Bulan lalu, perdebatan tentang penggunaan jilbab di sekolah kembali mengemuka. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah surat terbuka dari seorang aktivis perempuan kepada Mendikbud, Nadiem Makarim. Ia meminta agar Nadiem bertindak atas pemaksaan tidak tertulis dan secara halus terselubung dalam penggunaan jilbab di beberapa sekolah di Indonesia.
Perdebatan tentang jilbab di sekolah negeri bukan sesuatu yang baru. Beberapa tahun lalu, perdebatan serupa pun mengemuka di Yogyakarta, Banyuwangi, Jakarta, dan beberapa wilayah di Indonesia.
Dari semua hasil perdebatan tersebut selalu berujung pada ungkapan permohonan maaf pihak sekolah negeri atau pencabutan aturan (surat edaran) terkait keharusan penggunaan jilbab.
Satu hal yang menarik untuk diulas adalah selalu ada usaha untuk mewajibkan penggunaan jilbab di sebuah institusi pendidikan dan lagi-lagi menuai perdebatan.
Dinamika penggunaan jilbab dalam konteks Indonesia mempunyai perjalanan yang tidak sederhana. Kuasa negara, perlawanan masyarakat, dan industrialisasi mengambil peran penting atas dinamika tersebut.
Sekolah negeri sebagai arena bertemunya etnis, ras, dan agama (terutama di sekolah negeri) kerap kali menjadi arena pertarungan identitas. Perdebatan kerap hadir dipicu oleh usaha memaksakan penggunaan jilbab untuk siswi yang merasa tidak menjadi bagian dari identitas tersebut.
Jilbab dalam Buku Sekolah
Penggunaan jilbab di sekolah mengalami pasang surut dalam sejarah Indonesia. Jilbab yang dulu pernah dilarang, kini bisa dibilang menjadi bagian dalam identitas sekolah.
Salah satu penanda yang hadir secara jelas dan hal tersebut dilegitimasi negara adalah kehadiran ikon anak perempuan berjilbab dalam buku teks sekolah. Dalam buku Sekolah Dasar (SD) terbitan Kemendikbud kurikulum 2013, ada sosok Siti yang menggunakan jilbab.
Hal tersebut tentunya tidak kita jumpai dalam buku sekolah masa Orde Baru (Orba). Buku teks SD yang dulu hanya didominasi oleh nama Budi dan Ani, kini sudah banyak mengakomodasi nama lain. Atas nama reformasi, keberagaman mulai dihadirkan.
Hal tersebut diungkapkan Muhammad Nuh (Mendiknas 2009-2014) kala itu. Dia mencontohkan bahwa nama-nama dalam buku kurikulum 2013 mulai beragam, Siti mewakili dari Jawa, Beni (Sumatra, Batak), Lina (Manado), Udin (Sunda, Jawa), Dayu (Bali), dan Edo (Papua). Wajahnya beda-beda. Artinya, dari awal ingin menghadirkan representasi Indonesia yang beragam.
Secara sekilas, argumentasi di atas cukup baik. Tetapi jika kita lihat secara kritis, kemunculan Siti yang berjilbab tersebut menegaskan bahwa identitas jilbab menjadi pengecualian.
Mengingat ketidakhadiran identitas fisik agama lain yang melekat pada ikon tokoh lain dalam buku. Terlihat jelas negara melalui buku memberikan perhatian yang lebih kepada Siti yang menjadi representasi Islam untuk dimunculkan.
Atribut kultural yang menempel pada ikon dalam buku bertujuan menjadi penanda atas identitas. Jadi bisa dikatakan negara melalui buku teks sekolah melegitimasi kehadiran jilbab di sekolah dan memberikan perhatian yang lebih atas identitas tersebut.
Hal tersebut tentunya didorong oleh sebuah dinamika yang panjang dan berbagai aspek lain yang strategis. Kuasa negara yang berkaitan dengan politik, kuasa budaya yang didorong oleh gerakan rakyat, dan kuasa modal yang didorong oleh industri fesyen.
Ekspresi Kultural dan Industri Fasyen
Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia (2015) mengulas secara menarik tentang dinamika penggunaan jilbab di Indonesia. Dalam bukunya diulas tentang adanya pelarangan penggunaan jilbab oleh negara pada tahun 1980-an.
Karena larangan tersebut, penggunaan jilbab bagi beberapa perempuan kala itu mempunyai tujuan untuk penegasan sikap politik dan bahkan mengutip Brenner (1996) dianggap sebagai pembangkangan politik secara terbuka. Hal tersebut dikuatkan sebuah fakta sejarah di mana Cak Nun dengan drama kolosalnya yang bertajuk “Lautan Jilbab”.
Pagelaran tersebut ditujukan sebagai kritik sosial kepada pemerintah dan khalayak umum yang menganggap perempuan berjilbab secara sebelah mata. Sebuah pementasan yang kala itu diperhitungkan dan mempunyai dampak yang luas.
Kondisi di atas akhirnya harus bergeser. Memasuki tahun ke 1990-an, berjilbab mulai menjadi tren mode. Hal tersebut seiring berubahnya sikap negara pada organisasi-organisasi Islam.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana fenomena penggunaan jilbab era reformasi begitu masif dan terkadang bertranformasi menjadi sebuah aturan di sekolah?
Era reformasi adalah kondisi di mana kebebasan dirayakan. Berbagai ekspresi kultural lintas agama dan etnis berusaha mendapatkan pengakuan negara. Negara yang berusaha keluar dari cengkeraman Orde Baru berusaha mengakomodasi banyak identitas.
Salah satunya dalam lingkungan sekolah. Negara yang dulu begitu kuat, kini tidak bisa lagi bersikap semena-mena.
Penggunaan jilbab yang kerap kali dianjurkan bahkan diwajibkan pihak sekolah merupakan konsekuensi dari era reformasi. Inisiatif dari sekolah tersebut biasanya didorong oleh pemangku kebijakan sekolah, baik kepala sekolah atau guru. Ekspresi keagamaan para pemangku kebijakan tersebut diekspresikan dalam bentuk aturan.
Lantas bagaimana sikap negara?
Pemimpin daerah kerap kali tak berdaya menghadapi hal tersebut. Pertimbangan politik menjadi faktor terbesar. Memperoleh simpati publik atas warga mayoritas adalah strategi populis yang kerap kali dilakukan. Sehingga tidak heran banyak kepada daerah bersikap ambigu atas kebijakan tersebut.
Selain itu juga, dalam konteks industrialisasi atau fasyen, jilbab cukup mendapat perhatian. Menjamurnya berbagi brand busana muslim di Indonesia adalah tanda paling jelas.
Kapitalisme terbukti mampu berjalan seiring dengan identitas agama. Menggunakan jilbab kerap kali dianggap sebagai bagian dari kesalehan dan hal tersebut diserukan oleh industri fesyen melalui iklan-iklan yang masif.
Hal tersebut yang terkadang disadari atau tidak mendorong sekolah mengharuskan penggunaan jilbab sebagai strategi untuk pemasaran. Di tengah mayoritas Islam, citra sekolah yang islami dan menjunjung tinggi etika agama menjadi dambaan banyak orang.
Dalam konteks itu, identitas jilbab menemukan relevansinya. Dengan menggunakan jilbab, anak-anak perempuan dianggap bisa terhindar dari perilaku yang amoral. Padahal kualitas iman seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukan atau diperbuat, bukan hanya apa yang dipakai seperti jilbab.
Gambaran di atas paling tidak menegaskan bahwa proses islamisasi era reformasi yang salah satunya melalui penggunaan jilbab akan terus bergulir. Hal tersebut didorong oleh ekspresi keagamaan yang bebas, kebijakan politik yang berpijak pada simpati mayoritas, dan sangat mungkin disambut oleh kapitalisme melalui industri fesyen.