Ini bukan sebuah kebetulan atau apa, tapi ini adalah kisahku. Aku (Catheline) dan John sudah berteman sejak kecil kira-kira dari usiaku 6 tahun aku mengenal John. John sudah ku anggap seperti kakakku sendiri. Setiap hari aku selalu menghabiskan waktu dengan Dia. Mungkin bukan itu saja yang membuat kami dekat, ayah-ibuku dan ayah-ibu John adalah teman akrab.

Kami sekarang sudah beranjak dewasa. Aku sekarang duduk di kelas 2 SMA, sedangkan John yang menyebalkan dan menjengkelkan sudah lulus dan akan melanjutkan kuliah. John memang pintar dan selalu mujur, buktinya sekarang ia diterima di salah satu universitas negeri di Bandung. Kabarnya John juga termasuk salah satu mahasiswa baru yang akan dikirim ke Perancis dalam rangka pertukaran pelajar Indonesia-Perancis.


“John, benar kamu akan pergi ke Perancis? Aku tidak percaya memangnya kamu sepintar apa sih?,

“Setahuku selama aku mengenalmu dari kecil, kamu tidak begitu hebat. Memang sih aku akui kamu memang selalu meraih juara satu dari sejak SD. Tapi, apa hebatnya sih sampai-sampai kamu bisa kuliah di Perancis…. ” dengan suara terputus dan urung untuk melanjutkannya.

John tertawa dengan lantangnya sesaat setelah mendengar ucapanku,

“Hei Cath, kamu itu selalu saja iri pada ku. Aku memang selalu beruntung. Kenapa kamu ingin pergi ke Perancis juga hah? ” ucapnya dengan nada mengiming-imingi.

“Jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu lagi. Apa, iri padamu?!. Tidak usah ya, memangnya apa sih hebatnya bisa pergi ke Perancis. Kalau kamu bisa pergi ke semua tempat di dunia baru aku akan merasa iri”. Dengan kesal aku seketika merenggut, padahal di dalam hatiku aku tidak mau John pergi ke Perancis. Nanti aku sendiri di sini, tidak ada teman pasti membosankan. Walaupun kami sering bertengkar.

John juga terdiam, aku pikir dia akan langsung menyambar pernyataanku dengan kata-kata yang akan membuatku merasa kalah. Tapi, memang begitulah sikapnya dewasa dia lebih tua tiga tahun dariku pantas saja kalau aku berhadapan dengannya aku selalu merasa menjadi adiknya dan dia berlagak sok seperti kakak yang bijak. 

Tapi aku suka. Dia kakakku, walaupun bukan terlahir dari ayah atau ibu yang sama. Aku sangat senang ada dia, sebab aku kehilangan sosok laki-laki yang selalu mengayomiku. Ayah ayah telah tiada. Aku juga memiliki perasaan yang lebih disbanding kakak dan adik, aku belum tau pasti apa perasaan yang ada didalam hati ku ini.

Sejenak aku terbang ke dalam ingatanku yang tidak menyenangkan itu.

John masih terdiam saat duduk disampingku. Mungkin saja dia sedang melamun tengah berada di Perancis. Ku perhatikan raut wajahnya yang tenang dan terasa tidak asing bagiku, dia manis ya itu menurutku tapi menurut anak-anak perempuan yang lain John itu pangeran dengan sejuta kelebihan, kulitnya tidak lebih putih dari aku, badannya tinggi proforsional rambutnya ala cepak tapi pendek dan rapi. Kalau aku perhatikan dia sangat supel dan mudah bergaul dengan semu orang. Pantas saja banyak yang suka padanya.

Suaranya memecah keheningan yang sejenak hadir diantara kami.

“Bagaimana kalau nanti kau ikut saja ke Perancis dengan ku?”  ia memalingkan mukanya padaku. Ucapannya membuatku kaget.

“Hahahaha..mau apa, kenapa aku harus ikut ke Perancis? Pergi saja sendiri. Kamu mau mengajakku ke Perancis karena kau mau menjadikanku pembantumu di sana. Ya kan?!” setengah hati aku melontarkan kata-kata itu.

John hanya terbujur kaku di tempatnya. Andai saja dia membalas ucapanku, tapi tidak lagi. Tiba-tiba angin membawaku pergi dan beranjak meninggalkannya tanpa pamit.

Malam itu aku gelisah dan bingung, entah kenapa. Padahal aku baik-baik saja. Hanya sedikit harapan, semoga John tidak jadi pergi ke Perancis supaya aku tidak kesepian di sini. Aku berfikir sejenak bahwa perasaan ini adalah cinta, tapi aku belum mengetahui pasti apakah ini perasaann cinta.


Pagi itu berjalan seperti biasanya, hanya saja John tidak berangkat bersamaku. Hari ini John mengurusi segala macam yang berhuungan dengan studi pertukaran pelajar ke Perancis yang ia ceritakan kemarin.

Bel istirahat berbunyi. Tak biasanya aku merasa semalas ini padahal setiap mendekati waktu istirahatlah yang paling aku sukai. Tentu saja untuk menyerbu kantin dan menjejali perut yang kosong karena belum sempat terisi. Aku memilih berdiam diri saja di dalam kelas sambil mendengarkan musik. Begitupun saat bel pulang, sama sekali terasa melelahkan dan enggan sekali untuk melangkahkan kaki.

Sejak hari itu aku tak pernah bertemu John lagi, mungkin sudah hampir tiga hari. Bahkan mengirim e-mail pun tidak. Batang hidungnya pun tak kelihatan.

“Membosankan juga. Kenapa ya dia tidak mengirim e-mail padaku sudah lupa mungkin. Kalau aku yang kirim e-mail duluan, ah gengsi nanti dia kegeeran lagi”. Rasanya ada yang kurang saat tak berkomunikasi dengan John, tapi aku juga tidak berani mencari tahu kenapa. Aku takut dia sedang sibuk, dan nanti malah mengganggunya.

Hari ke lima tak bertemu dengan John. Ibu tergesa-gesa menyiapkan sarapan pagi untukku, dan menyodorkan sepucuk surat padaku. Sembari duduk dan melahap sarapan pagi yang disiapkan ibu, perlahan-lahan ku buka surat tersebut dan ku baca kata demi kata. Ternyata pengirimnya John. Aneh sekali rasanya, John mengirimkan surat padaku karena sebelumnya belum pernah.

Untuk Cath

Cath kamu pasti aneh kenapa belakangan ini aku jarang main ke rumah kamu atau kirim e-mail, aku lagi sibuk. Eh kapan-kapan kita ke bukit lagi ya. Sampai jumpa.

Dari

John

Rasanya aneh setelah membaca surat dari John. Kata-katanya seperti yang tidak akan berjumpa dalam waktu yang tak tentu. Ah, mungkin Cuma perasaan ku saja. Hanya itu yang terlintas dalam benakku.

Baru saja aku selesai mandi, rasanya segar sekali setelah seharian bermandi keringat. Ku rebahkan badan di atas kasur. Selintas terbayang wajah John, dan ada sedikit penyesalan karena sore itu aku berpisah dengan John hingga surat ini datang aku dan John belum baikan atas pertengkaran kecil itu.


Sore yang melelahkan seperti biasanya. Baru saja ku langkahkan kakiku dari pintu ruang tamu ibu terlihat buru-buru, entah ada apa lagi seperti tadi pagi.

“Cath, itu di atas meja belajar kamu ada titipan dari John, ibu mau ke rumah sakit. Bu Jojo barusan kecelakaan. Ganti baju langsung makan ya, sudah ibu siapkan di meja makan. Kamu di rumah saja ya, ibu juga baru tahu kabar ini barusan.”

“Innalillahi. Oh, iya” aku hanya bengong mendengar pesan ibu.

Ibu langsung meninggalkanku yang masih berdiri di ambang pintu. Aku kaget sekali dengan berita kecelakaan Bu Jojo tetangga kami, kemarin saat aku berangkat ke sekolah sempat berpapasan dengannya di perempatan jalan. Aku langsung teringat dengan pesan ibu,

ibu bilang di atas meja belajarku ada titipan dari John. Aku penasaran sekali. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari ke kamar hendak memburunya, ternyata sepucuk surat lagi. Tapi tidak, di sebelahnya ada sebuah bungkusan berukuran sedang. Aneh sekali rasanya bila John mengirimkan hadiah kepadaku, memangnya sekarang hari apa. Hari ulang tahunku kan masih lama. Aneh.

Kulemparkan tas ke atas kasur seraya aku duduk dan membuka surat tersebut. Ku baca dengan seksama, ternyata tujuan John mengirim surat tersebut adalah ingin menyampaikan salam perpisahan karena ia telah berangkat ke Perancis tadi siang. Aku tidak percaya, kenapa John tidak menyampaikannya secara langsung. Apa benar-benar tidak sempat, sekedar untuk menemui teman lama saja. Tapi di ahir kalimat surat tersebut ia menulis,

“Cath, maaf ya. Tunggu aku sampai aku lulus studi di sana. Aku janji setelah kembali nanti kita akan terus sama-sama lagi. Aku sayang dan akan kangen sekali sama Cath. Sampai jumpa.’

Benar-benar lucu, John menulis kata-kata seperti itu. Tak sadar, ternyata air mataku keluar. Apa sebenarnya yang terjadi, mengapa John begini. Rasanya ada sesuatu yang hilang, dan tangisku pun meledak. Ingin sekali ku kejar dia, tapi ia sudah berada di negeri matahari terbit nun jauh di sana. Rasanya seperti terimpit sesuatu dalam ruangan yang sempit, dada ini sesak sekali.

Aku pun tidak sempat memberikan kenang-kengangan untuknya. Tapi dia memberiku sesuatu. Ku sobek bungkusan hadiah itu, ternyata sebuah buku panduan praktis percakapan bahasa Perancis sehari-hari dan foto ku bersama John ketika kami berlibur ke Taman Safari tahun lalu. Ku peluk buku dan foto itu erat-erat, tangis ini tak terhenti.

Pagi itu adalah hari minggu yang paling kelabu, dan aku masih merasa sedih atas keberangkatan John ke Perancis. Aku hanya termenung sambil memandangi buku dan foto pemberiannya. Apa maksudnya ini, aku tidak mengerti.

Tiba-tiba hp-ku berdering. Ada e-mail dari John, rasanya senag sekali.

“Bonjour, Cath. Hey Cath matahari pagi di sini indah sekali lho, apalagi kalau sedang sunset. Cath, buku itu buat kamu pelajari, biar nanti kalau kamu ku ajak ke Perancis sudah bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Perancis trus kita lihat sunset sama-sama. Dan foto itu biar kamu ingat terus sama aku ya.”.

Jadi itu maksudnya memberiku buku panduan percakapan, aku senang bukan kepalang. Dan langsung saja pikiranku melayang, dimana saat aku tengah berada di Perancis bersama John sambil berjalan-jalan di negeri sakura yang indah itu, memandang sunset yang indah.


Dua tahun sudah berlalu, sekarang aku sudah duduk di bangku universitas.

Hingga kini, tapi John belum memberiku kabar sama sekali. Setiap hari kupelajari buku itu, dan sekarang aku sudah cukup mahir untuk berbicara dalam bahasa Perancis walaupun masih sederhana. Pernah juga aku mengalami hal memalukan, saat mata kuliah sejarah nasional di dalam kelas dosen sedang memberi kuliah tapi saking seriusnya mempelajari percakapan bahasa Perancis dari buku pemberian John, sampai-sampai aku lupa akan keberadaannya.

Kontan saja dosen itu marah bukan main padaku dan mengusirku dari kelas, aku benar-benar malu sekali sampai di usir seperti itu. Aku hanya tersenyum sendiri saat mengenangnya, seandainya ku ceritakan pada John, dia pasti akan menertawakanku dan mengejekku habis-habisan. Sudah menginjak tahun kedua John belajar di Perancis, padahal setahuku pertukaran pelajar ini hanya dua tahun. 

Saat masih pagi buta, John mengirimkan e-mail, katanya ia pulang ke Indonesia hari ini. Betapa senag sekali saat mendengar kabar tersebut, aku pun berlari menghampiri ibu dan memberitahukan kabar kepulangan John. Aku dan ibu sibuk mempersiapkan segala macam untuk menyambut kedatangan John. Mungkin berlebihan, seperti yang mau kedatangan tamu agung saja. 

Ibu beres-beres rumah setelah menyiapkan beberapa masakan, sedangkan aku sedang mencoba membuat masakan kesukaan John yang ku buat dengan tanganku sendiri.rasanya menyenagkan sekali dan ku harap John akan suka dengan masakan buatanku ini. Tanpa sadar, aku tersenyum sendiri dan ibu melihatku dari ambang pintu dapur. Aku jadi malu karenanya.

Sore itu aku dan ibu sudah siap untuk menyambut kedatangan John, seisi ruangan di rumah sudah tertata rapi, masakan sudah siap. Dan yang terpikirkan oleh ku, John pasti senang sekali di sambut dengan cara seperti ini dan iti artinya usaha ku dan ibu tidak sia-sia. Setelah memasak makanan apa yang disukai oleg John Ternyata elum ada kabar lagi, bosan juga menunggu terlalu lama. Aku duduk di sofa dan ibu menyalakan televise.

Seperti biasa ibu langsung mengarahkan remot dan memindahkannya ke hanel kesayangannya. Ternyata di channel itu sedang ada Hadeline News, dan..tiba-tiba seperti ada lsi sengatan listrik yang menyambar kepalaku, tubuhku tegang dan rasanya akan rubuh dari posisiku yang sedang berdiri ini. 

Tubuhku mematung kaku, air mata terus meleleh dengan derasnya. Ibu hanya memeluk, dengan wajah bersimbah air mata. Kenyataan ini terlalu pahit dan aku tak bisa menerimanya. John meninggal dalam kecelakaan pesawat yang hendak membawanya kembali ke Indonesia.

Aku tak kuasa menahan kesedihan ini. Bagaimana keluarganya, bagaimana aku. Aku belum sempat melihat wajahnya untuk terakhir kali. Belum sempat ia tahu bahwa aku sudah pandai berbicara bahasa Perancis. Bagaimana janjinya untuk membawaku ke sana dan berjalan-jalan bersamanya. Semuanya hancur dan selesai. Tidak ada lagi yang bias kutunggu dan kuharapkan. Dan aku tak sempat menyampaikan perasaan itu.

Tiba-tiba ibu meraih tangan dan menyentuh wajahku dengan pilu, ia menyerahkan selembar kertas yang sama persis dengan kertas surat yang John berikan bersama buku dan foto dua tahun yang lalu. Sepertinya ibu sengaja menyembunyikannya dariku, atau memang itu hanya ditujukan untuk ibu. Isi surat itu,

“Tante, maaf sebelumnya. Rasanya ini aneh. Tapi beginilah yang sebenarnya terjadi. John tidak hanya menganggap Cath sebagai adik tapi ada sesuatu yang lebih. Bolehkah John menyayangi Cath lebih dari sebagai adik John ingin menjadikan Cath sebagai kekasih John. 

John ingin meminta izin terlebih dahulu pada tante, sebelum John mengungkapkannya sendiri pada Cath. John janji akan menjaga Cath, walaupun belum bisa menggantikan posisi ayah untuk Cath, tapi rasanya selalu ada kontak batin yang terjalin antara kami. John minta doa juga pada tante supaya John lancar kuliah di Perancis. Maaf tante John sudah lancang bicara seperti ini. Terimakasih Tante.”

Setelah membaca surat itu aku tambah merasa terpukul atas kepergian John. Aku merasa menyesal atas perlakuan ku kepada John sebelum John berangkat ke Perancis, aku bersikap kurang baik pada John sebelum John berangkat ke Perancis. Bukan tanpa sebab aku kesal kepada John, aku kesal karena John akan pergi ke Perancis, kepergian John akan membuat ku merasa kesepian, dan sekarang John telah pergi untuk selama-lamanya.

Beberapa hari setelah kepergian John aku menyadari bahwa perasaan yang kumiliki terlebih keluarga adik dan kakak ini adalah cinta.