan terdekatnya, Prabowo Subianto, dalam kisaran 25-35 persen. Selebihnya, persentase tersebut diisi oleh calon lainnya yang juga Undecided Voters (belum memilih).
Nama Jokowi dan Prabowo terus menjadi bahan penelitian oleh lembaga survei. Bagi penulis, ada kondisi anomali yang tercipta dengan survei-survei yang dilaksanakan. Lembaga survei solah-olah melakukan penggiringan persepsi masyarakat bahwa Pilpres hanyalah panggung untuk Jokowi dan Prabowo Subianto.
Masyarakat hanya disuguhkan dengan dua nama tersebut saja. Alasan dasar yang dikemukakan oleh lembaga survei adalah berdasarkan elektabilitas, hanya Jokowi dan Prabowo yang maju di Pilpres 2019.
Dalam konstalasi Pilpres kali ini, ada sisi kritis yang perlu kita kedepankan buat lembaga survei. Lembaga survei seakan menciptakan sutuasi paradoks calon pemimpin. Masyarakat hanya disuguhkan dengan dua nama calon pemimpin saja.
Lebih ironisnya, bahkan muncul upaya penggiringan persepsi masyarakat yang mengungkapkan calon presiden tunggal di Pilpres 2019. Sisi lain yang “kocak” adalah ada yang mencoba mengiring persepsi dengan menyurvei Jokowi berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Kondisi seperti di atas memberikan doktrin sosialisasi dan persepsi kepada masyarakat bahwa kandidat Pilpres hanya Jokowi dan Prabowo. Padahal perjalanan masih panjang menuju 9 April 2019.
Jika kita berkaca dari sejarah, pemilihan presiden Amerika tahun 2016 lalu, mayoritas lembaga survei memprediksi bahwa Hilarry Clinton akan memenangkan pemilihan dari Donald Trump. Namun, pada kenyataannya, hasil riil membalikkan data lembaga survei. Donald Trump mengunguli Hilarry Clinton dangan perolehan suara Pemilu.
Pun pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, hampir semua lembaga survei mengatakan bahwa Ahok akan mengungguli pasangan AHY dan Anis Baswedan. Namun, secara mengejutkan, Anies-Sandi bisa dikatakan menang telak pada pemilihan putaran kedua.
Apa yang sebenarnya ingin penulis sampaikan bahwa pemilik suara itu adalah manusia, yang mempunyai persepsi sendiri. Lembaga survei tidak bisa menggiring persepsi masyarakat hanya ke calon tertentu saja. Karena last minute pun individu tersebut bisa mengubah pilihanya.
Penulis mengakuki metodologi yang dipakai lembaga survei telah terukur dan dapat diuji secara ilmiah. Setiap calon yang ingin maju dalam pemilihan umum pastilah memperhatikan survei elektabilitas sebagai modal utamanya. Modal elektabilitas yang baik akan menguatkan kepercayaan diri setiap calon.
Setiap lembaga survei mendapatkan informasi hasil penelitiannya berdasarkan sampel yang mereka pilih. Siapa yang bisa menjamin kredibilitas sampel yang dipakai? Bagaimana jika sampel yang digunakan adalah simpatisan partai politik (parpol) tertentu?
Kita telah banyak melihat, setiap parpol pastilah mengatakan mempunyai survei internalnya sendiri. Dari survei internal tersebut pastilah parpol yang bersangkutan mengatakan calon yang mereka usunglah yang meliliki elektabilitas terbaik.
Hal demikian mungkin saja terjadi dikarenakan sampel yang digunakan parpol adalah basis/simpatisan meraka. Untuk melihat lebih jauh, mari kita kaji lebih dalam tentang kelemahan lembaga survei.
Metodologi Survei
Rektor Universitas Perbanas Marsudi W Kismoro mengatakan, metodologi survei bisa saja mengalami dua kesalahan. Kesalahan tersebut terjadi pada sampel dan kredibilitas surveyor.
Dari sisi sampel, setiap sampel yang digunakan haruslah mempresentasikan keadaan sesungguhnya. Semakin besar populasi, maka semakin sulit menentukan sampel, biasanya penentuan sampel berdasarkan estimasi dan perkiraan.
Dari sisi surveyor, sulit menfilter petugas yang independen. Petugas di lapangan bisa saja memihak, dan itu sulit untuk dikontrol.
Dari penjelasan di atas, kita mendapatkan gambaran bahwa sulit mengontrol sampel dan petugas di lapangan. Dua hal tersebut juga dipengaruhi waktu dan jarak/besarnya wilayah.
Biasanya para surveyor melaksanakan survei kelapangan dan membuat laporan hasil kerjanya dalam waktu 1-2 minggu dengan cakupan wilayah Nusantara. Dengan waktu yang singkat ini, maka kapabilitas surveyor harus benar-benar teruji memiliki integritas dan profesional serta bebas dari susupan kepentingan politik golongan tertentu.
Margin of Error
Margin of error menjadi bagian terpenting yang perlu kita perhatikan dalam sajian hasil lembaga survei. Margin of error menunjukkan angka ketidakpastian hasil survei yang berkaitan dengan jumlah sampel yang mewakili populasi penelitian.
Semakin besar persentase margin of error, maka semakin jauh suatu sampel tersebut dapat mewakili populasinya. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil margin of error, maka semakin dekat suatu sampel dalam mewakili populasi sesungguhnya.
Misalnya, hasil survei menyampaikan informasi A memiliki presentase 30 persen dan B 35 persen dengan margin of error 5 persen. Ini artinya informasi A memiliki rentang nilai antara 25-35 persen, sedangkan B rentang nilainya adalah 30-40 persen.
Dari ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kita tidak bisa menentukan siapa pemenang survei jika selisih hasil survei sama dengan nilai margin of error yang ada.
Teknik Pengambilan Sampel
Pada bagian ini, penulis tidak menguraikan secara rinci tentang jenis-jenis teknik pengambilan sampel survei. Penulis ingin menyampaikan teknik pengambilan sampel yang berbeda akan memberikan hasil survei yang berbeda.
Teknik pengambilan sampel ini sangat terkait dengan analisis hasil riset. Karena karakteristiknya berbeda, maka hasil penelitian dengan metode pengambilan sampel yang berbeda tidak dapat dibandingkan. Hasilnya akan bias jika dibandingkan satu sama lain.
Non-Sampling Error
Non-sampling error merupakan kesalahan yang terjadi dalam survei di luar akibat penggunaan sampel. Kesalahan ini terjadi saat proses pelaksanaan survei.
Beberapa jenis non-sampling error, di antaranya adalah responden tidak merespons saat disurvei. Responden memberikan respons yang salah, Responden yang terpilih bukanlah individu yang sesuai dengan tujuan survei, Pewawancara tidak jujur dalam mengisi kuisioner dan terakhir Human error kesalahan input kuisioner.
Sebagai penutup, pesan yang ingin penulis sampaikan adalah hasil survei elektabilitas bukan menentukan siapa pemenang, tetapi menunjukkan tendensi atau preferensi masyarakat atas pilihan yang ada.
Pada saat ini, media massa memiliki andil besar dalam membangun opini dan menggiring persepsi publik. Salah satu alat yang digunakan adalah hasil survei. Hasil survei merupakan hasil penelitian sehingga masyarakat beranggapan informasi tersebut faktual dan terpercaya.
Kita harus teliti dan bijak membaca situasi seperti ini. Lembaga survei yang tidak independen dan memiliki kepentingan tertentu dapat bermain-main dalam mengambil sampel yang menguntungkan mereka, memilih sampel survei sehingga memberikan hasil positif. Fenomena seperti ini akan lebih sering terjadi ketika memasuki masa kampanye pemilihan umum.